Lagu itu Bukan Kisah Kita: 2

55 8 0
                                    


Setelah lama tidak bertatap muka dalam waktu yang lama, dan hanya melakukan komunikasi lewat WA, akhirnya Gie dan Indah kembali bertemu di cafe yang sama. Pertemuan kali ini dalam rangka Gie akan menyampaikan sesuatu. Indah yang tadinya pusing dengan tugas kuliah jadi lebih santai sekarang. Indah tidak menyangka kalau berteman dengan Gie ternyata membawa warna berbeda dalam hidupnya.

Setelah memarkirkan mobil, Indah berjalan seraya memasang senyum merekah. Selama hampir tiga bulan Gie memenuhi hari-harinya, inilah kali kedua mereka bertemu untuk menghabiskan waktu lebih lama. Sebelumnya, mereka memang sempat bertemu, hanya sekadar basa-basi ketika tidak sengaja berpapasan di kampus, di perpustakaan, di kantin. Namun, sebenarnya mereka selalu, setiap hari menghabiskan waktu lewat sosial media.

"Ups, sori, sengaja."

Suara itu tepat Indah dengarkan di dekat telinganya ketika dia hampir saja terjatuh karena disenggol seseorang. Beruntung, karena orang itu langsung memegang erat lengannya. Indah mendengkus, berdiri lebih tegak lantas berbalik menghadap si pelaku.

"Kamu sen—" Indah semakin mengerutkan dahi ketika melihat pelaku. "Dasar! Kamu pengen buat aku malu, Gie?" Tidak dapat dipungkuri kalau sebenarnya dia kesal, tapi juga senang melihat Gie kini ada di depannya.

Gie menampakkan gigi-gigi rapinya sambil menyatukan kedua telapak tangan di depan wajah. "Maaf, aku sengaja. Lain kali pasti aku ulangin lagi biar bisa liat muka kesal kamu yang lucu."

"Gak usah diperjelas aku lucu juga aku udah tau. Ngeselin." Indah balik badan, berjalan cepat ke arah pintu cafe, takut wajah merahnya semakin membuat Gie menjadi-jadi.

Namun, usaha Indah tampaknya sia-sia sebab Gie berhasil menangkap wajah senang gadis itu. "Cewek Bone memang manis, jangan marah-marah dong manis. Nanti aku susah tidur, Ndah." Gie bergidik geli mendengar ucapannya barusan, dia pun tertawa kecil di samping Indah sampai mereka berdua duduk berhadap-hadapan.

"Gak di-chat, gak video call, gak ketemu langsung, sama aja ya kamu."

"Ya gak mungkin beda, kan? Aku ini Gie, tetap Gie di mana pun kamu liat aku, Ndah. Aku gak bakalan pasang topeng." Gie tersenyum ke arah Indah setelah menyerahkan menu ke pelayan cafe.

Indah mengeluarkan buku bersampul cokelat dari dalam tas. Dia mulai mencoret beberapa hal di dalam sana yang berhasil membuat Gie penasaran. Setelah dirasa beres, Indah kembali meletakkan bukunya ke dalam tas.

"Itu tadi apaan?"

"Oh, planner. Aku tandain poin ketemu Gie di cafe."

Gie tertawa sembari menghempaskan punggung ke kursi. "Harus?"

Indah memasang wajah sewot. "Kamu gak tau gimana perjuangan aku ketemu kamu di sini. Lagian aku, tuh, sibuk. Kamu mana tau."

Gie manyun sambil mengangguk-angguk. Memang benar kalau Indah itu sibuk mengalahkan urusan presiden. Setiap hari ada tugas, hafalan, dan hal-hal lain. Berbeda dengannya yang justru banyak disibukkan di depan laptop dan organisasi budaya.

"Makasih, ya. Aku senang kamu datang. Gak semua orang pengen ngeluangin waktu untuk ketemu di tengah kesibukan. Itu tandanya aku penting buat kamu." Gie kembali memasang senyum manis yang dibuat-buat hingga membuat gadis di depannya membuang napas lelah, dan mulai menusuk-nusuk telapak tangan Gie menggunakan pulpen dengan gemas.

"Gak boleh kasar-kasar jadi cewek, Ndah. Wong manis gak boleh marah-marah." Wajah tengil Gie semakin menjadi-jadi ketika Indah mulai misuh-misuh, seperti saat mereka teleponan.

"Wang-wong-wang-wong! Awal kenal kamu gak gini loh, Gie."

Gie mengangkat alis sambil menyangga dagu. "Manusia itu berevolusi, Ndah. Kalau gak gitu, gimana mau berkembang. Sama kayak aku ke kamu. Kalau aku gak gini, kita gak bakalan dekat, dan berakhir hubungan kita sampai sebatas diskusi cerpen waktu itu."

Indah mengangguk. Gie betul, Indah tidak akan merasakan warna berbeda jika tidak bersama Gie. Berkat hadirnya cowok ini, dia jadi tahu bahwa sibuk dan tegang setiap hari justru membuatnya tua lebih cepat. Jadi, Indah tidak akan pernah menyesal mengenal Gie.

Alunan lagu Rewrite The Stars yang dinyanyika oleh James Arthur mengalun pelan mengisi jeda di antara mereka. Barulah ketika lagu hampir selesai, Indah teringat sesuatu.

"Gimana hasil cerpennya? Berhasil jadi yang terbaik?"

Gie mengangkat tangan kanannya tepat di depan wajah Indah. "Tos dulu, yuk." Gie tertawa lagi ketika melihat wajah penuh tanya gadis di depannya. "Cerpenku jadi yang terbaik. Makasih udah bantu aku."

Indah tersenyum miring. "Wahhh, aku berjasa dong di hidupmu? Emang cerpennya tentang apa selain nyeritain latar belakang si cewek dari suku Bugis?"

"Sangat berjasa. Kamu tau, kan, lagu Rewrite The Starts tentang apa?" Setelah melihat Indah mengangguk, Gie kembali menjelaskan. "Cerpennya seperti yang ada di kisah lagu itu."

"Sedih, dong?"

"Iya. Oh iya, waktu chat-an, kamu pernah bilang tertarik sama dunia menulis novel, kan?"

Indah tiba-tiba mengubah raut wajahnya menjadi murung. Diingatkan tentang cita-cita terpendamnya, membuat dia selalu merasa bersalah ke diri sendiri. Menjadi apoteker bukanlah tujuannya. Indah hanya mengikuti permintaan keluarga saja. Hanya karena otaknya mampu, dia harus berakhir seperti ini.

"Gimana kalau kita raih mimpi itu, Ndah?"

"Maksud kamu?"

Gie meminta buku planner Indah. Awalnya cukup sulit meyakinkan gadis itu bahwa dia tidak akan melakukan hal-hal aneh di buku kesayangan itu, tapi akhirnya dia berhasil membujuk Indah.

"Aku boleh nulis daftar impian di sini? Impian aku dan kamu biar perjalanan hidup kita semakin menarik dan menantang. Boleh?"

Meskipun Indah sempat menolak, tapi buku bersampul cokelat itulah yang selalu dia buka sebagai pelarian atas hari-harinya yang monotan dan memuakkan. Jika ada pengalih tambahan berupa daftar impian, mungkin lebih seru dan bermakna. Dengan pertimbangan itulah Indah setuju.

"Untuk sekarang impian yang bisa kita kejar adalah jadi penulis."

Indah memandang Gie dengan mata berkaca-kaca. Seumur hidup Indah tidak pernah berani menuliskan keinginan itu karena harus menghabiskan waktu dengan banyak hal. Namun, ketika Gie yang menuliskan impian itu untuknya, Indah merasa tidak ada yang mustahil. Air matanya menetes ketika mendengar ucapan Gie.

"Kamu gak boleh membunuh impian dengan cara tidak mencoba. Kamu harus bunuh impian itu dengan cara mendapatkannya." Gie tidak hanya mengatakan kalimat itu, tapi juga menuliskannya di sampul belakang buku itu. "Berani coba?"

Indah menghapus air matanya dengan kasar. "Aku pengen, Gie. Bantu aku."

"Dengan senang hati. Aku pengen kita buat cerita yang akhrinya gak seperti lagu Rewrite The Starts. Kita harus menuliskan cerita yang bahagia untuk kita baca dan kenang."

Indah mengangguk, membangkitkan semangatnya. Dari kejadian ini, dia berjanji untuk tidak melepaskan Gie kecuali cowok itu sendiri yang memilih pergi. Dia tidak akan pernah meninggalkan orang yang kembali menghidupkan mimpinya. Tidak akan pernah.

 Tidak akan pernah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang