[M] Berawal dari dikenalkan oleh teman masing-masing, Leisha Carrington dan Seth Livingston akhirnya memutuskan untuk menikah pada tahun berikutnya.
Leisha merasa senang-senang saja walau mereka belum lama saling mengenal. Seth adalah tipikal laki-l...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Daripada langsung pulang ke rumah, Leisha memilih untuk mampir sejenak ke sebuah restoran mewah yang buka sampai pukul satu malam. Leisha memesan seporsi daging panggang premium bersama sebotol wine mahal. Dua hidangan ini jelas sangat lezat untuk dinikmati. Leisha memilih untuk menghibur diri dengan hidangan yang lezat, bersikap seolah dirinya baik-baik saja walau hatinya sedang hancur tak beraturan.
Orang lain mungkin tak menyadari situasi ini, sebab mimik wajah Leisha tak menunjukkan bahwa dirinya sedang bersedih hati. Namun tetap saja, ada saat-saat di mana Leisha merasa bahwa tindakan yang ia lakukan itu sedikit menyedihkan. Suaminya yang brengsek sedang bercinta dengan perempuan lain, sementara Leisha duduk kesepian di sebuah restoran bintang lima.
Leisha lantas menggeleng pelan ketika ia menyadari bahwa dirinya mulai meratapi nasib. Tidak ada yang perlu dikasihani dari dirinya. Walau suaminya berselingkuh dengan perempuan lain, bukan berarti Leisha memiliki banyak kekurangan. Seth saja yang terlalu bodoh karena menyia-nyiakan perempuan seperti Leisha. Seth yang salah, bukan Leisha.
Masih banyak sesak yang bergumul di dalam dada. Matanya kembali lembab. Leisha menekan belah bibir, dan secara tak sadar tengah memotong daging di atas piringnya dengan gesekan keras hingga menimbulkan suara.
"Leisha?"
Pada detik tersebut, Leisha baru tersadar dengan apa yang ia lakukan. Perempuan itu menghentikan gerak tangan, mendongak, dan menemukan presensi Jeisson yang tahu-tahu sudah berada di hadapannya. "Je?"
Jeisson menarik senyum dengan tatap yang sarat akan kekhawatiran. "Kau sendirian?"
"Ah, ya." Leisha memaksakan senyum karena jantungnya berdegub kencang. Bayangkan saja, ia sedang tenggelam dalam isi kepalanya sendiri, dan secara tiba-tiba sosok tampan itu muncul di hadapannya. "Apa kau sedang ada janji dengan seseorang?"
"Aku baru saja selesai bertemu dengan salah satu pembeli lukisanku. Tuan Barnett. Kami makan di lantai dua."
"Ohh ..." Leisha sudah mulai merasa rileks. "Kalau begitu, duduklah. Sedang tidak terburu-buru pulang, 'kan?"
Jeisson lalu mendudukkan diri pada satu-satunya kursi yang tersisa di meja Leisha. Kekhawatiran masih tersirat pada sepasang obsidiannya. "Kau baik-baik saja?"
Leisha terkekeh. "Tentu saja. Apa aku tidak terlihat baik-baik saja?"
"Iya." Balasan singkat Jeisson, membuat Leisha terdiam. Pria tersebut melanjutkan, "Kau hampir membelah piring itu menjadi dua bagian. Dan kelopak matamu ... sedikit membengkak."
Leisha meletakkan pisau dan garpunya. Ia membuang pandang sejenak, mengerjap guna mengurangi rasa panas pada sepasang bola matanya. Adalah kebohongan besar jika ia berkata bahwa dirinya baik-baik saja, di saat hatinya sedang hancur-lebur. Tapi haruskah ia menceritakan soal perselingkuhan sang suami? Bolehkah?
Sebenarnya tidak perlu melempar pertanyaan pun Leisha sudah tahu jawabannya. Tidak baik mengumbar permasalahan rumah tangga pada orang lain. Namun Leisha lelah menahan semuanya sendirian. Ia lelah berpura-pura. Ia lelah bersikap seakan rumah tangganya berjalan mulus tanpa hambatan. Ia ... sudah benar-benar lelah menanggulangi segalanya.