17

3 0 0
                                    

Dengan menenteng sebuah boneka, Qila melompat-lompat kecil saat sampai di rumah. Gerakannya yang konstan membuat seisi rumah panik termasuk Adnan.

"Sayang, jalannya jangan seperti itu," tegur Adnan dengan lembut.

Sepertinya terusik dengan ucapan suaminya, Qila berhenti sejenak dan membalik tubuhnya sempurna. Setelah memeluk erat boneka yang dia bawa sejak tadi, Qila melangkah maju mendekat ke arah Adnan.

"Memangnya jalanku kenapa?" tanya Qila dengan tampang tak berdosa. Entah dia tidak menyadari kesalahannya atau hanya ingin menggoda Adnan, pria itu tidak peduli. Yang dia pedulikan adalah keselamatan istri dan anaknya.

"Itu membahayakan sayang, nanti kamu jatuh. Adik kecil nanti kenapa-kenapa di sana."

Adnan menyentuh perut Qila yang sudah semakin membesar. Mata Qila ikut menatap arah jari telunjuk suaminya berada dan perlahan matanya memerah.

"Adek sakit ya di sana? Bunda nyakitin adek ya?"

Suara bergetar Qila membuat Adnan merasa bersalah. Pria itu langsung mendekap tubuh istrinya dan mengelus punggungnya yang bergetar hebat.

"Aku jahat ya, Mas? Aku nggak pantes jadi Ibu, aku nggak pantes."

"Enggak sayang, kamu pantes kok. Kamu itu ibu yang paling baik," ucap Adnan berusaha memenangkan istrinya yang semakin menangis dengan kencang. "Udah ya, kita kayanya harus istirahat. Kamu pasti capek."

Qila menjawab dengan anggukkan kepala. Namun, kedua tangannya perlahan terangkat. "Kamu mau apa?"

"Gendong."

Adnan tertawa kecil menanggapi sikap kekanakan Qila. Dia menyukai sikap istrinya itu dan langsung menggendongnya di depan.

Tanpa ada masalah, Adnan membawa Qila sampai ke kamar mereka yang berada di lantai dua.

Sesaat setelah ditidurkan ke kasur, Qila langsung memperbaiki posisi tidurnya dan Adnan memilih untuk membersihkan tubuhnya.

Tidak butuh waktu lama, Adnan sudah keluar dari kamar mandi dan langsung menemui Qila yang ternyata sudah tertidur pulas.

Senyum tipis terlukis di wajah tampan pria itu. Tangannya perlahan mengusap kepala sang istri dengan penuh rasa sayang. "Malam istriku, semoga mimpi indah."

Bukan Adnan namanya, jika dia bisa langsung tidur setelah sampai di rumah. Pria itu masih harus berkerja di saat sang istri sudah tertidur pulas.

Satu persatu berkas Adnan periksa dan setelah selesai dengan setumpuk kertas tersebut, pria itu bangun dari kursi kerjanya dan perlahan meregangkan tubuhnya.

Adnan menghela napas setelah matanya menatap jam dinding yang terpasang tepat di hadapan kasurnya bersama Qila. "Sudah jam dua ternyata."

Iya, sekarang sudah jam dua. Jam dua dini hari. Adnan hanya memiliki waktu beberapa jam untuk istirahat dan hal itu tidak membuatnya sedih, dia malah bersyukur karena masih memiliki waktu untuk tidur bersama istrinya.

Ketika Adnan naik ke atas kasur, pria itu membuat gerakan halus. Dia benar-benar takut jika Qila terbangun karena tidak ingin mengganggu istirahat istrinya dan setelah dirasa aman, Adnan memeluk tubuh Qila dari belakang.

"Malam sayang," ucap Adnan setelah mengecup kepala Qila perlahan.

Gorden tebal yang terpasang di kamar Qila dan Adnan membuat bias cahaya luar tidak menembus ke dalam ruangan tersebut sehingga membuat orang di dalamnya tidak terusik. Namun, hal itu bukannya membuat sang pemilik kamar bahagia, tetapi malah kesal.

"Aku mau gorden di kamar aku diganti!" tegas Qila setelah menemui kepala pelayan di rumah mereka.

"Maaf, Bu. Tapi kenapa mau diganti ya?"

"Aku setiap pagi telat bangun gara-gara nggak ada cahaya matahari, aku jadi nggak bisa bantuin Mas Adnan sebelum pergi kerja."

Qila merasa kesal saat kembali memikirkan bagaimana asyiknya dia tidur padahal sang suami harus pergi bekerja saat itu. Dia amat merasa bersalah.

"Baik, Bu. Nanti kami ganti."

Kepala pelayan yang bernama Zara itu langsung menghubungi Adnan dan memberitahukan keinginan istri pria itu. Awalnya, Adnan menolak karena takut mengganggu istirahat istrinya, tetapi setelah mengingat apa yang disampaikan oleh dokter kandungan Qila. Pria itu akhirnya mengizinkan gorden di kamarnya, diganti.

"Nggak pa-pa, ganti aja. Tapi tolong ajak Qila sekalian, biar dia milih sendiri."

"Baik, Pak."

Tidak ada yang perlu Zara permasalahkan karena keputusan sudah Adnan ambil dan dia hanya perlu meng'iya'kannya.

Ketikan berulang terdengar dari balik pintu kamar Qila sehingga membuat pemiliknya yang tengah asyik berbaring terbangun dan perlahan melangkah ke arah pintu. "Iya, siapa?"

"Saya, Bu. Zara."

"Oh, Zara. Masuk."

Qila membuka lebar pintu kamarnya dan membiarkan Zara masuk tanpa menutup kembali kamarnya. Zara yang cukup paham, menutup kembali pintu kamar Qila dan perlahan mengikutinya dari belakang.

Mereka akhirnya sampai di sofa bentuk L yang biasa Qila dan Adnan gunakan untuk bersantai. "Kenapa, Zar? Ada masalah?"

"Saya mau menyampaikan, kalau keinginan ibu Qila sudah disetujui oleh bapak. Beliau meminta ibu untuk ikut dalam memilih gorden pengganti."

Qila yang sebelumnya acuh pada keadaan, langsung bersemangat saat mendengar apa yang Zara sampaikan. "Beneran?"

Walau sedikit kebingungan dengan sikap bersemangat yang Qila lakukan, Zara tetap menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Ya udah, ayo!"

Qila bangun dari tempat duduknya dan membuat Zara semakin kebingungan. "Ayo kemana, Bu?"

"Cari gorden."

"Saya izin sama bapak dulu ya, Bu."

"Ya udah, kamu izin. Aku siap-siap."

Qila melangkah cepat menuju kamar mandi dan meninggalkan Zara yang masih terdiam di tempatnya. Setelah sadar dari lamunannya, perempuan itu langsung menghubungi Adnan.

"Halo, Pak. Maaf mengganggu waktunya. Saya mau meminta izin untuk membawa Ibu Qila pergi mencari gorden bersama saya."

"Kapan?"

"Sekarang, Pak."

"Loh, kok dadakan?"

Adnan tentu bingung dengan apa yang Zara sampaikan, dia memang mengizinkan istrinya untuk mengganti gorden di kamar mereka, tetapi bukan berarti mereka akan menggantinya sekarang.

"Maaf, Pak. Ibu Qila terlalu antusias saat saya menjelaskan padanya sepertinya dia berpikir kita akan pergi sekarang."

"Maksud kamu?"

"Iya, Pak. Ibu Qila pikir kita akan mengganti gorden sekarang dan Ibu Qila sedang ada di kamar mandi."

"Jadi, dia sudah siap-siap?"

"Benar, Pak."

"Ya sudah kalau gitu, kalian silakan pergi. Tapi tolong, jaga istri saya dan setelah mendapatkan gorden yang Qila mau, kalian harus cepat pulang."

"Baik, Pak."

Setelah panggilan telepon Zara dan Adnan selesai. Qila tiba-tiba datang dengan hanya menggunakan jubah handuk berwarna biru muda. "Gimana? Sudah izin kan?"

Wajah bersemangat Qila membuat Zara ikut merasakan hal yang sama, apalagi setelah perempuan berumur 30 tahunan itu mengangguk dengan pelan.

"Yes! Akhirnya bisa jalan-jalan!"

Qila kembali melangkah menuju ruang ganti, meninggalkan Zara yang matanya terus memperhatikan langkah Qila.

Tak lama setelah sadar dari lamunannya, Zara sedikit panik karena belum memberitahu sopir yang akan membawa mereka dan dia langsung keluar dari kamar Qila.

***

Diuji Sikap Si Istri KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang