22

3 1 0
                                    

Menjelang persalinan bukannya memperbanyak istirahat, Qila malah semakin sibuk dengan kegiatannya. Perutnya yang semakin membesar tidak menghalangi perempuan itu untuk melakukan aktivitas seperti sekarang, dia tengah sibuk memilih pakaian bayi untuk anaknya kelaknya.

"Bagusan ini atau ini, Mas?" tanya Qila sembari mengangkat dua baju setelan berwarna Cream.

Tangan Adnan terangkat, lalu menjauhkan kedua baju di hadapannya yang menutupi wajah sang istri. "Sayang, kita sudah beli banyak banget baju."

Pandangan Qila beralih pada keranjang yang diangkat oleh Rina. Ada hampir 10 pasang baju yang sudah Qila pilih dan terus bertambah.

"Emangnya nggak boleh nambah satu?" tanya Qila lagi dengan mata berbinar, berharap Adnan mau luluh pada keinginannya.

Helaan napas perlahan keluar dari mulut Adnan. Lagi-lagi Qila menginginkan hal yang sebenarnya kurang penting. Karena dia tau, tumbuh kembang anak mereka akan lebih cepat dan pakaian yang mereka beli hanya akan terpakai dalam beberapa bulan.

"Ya sudah, boleh. Tapi, ambil untuk ukuran yang lebih besar."

Qila mengangguk dengan semangat setelah mendengar ucapan Adnan. Lampu hijau yang pria itu ucapkan membuat Qila berlari menuju tempat lain dan mengambil beberapa pakaian untuk anaknya lagi.

Setelah memastikan semua pakaian yang diinginkan sudah terbeli, Qila dan Adnan beralih pergi menuju tempat lain yaitu restoran.

"Silakan, Mbak, Mas."

Adnan dan Qila diantar ke tempat mereka yang cukup jauh dari pintu masuk, tempat biasa mereka duduk.

Buku menu dibagikan pada Adnan dan Qila, yang terlihat bersemangat saat melihat menu-menu yang ditawarkan. Sembari berpikir, Qila membolak-balik halaman buku menu dan kemudian berhenti di halaman ke tiga.

"Mau ini," ucap Qila sembari menunjuk sebuah gambar bakso. Matanya kemudian menatap Adnan yang tengah sibuk melihat buku menu. "Boleh kan, Mas?"

"Iya, boleh," jawab Adnan tanpa melihat ke arah Qila.

Karena hal itu, Adnan dibuat cemberut saat Qila menambahkan banyak cabai ke dalam baksonya. "Sayang, itu kebanyakan!" tegur Adnan.

"Nggak banyak kok," cicit Qila dengan wajah ketakutan. Matanya berkedip cepat dengan sedikit menunduk.

Entah sudah berapa kali Adnan membiarkan Qila melakukan apa yang dia sukai. Ketegasan pria itu perlu dipertanyakan sekarang ini. "Ya sudah, terserah kamu."

Setelah ucapannya yang terakhir, Adnan terus mendiamkan Qila sampai mereka di rumah. Hal itu tentu mengganggu Qila yang sebelumnya bersemangat untuk membuka belanjaannya.

"Sayang," panggil Qila sembari berlari kecil mendekati Adnan yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Dengan perasaan yang masih kurang enak, Adnan hanya melirik Qila dan kembali melakukan aktivitasnya mengeringkan rambut dengan handuk kecil.

Qila yang merasa bersalah langsung memeluk tubuh Adnan yang belum menggunakan apa-apa dari samping. "Mas marah ya?"

Suara pelan Qila masih bisa Adnan dengar dan membuat pria itu menatapnya. "Saya nggak marah."

"Nggak marah tapi kok mukanya begitu."

"Begitu apanya?" tanya Adnan dengan dahi mengerut.

"Mukanya Mas cemberut, Mas marah ya?"

Perlahan Adnan menggeser tubuh Qila dan membuatnya berdiri di hadapan pria itu. "Saya nggak marah kok."

"Kalau Mas marah nggak pa-pa kok. Aku tau aku salah," ucap Qila sembari menundukkan kepalanya. Namun, tangan Adnan langsung mengangkat wajah istrinya itu.

"Enggak kok. Saya nggak marah. Saya cuman capek jadinya saya diam dari tadi."

"Mas bohong!"

Qila beranjak dari tempatnya, meninggalkan Adnan yang langsung menghela napasnya. Kepalanya terasa pening saat ini dan tidak mau membuat pertengkaran kembali dengan sang istri.

Menjelang jam tidur, Adnan yang sudah ada di atas kasur. Sedikit bingung karena Qila tak kunjung masuk ke dalam kamar. Kemana dia?

Merasa ada yang janggal. Adnan bangkit dari kasur dan keluar dari kamarnya, mencari sang istri yang tak tau dimana.

Suasana rumahnya cukup sunyi sekarang, karena hampir seluruh karyawan sudah tertidur. Beberapa lampu juga sudah dimatikan seperti biasanya. Namun, ada satu ruangan yang lampunya masih menyala.

Ruangan tersebut membuat Adnan penasaran dan melangkahkan kakinya mendekat ke ruangan tersebut.

Sesampai di sana, langkahnya terhenti saat melihat sosok sang istri tengah tertidur di atas sofa dengan selimut tebal yang menutupi hampir seluruh tubuhnya kecuali wajahnya.

Hatinya merasa sakit saat melihat sang istri tidur di sana. Dia merasa tindakannya keterlaluan dan langsung menghampiri sang istri.

"Sayang," panggilnya pelan sembari mengelus kepala Qila.

Perlahan mata Qila terbuka dan matanya langsung bertemu Adnan yang tengah berlutut di hadapannya. "Mas ngapain di sini?" tanya Qila.

"Harusnya, Mas yang nanya. Kenapa kamu di sini?" tanya balik Adnan.

"Aku? Aku tidur di sini," jawab Qila dengan polosnya.

"Kenapa nggak tidur di kamar?"

Qila terdiam saat mendengar pertanyaan Adnan. Wajahnya terlihat tengah berpikir sembari mengulum bibir yang terasa kering.

"Sayang, kamu masih kepikiran masalah tadi?" tanya Adnan lagi yang membuat Qila mengangkat wajahnya.

Perlahan Qila menganggukkan kepalanya, tanpa mengeluarkan suaranya. Hal itu membuat Adnan paham dengan perasaan sang istri.

Adnan mengajak Qila untuk bangkit dari tempat tidurnya dan menariknya ke dalam pelukannya. "Sayang, saya minta maaf ya. Saya minta maaf kalau kamu ngerasa sedih."

"Nggak kok, Mas. Harusnya aku yang minta maaf ... ."

Adnan menaruh jarinya di bibir Qila agar istrinya berhenti berbicara. "Nggak, ini bukan salah kamu. Ini salah saya."

"Enggak, Mas. Ini salah aku!" Qila sedikit berteriak saat mengungkapkan perasaannya.

"Ya sudah, kalau begitu kita saling minta maaf ya. Semua ini salah kita berdua."

Adnan mencari jalan tengah dan Qila meng-iya-kannya dengan mengangguk pelan.

Keduanya kemudian bangkit dari tempat mereka dan berjalan menuju kamar. Saat itu, mereka asyik berbincang. Bahkan sampai di atas kasur, mereka masih asyik berbincang sembari berpelukan.

"Sayang, saya mohon setelah ini kamu jangan pergi lagi ya. Saya nggak bisa kalau kamu nggak ada di samping saya."

"Iya, Mas. Aku beneran minta maaf ya sama kamu."

Percakapan mereka itu adalah percakapan terakhir sebelum mereka tertidur pulas.

Di tengah tidurnya, Adnan merasa terganggu dengan Qila yang terus bergerak. Membuat kasur mereka sedikit berbunyi. Mata pria itu terbuka pelan dan saat itu matanya melihat jam yang baru menunjukkan pukul tiga subuh.

Setelah memastikan jam, Adnan menoleh menatap Qila yang terlihat tengah menahan kesakitan. Dahinya mengerut dengan bulir keringat membasahi di sana.

"Sayang, kamu kenapa?" tanya Adnan dengan sedikit panik.

Qila yang tak sanggup menjawab hanya dapat menggelengkan kepalanya. Adnan yang memahami situasi tersebut langsung menelepon sopir pribadinya dan menggendong Qila sampai ke depan rumah.

Tanpa basa basi, mereka langsung pergi ke rumah sakit terdekat karena tau jika sekarang adalah waktu Qila untuk melahirkan.

***

Diuji Sikap Si Istri KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang