8

4 1 0
                                    

Bulir keringat terus turun dari dahi Qila yang tengah sibuk mengocok adonan pan cake. Disela kegiatannya itu, Qila mencoba rasa adonan yang dia buat dengan menyoleknya menggunakan jari. Enaknya!

Bola mata Qila, membulat sempurna setelah mengetahui jika adonan yang dia buat begitu nikmat. Dia bahkan tidak sabar untuk langsung menuangkannya ke atas wajan panas.

"Pelan-pelan, Mbak." Peringatan itu keluar dari mulut Diva, salah satu pembantu di rumah Qila yang bertugas di dapur.

Perempuan berusia 30 tahunan itulah yang membantu Qila untuk belajar memasak dan ini adalah kali ketiga, mereka mencoba memasak.

Karena grogi, tangan Qila bergetar cukup hebat sehingga membuat bentuk pan cake yang dia masak tidak sempurna. Wajah Qila cemberut saat melihat hal itu dan Diva mulai memenangkannya. "Nggak pa-pa kok mbak kalau bentuknya jelek, yang penting rasanya enak."

Qila kembali membayangkan rasa pan cake yang dia buat sehingga senyum manis kembali terlukis di wajahnya.

Saat akan kembali menuangkan adonan, tiba-tiba saja ponsel Qila berbunyi dan perempuan itu langsung merogoh saku celemek yang dia gunakan.

Setelah Qila mendapatkan ponselnya, dahi perempuan itu mengerut saat melihat ada nomor baru yang menghubunginya. Lantas, perempuan itu mengabaikan panggilan tersebut karena kembali mengingat perintah Adnan untuk tidak menjawab panggilan dari orang yang dia tidak kenal.

Ponsel berwarna putih itu Qila taruh di atas meja dan Diva yang sejak tadi memperhatikannya sedikit kebingungan. "Kok nggak diangkat, Mbak?" tanya perempuan itu dan Qila langsung menggelengkan kepalanya.

"Aku nggak kenal sama yang nelepon, jadinya males ngangkat."

Panggilan dari nomor yang tidak dikenal itu terus masuk ke dalam ponsel Qila sehingga membuat pemiliknya muak dan mematikan nada dering ponselnya.

Sayangnya, hal itu membuat masalah baru di rumah tangganya bersama Adnan. "Kenapa dimatiin sih suaranya?"

Intonasi suara Adnan yang semakin naik membuat amarah Qila ikut terpancing. Dia yang sebelumnya hanya duduk di sisi ranjang, ikut bangkit dan berdiri tepat di hadapan sang suami. "Kan aku udah bilang, ada orang yang nggak dikenal nelepon aku terus."

Penjelasan Qila tidak membuat raut wajah Adnan berubah, dia masih sangat kesal pada istrinya. "Kamu tau nggak? Saya itu khawatir sama kamu. Takut kamu kenapa-kenapa."

"Apaan sih, lebay banget. Aku seharian di rumah Mas. Lagian, mas kan punya nomor telepon penjaga aku. Kenapa Mas nggak telepon mereka?"

"Saya sudah telepon mereka, mereka bilang kamu seharian di kamar. Itu yang buat saya khawatir."

Wajah kaku Qila mencair setelah memahami perasaan Adnan. Perlahan perempuan itu mendekat ke arah sang suami dan memeluknya dengan erat. "Maaf ya, Mas. Aku nggak maksud buat kamu khawatir. Aku cuman capek tadi, terus ketiduran dan kayanya pas itu aku nggak denger apa-apa."

Tangan Adnan mengusap punggung Qila sehingga membuat istrinya itu merasa nyaman. Sebuah kecupan kemudian pria itu layangkan di kepala Qila. "Tolong, lain kali jangan buat saya khawatir. Kamu sendiri tau kan, saya ngelarang mereka masuk ke sini biar kamu ngerasa nyaman. Tapi, kalau kejadiannya seperti ini kayanya saya bakal buang peraturan itu."

Qila spontan menjauhkan dirinya dari Adnan. Mata keduanya bertemu dan Qila kembali menampilkan wajah tak sukanya. "Nggak, aku nggak mau ya! Kamar kita tetep nggak boleh mereka masukin!"

Merasa bebannya kembali bertambah, Adnan menghela napas pelan dan mencoba menarik tubuh Qila untuk masuk ke dalam pelukannya. "Ya sudah, saya nggak bakal hapus peraturan itu. Tapi tolong, jangan buat saya khawatir."

"Iya, Mas. Aku janji."

Karena takut kejadian sebelumnya kembali terulang, Adnan meminta Qila untuk tidak belajar memasak dulu hari ini dan istirahat sebanyak mungkin. Dia melihat sang istri begitu kelelahan dan untungnya Qila dapat mendengar perintahnya.

"Janji ya, jangan bandel lagi," ucap Adnan untuk terakhir kalinya di ambang pintu mobil.

Qila yang mengantarnya sampai ke depan hanya bisa tersenyum kecil, melihat sikap kekanakan sang suami. "Iya, iya tenang aja. Aku nggak bakal masak hari ini."

Adnan sekali lagi menatap wajah Qila dalam sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Sebelum benar-benar pergi, pria itu menurunkan kaca mobilnya dan kembali menatap sang istri. "Saya mungkin telat pulangnya, kalau kamu ngantuk nanti langsung tidur aja ya."

"Iya, Mas."

Setelah benar-benar yakin untuk meninggalkan Qila, Adnan memerintahkan sopirnya untuk menjalankan mobil.

Sepanjang perjalanan, Adnan terlihat sibuk mengetik beberapa pesan, lalu dia kirimkan kepada penjaga istrinya.

P1Qila
Tolong jaga istri saya, jangan biarkan dia masak hari ini.

Pesan itu, langsung masuk ke dalam ponsel Sela yang tengah menemani Qila di ruang tamu. Perlahan, wajah istri bosnya itu menoleh dan menatap ke arah Sela yang hari ini hanya menjaga sendirian.

"Siapa?" tanya Qila tiba-tiba dan dahi Sela mengerut bingung.

"Siapa apanya, Mbak?"

"Siapa yang chat kamu?"

Qila semakin penasaran dengan sikap Sela yang berubah. Perempuan itu bahkan sampai menyanggah kepalanya dengan tangan saat memperhatikan Sela.

"Bukan, bukan siapa-siapa, Mbak."

Seharusnya Sela tidak berbohong pada Qila, tetapi entah kenapa dia melakukan hal tersebut. Untungnya setelah itu Qila kembali membalik tubuhnya untuk menonton televisi.

Menjelang siang, Qila yang bosan dengan aktivitasnya menemui Diva yang tengah sibuk memasak. "Masak apa, Bi?"

Diva terlonjak kaget setelah mendengar suara Qila yang datang dari belakang tubuhnya. Sembari memegang dada, perempuan paruh baya itupun berkata, "astaga, Mbak. Ngagetin aja."

Tawa kecil keluar dari mulut Qila sebelum akhirnya perempuan itu mengucapkan maaf. "Maaf ya, Bi. Aku nggak ada maksud kok buat Bibi kaget."

"Iya, nggak pa-pa kok, Mbak. Saya tau."

Diva kembali membalik tubuhnya dan melanjutkan pekerjaannya. Tangan kanannya begitu sibuk mengaduk sup yang tercium sangat harum. "Hmm, sup apa itu, Bi? Kayanya enak."

"Ini sup kepiting, Mbak. Kesukaan Pak Adnan."

Jawaban singkat Diva membuat Qila terdiam. Dia sedikit merasa sedih karena tidak mengetahui apa yang suaminya sukai padahal mereka sudah menikah.

"Mbak, mbak nggak pa-pa kan?"

Pertanyaan Diva membuat Qila yang tengah melamun pun sadar. Dengan senyum kakunya, perempuan itu menggeleng pelan. "Nggak kok. Aku nggak pa-pa."

"Syukurlah."

Tak lama kemudian, Diva berhenti mengaduk dan mematikan kompor yang pertanda masakan tersebut sudah selesai alias matang.

Qila yang kini tengah duduk terus memperhatikan Diva yang sibuk pergi kesana kemari dan berakhir di depannya. "Mau sup, mbak?" tawarnya sembari mengangkat sebuah mangkuk.

Tanpa berpikir panjang, Qila menganggukkan kepalanya dan Diva kembali melangkah menuju panci sup. Setelah menuangkan dua sendok sayur sup ke mangkuk yang dia bawa, Diva kembali berjalan ke arah Qila dan menaruh mangkuk tersebut di atas meja.

Perlahan, Diva mendorong mangkuk sup ke arah Qila. "Silakan, Mbak."

Dengan senang hati, Qila mencoba sup yang Diva buat dan setelah merasakan makanan tersebut, Qila tidak bisa membohongi ekspresi wajahnya. "Enak, enak banget."

***

Diuji Sikap Si Istri KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang