08. Difficult choice

2.1K 186 118
                                    

Disclaimer!

• Narasi harap dibaca juga, agar paham alur dan karakter tiap tokoh.
• Komentar sesuai alur cerita, jangan bawa cerita lain.

Cerita ini diketik 10280 kata.

Happy Reading!

***

Angin malam menyapu permukaan kulitnya. Dara kini pergi melewati pintu belakang. Ia sama sekali tidak ingin membuat keributan besar jika melewati pintu depan. Beruntung malam ini, Ian dan Chandra yang jaga gerbang depan, jadi posisi yang menjaga pintu belakang tidak ada, karena salah satu anggota yang seharusnya berjaga di belakang sedang tidak masuk dan dibiarkan kosong.

Dara memiliki kesempatan besar untuk meninggalkan rumah ini sekarang. Langkah kakinya memelan, sementara Mba Anin, Mba Janis serta Bu Rania sudah berada di depan pintu bersama Leon yang kini berada di gendongannya. Karena anak itu belum juga bangun dari tidurnya. Dara terpaksa membawanya pergi saat sedang terlelap.

Kepalanya menoleh lagi ke belakang, memandangi rumahnya yang Alvaro berikan sebagai hadiah pernikahannya. Hingga Dara tak pernah menyangka akan keluar dari rumah ini dengan berat hati, namun harus tetap Dara lakukan untuk kewarasan dirinya.

“Bu, taksinya sudah sampai,” kata Rania.

Dara menetralkan kembali ekspresinya. Lalu melangkah menghampiri mereka yang membantu sang sopir mengangkat koper-koper milik Dara serta Leon hingga box mainan anak itu.

“Bu, mainan Leon masih banyak sebenarnya di ruang bermainnya,” kata Mba Anin sambil mendorong stroller karena Leon masih terlelap.

“Mba, gapapa. Setidaknya, kalau Leon nanti mencari mainannya, saya gak perlu repot untuk mengambilnya lagi ke rumah ini,” kata Dara.

Mba Anin mengangguk namun hampir menangis karena berpisah dengan Leon. “Bu ... saya ikut ibu, ya?” tangis Mba Anin pecah dan pegangannya terhadap stroller Leon menguat.

Dara menghampiri Mba Anin dan memeluknya. “Saya mau kamu ikut, tapi saya gak punya wewenang untuk itu, Anin.”

Pelukannya merenggang dan Mba Anin masih menangis. Rania menatap Dara lekat dan mendekati sang nyonya. “Bu, saya tidak bisa berjanji untuk tetap terus merahasiakan alamat unit apartemen Bu Dara ke Pak Al.”

“Tidak apa-apa, Rania. Percuma juga saya merahasiakannya, karena cepat atau lambat beliau pasti dengan mudah menemukan keberadaan saya dan Leon.”

Rania mengangguk, karena memang sudah pasti Alvaro dengan mudah dan cepatnya menemukan tempat tinggal Dara dan Leon yang baru.

“Semua kopernya sudah masuk ke dalam mobil, Bu,” kata sang sopir.

Stroller-nya ya, Pak. Maaf merepotkan, bapak,” kata Dara namun sang bapak tetap tersenyum.

Dara menggendong Leon sambil mengusap punggung anak itu, guna menenangkannya agar tidak terbangun. Dara tersenyum sambil menatap ketiga maid yang selalu menjaganya dari sejak awal Alvaro dan dirinya menikah hingga kini Leon berumur lima tahun.

“Saya pamit ya, terima kasih, semoga saya dan kalian bisa bertemu lagi suatu saat nanti,” kata Dara menunduk kecil sebagai rasa terima kasihnya kepada mereka.

Baik Rania, Anin dan Janis pun ngebow ke arah Dara dan Leon membuat sang sopir ikut terkejut melihatnya. Kemudian Dara dan Leon masuk ke dalam mobil untuk segera pergi meninggalkan rumah ini, rumah yang penuh sekali kenangannya dengan Alvaro. Rumah yang selalu Dara kira bisa menghangatkannya namun kini berubah menjadi penyebab hadirnya rasa trauma yang mendalam.

Aldara 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang