5 : Back To Painting

3.1K 613 44
                                    

"Ingin melukis?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ingin melukis?"

"Apa?"

"Melukis, Leisha." Jeisson mengeringkan tangannya menggunakan serbet setelah selesai mencuci piring kotor. "Kau mendengarku."

Ah, ya. Setelah sekian lama, kata melukis memang agak asing di telinga Leisha. Perempuan itu lalu menggeleng pelan. "Sepertinya, tidak. Aku sedang tak ingin melukis."

"Kenapa tidak? Bukankah kau bilang, kau berhenti melukis karena tak punya banyak waktu luang? Sekarang kau memilikinya. Jadi kenapa tidak melukis?"

Leisha agak tertampar dengan penuturan Jeisson. Itu adalah hal yang wajar dipertanyakan oleh Jeisson, sebab Leisha tidak berkata jujur perihal ini. Sebetulnya ia memiliki waktu untuk melukis. Ia bisa menyempatkan diri sekalipun di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga sekaligus wanita sosialita. Namun Seth tidak menyukai hal tersebut. Seth tidak suka bila istrinya melakukan kegiatan melukis.

Melihat Leisha yang terdiam seribu bahasa, membuat Jeisson cepat-cepat berkata, "Maaf, aku tidak bermaksud untuk memaksamu. Hanya saja, barangkali kau rindu melukis. Jadi aku menawarkan."

Benar, Leisha sangat merindukan kegiatan ini. Sejak kecil, ia sangat menyukai seni—terlebih melukis. Bolehkah ia egois untuk sekali saja? Egois untuk memenuhi letupan rindunya, kendati ia tahu sang suami tidak menyukai itu. Maka Leisha mengangguk di sana. "Baiklah, tidak perlu minta maaf. Ayo kita melukis!" Leisha bangkit dari kursi meja makan. "Aku sangat rindu kanvas dan cat."

Jeisson serta-merta menarik senyum lebar. Keduanya memasuki ruang studio yang ada di penthouse ini. Jeisson menyiapkan segalanya; kursi, penyangga, kanvas berukuran empat puluh kali empat puluh senti, cat, palet, apron, set kuas, dan juga objek yang akan mereka lukis, yaitu setumpuk buku dengan sebuah apel di atasnya.

Leisha menahan napas sejenak. Tangannya agak gemetar ketika menyentuh kuas, memandangi cat yang sudah ia tuang ke atas palet.

"Sudah siap?"

Leisha menoleh ke sisi kanan, di mana Jeisson berada. Perempuan itu mengulas senyum tipis. "Tentu saja."

Keduanya mulai melukis objek yang sama, namun dengan gaya masing-masing. Leisha begitu fokus. Bola matanya bergerak, melirik objek, lalu bergantian pada kanvas dan paletnya. Ia lupa kapan terakhir kali melukis. Yang jelas, afeksi yang hadir benar-benar luar biasa. Rasanya seperti berlari di tengah-tengah kebun bunga pada musim semi; menyenangkan, menenangkan, dan menyejukkan hati.

Jeisson diam-diam mencondongkan penyangga kanvas, kursi, beserta dirinya ke arah Leisha. Ia juga begitu fokus dengan kegiatan tersebut. Kali ini, ia tidak menggunakan aliran realisme, sebab akan membutuhkan waktu yang lama. Jeisson menggunakan gaya semi realistic. Hasilnya tetap saja mengagumkan, kok. Lihat saja nanti.

Memakan waktu sekitar empat jam lamanya tanpa menghasilkan suara yang berarti, akhirnya Leisha mendengus lega. Ia meletakkan palet dan kuasnya di atas meja kecil di sisi kirinya. "Hah—selesai!" ia merasa puas dengan karyanya sendiri, walau itu hanyalah sebuah lukisan setumpuk buku dengan sebuah apel merah di atasnya.

Feign✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang