Gie menarik tangan Indah dan mengenggamnya kuat-kuat, takut gadis itu hilang arah. Selama mengenal Indah, Gie yakin kalau kebanyakan perempuan memang memiliki masalah navigasi. Namun, ketika mengingat anime yang ditontonnya, ada satu perempuan yang mampu menentukan arah perjalanan dengan baik sehingga karakter anime itulah yang mematahkan dugaannya kalau sebenarnya perempuan tidaklah begitu buruk membaca peta jalan. Akan tetapi, Indah tetaplah Indah, gadis ini memang sedikit bermasalah.
Gie yakin, sekali melepas Indah di keramaian dan membiarkannya kelayapan tanpa pengawasan, Indah tidak akan dapat menemukan tempatnya semula. Dia tidak ingin hal itu terjadi dan mengusik kesenangan mereka hari ini.
"Denger, Ndah. Jangan pernah lepas tangan aku apapun yang terjadi," titahnya seraya mengangkat tinggi genggaman tangannya.
Indah meringis, tapi juga menggerutu. Menurutnya Gie terlalu berlebihan. "Aku bukan anak kecil, Gie."
"Memang bukan, tapi untuk menentukan jalan kamu lebih dari anak kecil."
Indah mulai memasang wajah tidak terima. "Enak aja!"
"Diem kemasan sachet." Kali ini Gie berjalan sambil sedikit menyeret Indah karena tiba-tiba gadis itu jadi ogah-ogahan melangkah.
Hari ini mereka sudah membuat janji untuk menghabiskan waktu di toko buku di salah satu mal. Memang bukan hari libur, tapi hanya ini waktu yang mereka punya.
"Kamu pengen beli berapa novel hari ini, Ndah?" Gie mulai mencari buku buruannya dan juga berniat menambah koleksi komik. Tak kunjung mendapat respons Indah, Gie melirik ke belakangnya. "Hah! Ngapain si Sachet di sana?" Gie tidak dapat menahan tawa ketika melihat orang yang dicari menggaruk-garuk kepala, kebingungan di antara tumpukan buku diskon yang terpajang di depan toko buku.
"Indah, kamu ngapain di sini?" Gie menutup matanya menggunakan salah satu tangan sambil tertawa.
Indah menggerutu, tapi bingung juga kenapa malah berakhir kembali ke depan toko. Padahal tadi dia memasuki pintu yang yang juga terdapat rak-rak buku di dalamnya. "Kamu, sih, Gie lepasin tanganku. Aku jadi tau kalau yang bisa lepas genggaman kamu itu buku."
Gie mulai meredakan tawanya. Betul juga, saking girangnya melihat-lihat buku, dia jadi lupa kalau sedang pergi dengan Indah. Alhasil gadis itu jalan sendiri mengitari toko buku. "Ya maaf. Sepenting itu buku daripada kamu."
"Aku sakit hati, nih, lama-lama. Aku gak suka loh diginiin. Aku marah, nih. Aku pulang aja kalau gitu."
Bukannya khawatir Indah benar-benar pergi, Gie malah tertawa karena terhibur. "Dasar kemasan sachet."
"Berhenti panggil aku kemasan sachet. Aku gak mini-mini banget, kok."
"Eits, tungguin. Aku temenin milih buku, nanti nyasar lagi." Mau tidak mau, Gie mendahulukan Indah memilih bukunya.
Mereka menghabiskan waktu hampir sejam lebih di toko buku. Selain karena betah berlama-lama, pemandangan dari sini sangat cantik, apalagi di hadapan mereka terdapat jendela kaca besar yang langsung menghadap gedung-gedung tinggi ibu kota. Dari lantai tiga, kendaraan di sore hari menjelang malam begitu memesona. Lampu-lampu jalan, kendaraan, gedung serta perpaduan langit orens sempat membuat keduanya berhenti memilih buku dan justru menikmati momen itu, tak lupa mengambil beberapa foto masing-masing.
"Udah gak ada tambahan?" Gie memastikan sekali lagi sebelum meninggalkan toko buku.
Indah mengangguk setelah mengecek judul-judul novel yang dibelinya. Akhir-akhir ini, otaknya sangat berat memikiran tugas kuliah dan praktikum. Otaknya ingin dibawa santai di tengah kesibukan membaca banyak hal mengenai obat-obatan. Membaca novel selalu menjadi pelarian paling menyenangkan, dan juga membakar semangatnya untuk menuliskan ide-ide tulisan yang terkadang didiskusikannya bersama Gie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?
General Fiction"Aku akan jadi sastrawan hebat, dan menjemput kamu sesuai janjiku." Kata orang, jangan pernah percaya seratus persen pada janji karena tidak semua orang yang berjanji akan menepati. Namun, Indah selalu yakin, Gie tidak akan menyerah. Sama seperti di...