14. Nostalgia

2.8K 187 70
                                    

Disclaimer!

• Narasi harap dibaca juga, agar paham alur dan karakter tiap tokoh.
• Komentar sesuai alur cerita, jangan bawa cerita lain.

Cerita ini diketik 8644 kata.

Happy Reading!

***

Langkah kaki itu berhenti di depan pintu kaca Cavity Nine yang dilapisi dengan sensor keamanan yang sangat ketat. Alvaro masuk ke dalam didampingi oleh Luke dan juga Damian yang mengiringinya menuju ruangan yang Alvaro jadikan tempat persembunyian sang ayah.

“Perkembangannya cukup baik, Tuan Angga sudah siuman dan bisa mengerti mengapa beliau di pindahkan ke Cavity Nine,” jelas Luke.

Sambil tetap berjalan, Luke menjelaskan bagaimana perkembangan Angga karena memang selain meng-handle Cavity Nine ia juga bergerak memantau kondisi kesehatan Tuannya pasca kejadian tempo lalu.

“Tuan Angga sudah menunggu,” kata Luke yang kini mempersilakan Alvaro memasuki ruangan besar nan mewah yang disulap menjadi seperti layaknya ruang perawatan di rumah sakit besar.

“Al,” gumam Angga yang sudah tak lagi memakai alat bantu pernapasan.

Alvaro tersenyum tipis lalu menghampiri papanya dan duduk di kursi samping ranjang. “Hei, Pa! Gimana kondisi papa?”

“Papa sudah sehat, papa ingin kembali,” kata Angga.

“Setelah Om Bram bilang papa sudah pulih total, baru papa bisa kembali.”

Angga menghela napas kasarnya. “Kamu kenapa menyembunyikan papa disini?”

“Saya menggelar pemakaman papa dengan sengaja untuk mengelabui Arlan, supaya dia merasa menang.”

“Jangan melawan dia sendirian, papa khawatir kamu kenapa-napa,” pinta Angga.

Alvaro sudah mengetahui risikonya sedari awal, tapi ini merupakan solusi satu-satunya supaya keluarganya bisa terbebas dari ancaman yang tak terduga dari Arlan dan juga para tikus peliharaannya.

“Saya tau risikonya, Pa. Makanya saya menyetujui gugatan cerai Dara waktu itu, karena jika saya masih mempertahankannya, saya gak tau, apa saya masih bisa melindungi anak dan istri saya.”

Tangan Angga terulur untuk mengusap pundak putranya. “Besar sekali pengorbananmu. Tapi papa mohon dengan sangat, tolong tetap hidup untuk papa, untuk Dara dan juga untuk Leon. Kami tidak bisa hidup tanpa kamu, nak.”

“Pa, saya bahkan rela bertaruh nyawa hanya untuk ketenangan hidup orang-orang yang saya sayangi. Saya bukan orang yang  gila harta, saya hanya ingin menyelamatkan apa yang sudah keluarga kita bangun dari awal agar tidak jatuh ke tangan orang yang salah, sekali pun taruhannya adalah nyawa saya sendiri.”

“Kamu punya banyak anggota, jangan membebankan dirimu sendiri. Hadapi Arlan dan ajak anggota mu untuk melawan dia. Buat dia bertekuk lutut di hadapanmu. Bergeraklah, perintah lah seluruh anggota mu, buat apa kamu bayar mereka kalo kamu tidak bisa memerintahnya dengan benar. Bijaklah dalam bertindak, dan jaga dirimu sendiri seperti kamu menjaga orang lain.”

Rahangnya mengeras, tatapannya memanas. Mengingat suara ketakutan papanya dalam rekaman suara itu terngiang di kepalanya. Suara Zora begitu mendominasi hingga rasanya ia tak sabar untuk menghabisi wanita itu.

“Saya sudah menemukan pelaku yang hampir saja membunuh papa.”

Pupil mata Angga kembali melebar, ia ingin mengetahui siapa wanita itu. Semoga penglihatannya benar-benar salah, sebab ia melihat sosok wanita itu berpenampilan seperti mantan menantunya.

Aldara 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang