Setelah diacuhkan oleh Qila semalaman, Adnan merasa memiliki tanggung jawab besar untuk kembali berbaikan oleh sang istri yang enggan untuk sekedar menatapnya.
Adnan memutuskan untuk tidak bekerja dan menemani Qila yang hari ini akhirnya diperbolehkan untuk pulang.
Suasana kamar rawat Qila begitu sunyi tanpa suara, Adnan terlihat sibuk membantu Sela dan Rina membereskan barang-barang Qila yang akan dibawa pulang.
Di sisi lain, Qila yang sudah siap dengan gaun katun bermotif bunga asyik menggoyangkan kakinya di atas kasur.
"Masih lama nggak?"
Qila begitu bosan menunggu waktu pulang ke rumah. Mendengar pertanyaan perempuan itu, sontak ke tiga orang yang ada di hadapannya menoleh.
"Sebentar ya, Mbak. Sebentar lagi selesai kok."
Surat kepulangan Qila sudah ada di tangan Adnan dan mereka tinggal keluar dari ruangan. Setelah Rina dan Sela kembali melakukan kegiatannya, Adnan menjauh dari kedua pegawainya itu dan perlahan mendekati Qila yang tiba-tiba sedikit gugup melihatnya.
"Ayo kita keluar duluan, biar bawaan kamu Sela dan Rina yang bawa."
Adnan menyodorkan telapak tangannya untuk Qila pegang. Namun bukannya langsung menerima, Qila hanya melihat telapak tangan suaminya itu sekilas lalu beralih menatap wajah Adnan.
"Kenapa?" tanya Adnan dengan lembut. Dia penasaran kenapa Qila tidak mau menerima tangannya.
Dengan pelan Qila menggelengkan kepalanya, lalu turun dari kasur tanpa memegang tangan Adnan. Namun saat perempuan itu melangkah, Adnan menahannya.
"Qil, tolonglah. Saya nggak mau kita berantem terus. Apa yang perlu saya lakukan untuk membuat kamu tidak marah lagi?"
Qila terdiam sejenak, dia sendiri sebenarnya merasa bersalah dengan sikapnya terhadap Adnan, tetapi tidak bisa melakukan apapun. Suasana hatinya terus berganti dan membuatnya ikut kebingungan.
Tangan kanan Qila menggenggam tangan sang suami yang memegang lengan kirinya. Setelah mengusapnya pelan, Qila melepaskan genggaman tangan Adnan dan membalik tubuhnya untuk menatap wajah suaminya itu.
Mata Qila tiba-tiba memerah saat menatap Adnan yang ada di hadapannya. "Mas, maafin aku ya."
Qila memeluk tubuh Adnan dengan erat sesaat setelah mengungkapkan maafnya. "Maafin aku sudah buat susah, Mas. Maafin aku bikin kesel Mas terus."
Hal yang mengganjal di hati Qila kini perempuan itu sampaikan. Dia merasa tidak berguna dan malah membuat Adnan terus susah. "Aku sayang, Mas."
Terharu dengan ucapan sang istri membuat mulut Adnan Kelu sampai-sampai tak dapat berkata sepatah kata pun. Tangannya yang besar perlahan mengusap punggung Qila yang sedikit bergetar.
Pemandangan itu membuat Sela dan Rina yang sudah siap ikut terharu. Namun karena tau jika bos mereka perlu waktu bersama, keduanya memutuskan untuk pergi lebih dahulu ke parkiran.
Sudah cukup lama, keduanya tidak merasakan keintiman seperti sekarang ini. Biasanya keduanya terus bertengkar dengan alasan yang tidak masuk akal.
"Mas, maafin aku ya kalau ada salah," ucap Qila lagi dan perlahan Adnan menjauhkan dirinya. Kedua tangan pria itu kemudian memegang bahu kecil milik Qila saat mata mereka bertemu.
"Kamu nggak salah apa-apa, Sayang."
Lembut sekali nada suara Adnan saat berbicara, dia benar-benar tidak merasa jika Qila memiliki salah padanya. Dia tau jika suasana hati istrinya itu dipengaruhi oleh hormon kehamilannya.
"Udah ya, jangan nangis lagi," ucap Adnan dengan ibu jari yang mengusap air mata di pipi Qila.
Dengan sekuat tenaga, Qila melukis senyum kecilnya dan sepasang suami istri itu kemudian keluar dari ruang rawat yang sudah mereka tempati dalam beberapa hari ini.
Selama perjalanan menuju parkiran, Adnan merangkul Qila dan mereka tampak santai berbicara. Sikap itu membuat orang-orang yang melihat mereka iri.
"Hati-hati masuknya, Sayang," ucap Adnan sembari membantu Qila masuk ke dalam mobil dan dia ikut melakukan hal yang sama setelahnya.
"Mau langsung balik atau mau jalan dulu?" tanya Adnan setelah mereka sudah duduk di kursi masing-masing.
Mendengar pertanyaan tersebut, mata Qila berbinar menatap sang suami yang duduk di sisinya. "Emangnya boleh jalan?"
"Boleh ... ," ucapan Adnan tertahan karena Qila bersorak bahagia mendapat izin pergi dari suaminya. "Jangan senang dulu. Kamu boleh jalan, tapi ada syaratnya."
Wajah Qila berubah lesu dan cemberut saat Adnan kembali mengangkat suaranya. Dia pikir Adnan mau mengizinkannya dengan bebas, tetapi ternyata tidak.
"Apa syaratnya?" tanya Qila dengan penuh semangat. Dia benar-benar bosan tinggal di rumah sakit dalam beberapa hari ini dan ingin sekedar refreshing saat ini.
"Kamu cuman boleh jalan sama saya, nggak boleh sama yang lain."
"Ih, kok gitu. Kamu kan sibuk, berarti aku cuman bisa jalan sekali-kali don?"
Benar kata Qila, Adnan begitu sibuk dengan pekerjaannya dan dia yakin setelah ini tidak ada agenda jalan-jalannya lagi.
"Enggak kok sayang, saya akan lebih sering bersama kamu. Saya juga sudah mulai lelah dengan pekerjaan saya," jelas Adnan yang kembali membuat Qila terkejut.
"Ih, jangan ngomong gitu dong!"
Intonasi Qila meninggi dan membuat Adnan terkejut. Sudah cukup lama dia tidak mendengar suara tinggi milik Qila.
"Memangnya bicara saya salah?"
"Iya, salah. Kalau kamu nggak kerja, kita makan apa? Gimana sama anak kita nanti? Aku nggak mau dia kelaparan."
Memahami ucapan Qila yang salah paham, Adnan tertawa pelan dengan yang lain ikut melakukan hal yang sama.
"Ih, kalian kenapa sih? Kok pada ketawa!" bentak Qila dengan wajah cemberut. Dia merasa ucapannya tidak ada yang salah, tetapi mereka yang ada di mobil serempak menertawakannya.
Tangan Adnan perlahan mengusap kepala Qila yang sudah mengacuhkannya. Perempuan itu sudah membuang pandangannya keluar jendela dengan bibir melengkung ke bawah.
"Sayang, kita nggak bakal jatuh miskin kalau saya nggak kerja."
Penjelasan singkat Adnan membuat Qila kebingungan, wajah perempuan itu kembali menoleh dan menatap wajah sang suami yang menatapnya.
"Maksud kamu?" tanya Qila meminta penjelasan.
"Usaha saya banyak, Qil. Kamu nggak usah khawatir, mau kita punya 10 anak juga nggak masalah. Saya bisa biayain mereka semua."
Qila merinding setelah mendengar ucapan Adnan, dia tidak bisa membayangkan jika akan melahirkan anak sebanyak itu. "Aku nggak mau punya banyak anak!"
"Itu perumpamaan sayang, bukan berarti saya nyuruh kamu buat melahirkan banyak anak."
Qila sangat lega setelah Adnan menjelaskan apa maksud ucapannya. Walau dia anak tunggal dan mengharapkan saudara saat kecil. Namun sekarang, keinginannya itu dia buang jauh-jauh. Dia hanya ingin memiliki anak yang sehat dan pintar, entah berapa banyak anaknya nanti.
"Jadi, kamu nggak usah khawatir ya," lanjut Adnan yang membuat Qila perlahan mengulas senyum kecilnya.
"Iya, Mas."
Setelah suasana di dalam mobil membaik, Adnan kembali menanyakan kemana Qila ingin pergi dan perempuan itu mengatakan dia ingin ke mal.
Keinginan sederhana itu Adnan kabulkan dan mereka akhirnya pergi ke tempat yang Qila mau.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Diuji Sikap Si Istri Kecil
Romance-Naskah FTV Series 3.0- Seperti ucapan orang kebanyakan tentang masa awal pernikahan, begitulah kehidupan pernikahan Adnan dan Qila. Setiap hari ada saja hal yang membuat keduanya bertengkar dan saling mendiamkan. Ditambah lagi, sikap kekanakan Qila...