Daripada menjawab sambil marah-marah, Indah memilih diam untuk menenangkan diri. Tadi sebelum ke minimarket, kakak dan kakak iparnya belum ada di rumah. Namun, sekarang mungkin salah satu di antara mereka sudah pulang. Tidak ada yang boleh melihat kondisi berantakannya saat ini, apalagi sang kakak. Bisa-bisa mobilnya kembali disita karena masalah buta arahnya lagi.
"Gie, singgah bentar. Aku gak mau pulang dalam keadaan berantakan kayak gini."
Gie pun menurut, memberhentikan motor di depan masjid kompleks. Indah segera masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan wajah sesegara mungkin. Tidak lebih dari sepuluh menit, Indah keluar dari sana dengan keadaan lebih tenang dan bersih.
"Kamu yakin gak papa?" Raut khawatir Gie tidak dapat disembunyikan ketika melihat mata sedikit sembab Indah.
"Gak papa. Soal HP, aku masih bisa beli, cuma yakinin kakak aku aja kalau HP aku beneran rusak." Indah naik ke jok motor lalu menyuruh Gie kembali bergerak.
"Kita tunda diskusinya aja, Ndah. Kamu istirahat, kita tinggal atur jadwal aja kapan ketemu lagi untuk bahas proyek novel kita," saran Gie. Kasihan saja rasanya jika harus meneruskan rencana awal mereka padahal kondisi Indah sedang sedikit terguncang.
Mereka tiba di rumah Indah. Gie mematikan mesin motor. Indah membuang napas panjang sebelum mengajak Gie masuk ke rumah. Kakaknya ternyata juga sudah pulang. Menurutnya ini kesempatan bagus untuk memperkenalkan temannya dari fakultas lain ke sang kakak.
"Makasih, Gie udah nolongin aku hari ini. Aku setuju kalau diskusi kita ditunda dulu. Besok-besok kita bahas. Tapi, kamu jangan langsung pergi dulu, kita makan malam sama-sama. Kakak ipar aku memang belum pulang, sih, tapi kakak aku udah ada."
Gie tersenyum kecut. Dia tidak enak saja rasanya memasuki rumah besar seperti ini. Seumur hidup, Gie memang tidak pernah mempunyai teman yang memiliki rumah sebesar ini. Dia melirik baju dan celana yang dikenakannya sekarang, memang tidak buruk, tapi tetap saja beda level jika dia menginjakkan kaki ke dalam sana.
"Gak usah, Ndah. Aku udah makan, kok," tolaknya meskipun sebenarnya dia ingin sekali. Sebagai anak kostan, menolak makanan gratis sama saja rugi besar.
Indah mengambil paksa kunci motor Gie dan melangkah masuk ke dalam rumah. Mau tidak mau Gie pun ikut saja. Lagi pula tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ketika pintu terbuka, cahaya lampu yang menggantung di ruang tamu seakan-akan menyorotnya. Kursi tamu, meja, foto-foto semua tertata dengan rapi. Dia jadi ragu melangkah melewati pintu.
"Ibu Ika, aku ada tamu. Tolong dilayani ya, aku ke kamar dulu sebentar. Oh iya, temen aku ikut makan malam di sini." Begitu orang yang dipanggil Ibu Ika muncul, Indah balik menatap Gie. "Gie, aku ke kamar dulu ya. Kamu tunggu di sini sebentar."
Gie mengangguk kaku lalu masuk ke dalam rumah, memilih sofa yang tak jauh dari pintu. Dia duduk dengan hati-hati, takut menggores sofa ini. Pastilah semua barang yang ada di sini harganya jutaan. Rumahnya saja luas sekali, rumahnya tidak ada apa-apanya.
"Terima kasih, Bu," ucapnya ketika Ibu Ika meletakkan segelas teh di meja. "Aku megangnya gimana, ya, biar aman." Gie berusaha membuat tangannya berhenti bergetar. Kalau seperti ini terus, tehnya tidak akan bisa dia minum, paling parah gelas itu akan jatuh karena kebodohannya.
"Kamu temennya Indah?"
Mendengar suara itu, Gie tidak jadi menyentuh cangkir dan beralih melihat ke sumber suara. Seorang laki-laki tinggi, memakai kemeja kantoran, sepertinya baru pulang kerja, dan terlihat berumur sekitar tiga puluhan tahun kini duduk di sofa tepat di depan Gie. Sadar kalau laki-laki ini kakaknya Indah, Gie langsung menjawab.
"Iya, Kak. Saya temennya Indah." Entah mengapa Gie jadi tidak tenang berada di sini, hawa di sekitarnya terasa berat.
"Jurusan apa? Gak mungkin kedokteran, kan? Atau teknik? Hukum?"
Alis sedikit menukik ke atas laki-laki di depannya semakin membuat Gie tertindas. Namun, dengan perlahan Gie mencoba menguasai diri. Kenapa dia jadi seperti ini? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gie tersenyum ramah. "Saya Gie, Kak, dari jurusan sastra Indonesia."
Laki-laki yang dipanggil Sultan itu tersenyum remeh, begitulah yang Gie lihat. Bisa saja matanya yang salah. Namun, dugaannya tepat ketika kalimat Sultan berikutnya sedikit menyinggung hati Gie.
"Kenapa adek saya dekat sama cowok dari jurusan yang gak menjanjikan apa-apa. Sastra Indonesia prospek kerjanya apa? Oh iya, nama kamu siapa tadi?"
Gie mengepalkan tangan, alisnya mengerut dan dia benar-benar tidak bisa mengontrol raut wajahnya. Namun, dia berusaha untuk menenangkan hati. Ini bukan pertama kali dia mendengar ada orang yang meremehkan jurusan sastra, bukan hanya sastra Indonesia.
"Nama saya Gie Angga. Suatu hari nanti Kakak bisa lihat buku saya menjamur di toko-toko buku." Gie kembali tersenyum, kali ini lebih lebar. "Kakak bisa mengingat nama saya, sekali lagi Gie Angga."
Sultan tertawa kecil seraya bangkit dari duduknya. "Kamu pasti sudah tau nama saya. Andi Sultan Umar, seorang arsitek ternama di Jakarta. Dulu saya kuliah di kampus top, jurusan teknik arsitektur. Langsung dapat pekerjaan setelah lulus. Apa jurusan sastra Indonesia bisa seperti itu?"
Gie merapatkan mulut, giginya bergemeletuk saking emosinya. Dia tidak pernah setuju dengan orang yang memandang remeh jurusannya. Dia bangkit, menatap mata Sultan dengan tatapan tajam. Dia jadi lupa bahwa orang yang dihadapinya saat ini adalah kakak Indah.
"Saya selalu menghormati orang yang lebih tua dari saya. Tapi, ketika saya berhadapan dengan orang yang tidak bisa saling menghargai, saya rasa saya hanya membuang-buang waktu dan tenaga saya yang berharga untuk berbicara."
"Sama dengan saya. Saya hanya membuang waktu dengan orang yang tidak tahu masa depannya akan seperti apa dengan jurusan seperti kamu."
"Apa masalahnya?"
"Salah kamu adalah berteman dengan Indah yang harusnya fokus belajar dengan serius."
Mereka saling tatap-tatapan dengan tajam. Sudah tidak ada pembicaraan. Gie tidak mau kejadian ini lebih parah jika dia membalas. Tatapan itu akhirnya terputus ketika Indah muncul dengan pakaian berbeda dan dengan senyum merekah.
"Eh, Kak Sultan. Kakak sudah bicara sama Gie? Dia temanku, Kak dari jurusan sastra, calon penulis yang sudah kucerita waktu itu."
Cara bicara Indah berubah ketika berbicara dengan Sultan, tapi Gie masih bisa paham bahwa Indah begitu bersemangat memperkenalkannya dengan sang kakak.
"Dia ikut makan malam sama kita."
"Indah, aku pamit pulang. Ada hal mendadak yang harus aku kerjain." Gie meminta kunci motor yang masih Indah pegang. Indah ingin melarang, tapi Gie kembali mempertegas ucapannya untuk tidak ikut makan malam. "Aku pamit, Ndah. Terima kasih jamuannya," liriknya ke arah Sultan.
Gie segera keluar rumah dan menghampiri kendaraannya sebelum Indah sempat mempertanyakan apa yang terjadi. Malam ini, Gie betul-betul melihat perbedaan yang begitu jauh di depan matanya. Seperti inikah maksud pesan ibunya sebelum dia merantau ke Jakarta? Kalau memang benar, Gie harus belajar cara menyelesaikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?
General Fiction"Aku akan jadi sastrawan hebat, dan menjemput kamu sesuai janjiku." Kata orang, jangan pernah percaya seratus persen pada janji karena tidak semua orang yang berjanji akan menepati. Namun, Indah selalu yakin, Gie tidak akan menyerah. Sama seperti di...