Disclaimer!
• Narasi harap dibaca juga, agar paham alur dan karakter tiap tokoh.
• Komentar sesuai alur cerita, jangan bawa cerita lain.Cerita ini diketik 8009 kata.
Happy Reading!
***
Alvaro termenung di meja kerja kantornya. Setelah meeting dengan divisi Marketing barusan lalu sebelumnya ia juga ada visit proyek pun membuat Alvaro merasa tenaganya terkuras habis. Pandangannya tertuju pada bingkai foto di hadapannya. Ada tiga disana, bingkai paling kiri ada foto Leon yang menggemaskan saat anak itu berulang tahun yang kelima kemarin, bingkai foto paling kanan adalah foto Dara yang sedari dulu tak pernah ia rubah posisinya, lalu bingkai foto yang di tengah adalah foto kebersamaan keluarga kecilnya.
Entah apa yang ada di pikirannya sekarang yang jelas Alvaro juga sama kacaunya seperti Dara. Ia terus menatap surat gugatan cerai yang ada di atas mejanya sambil mengetuk ketuk penanya dengan pelan.
"Saya gak tau harus tanda tangani ini atau tidak, Adara. Saya diserang dari segala sisi oleh semua orang dan membuat saya akhirnya harus memilih antara keluarga atau mempertahankan bisnis yang sudah keluarga saya bangun dari nol."
Pandangannya kembali beralih pada foto Leon. "Papa minta maaf, Leonel."
Alvaro menekan bolpoinnya dan hampir saja hendak ingin menandatangani surat gugatan cerai dari sang istri. Namun, semuanya terhenti karena suara ketukan pintu dan Fero masuk ke dalam.
"Mas?"
Fero terlonjak kaget ketika melihat Alvaro sudah hampir menandatangani surat gugatan cerai dari Dara. "Mas serius mau tandatangani surat gugatan itu?"
Alvaro menaruh lagi bolpoinnya, rahangnya mengeras. Ia bahkan tidak tahu harus bersikap bagaimana. "Apa gak ada solusi lain, Fero?"
"Saya gak tau, Mas. Tapi kalau dengan menandatangani surat gugatan itu bikin Dara dan Leon bebas dari incaran Pak Arlan dan juga Azora, serta Pak Broto dan semua orang yang mengincar mas, saya rasa saya harus mendukung keputusan itu."
Kepala Alvaro mendongak seraya menatap langit-langit ruangannya. Pilihannya terlalu sulit. Dari sekian banyak solusi, kenapa Alvaro harus dihadapkan dengan hal ini?
Kedua tangannya gemetar, Alvaro meraih bolpoinnya dan hendak menandatangani surat itu, namun Alvaro tidak bisa. Tangannya terlalu berat untuk tanda tangan di atas kertas itu. Detik berikutnya, Alvaro membanting bolpoinnya ke atas meja seraya mengacak rambutnya frustasi dan beranjak dari sofa.
"FUCK!" umpat Alvaro. "Gue gak bisa, Fero! Gue gak bisa tinggalin Dara dan Leon!" Napasnya tersenggal, kedua mata Alvaro berkaca-kaca dan Fero bisa melihat hal itu.
"Mas, kayaknya memang gak ada cara lain. Pak Arlan sedang bergerak mencari cara untuk menjatuhkan mas, untuk merebut Gersivic."
Alvaro mengatur napas tersenggalnya. "Terus kenapa sampai detik ini, kita belum bisa juga menemukan surat wasiat asli kakek?!"
"Maafkan saya, Mas. Saya dan Luke sedang berusaha, lokasi terakhir pelacakannya ada di dekat Gersivic. Tapi setiap di cek selalu berpindah-pindah," jelas Fero.
Alvaro mengusap sudut matanya lalu ikut menunduk sambil berkacak pinggang. Air matanya terjatuh begitu saja dan Fero melihatnya. Namun, yang membuat Fero terheran kenapa Alvaro sampai menangis seperti ini?
"Fero, bisa tolong atur pertemuan dengan seluruh sepupu sepupu saya terutama dengan Arlan."
"Baik, Mas," kata Fero. "Terus soal surat gugatan itu gimana, Mas? Pak Darwin sudah bertanya perihal kelanjutannya seperti apa."
![](https://img.wattpad.com/cover/340483163-288-k549076.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aldara 3
Romantizm[Sequel Aldara] [Follow sebelum membaca] Cover by Sridewi [Instagram: @/sartgraphic_] (Nama, karakter, tempat dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiksi) Perpisahan adalah kata paling tidak memungkinkan jika terjadi pada keluarganya. Tapi Dara meng...