23

17 1 0
                                    

Panik. Hanya satu kata itu yang dapat menjelaskan dengan cepat apa yang terjadi saat ini. Di dalam mobil, Adnan terus berdoa di dalam hati sembari memegang tangan Qila yang sudah mendingin.

"Tahan ya sayang," bisik Adnan menenangkan Qila.

Memang, Qila tidak berteriak atau apapun yang lain. Tetapi, Adnan jelas tau apa yang istrinya rasakan sekarang.

Wajah Qila memucat dengan dahi yang mengerut. Keringat juga sudah membasahi tubuhnya dan semua yang ada di mobil ikut merasakan gelisah yang Adnan rasakan.

Saat mata Adnan menatap bangunan rumah sakit di hadapannya, Adnan merasa begitu lega. Akhirnya.

Tanpa menunggu pihak rumah sakit membantunya, Adnan langsung menggendong Qila sendirian dengan perasaan yang tak karuan.

Beberapa orang ikut mengejarnya dari belakang dan tak lama kemudian sebuah ranjang sampai di hadapannya. Adnan perlahan memindahkan tubuh Qila ke atas kasur dan istrinya langsung di masukkan ke dalam sebuah ruangan.

"Anda suaminya?" tanya salah satu suster yang ikut membantu Qila dan Adnan langsung mengangguk pelan.

"Iya, saya suaminya."

"Mau menemani pasien atau tidak?" tanya suster lagi dan Adnan terdiam.

Untuk pertama kali, Adnan menemani Qila melahirkan. Entah dia akan kuat atau tidak karena Adnan pernah mendengar gosip tentang begitu beratnya ketika melahirkan.

Merasa diabaikan oleh Adnan yang melamun, suster yang menangani Qila kembali melontarkan pertanyaan sehingga membuat Adnan sadar. "Gimana, Mas?"

"Saya mau ikut masuk."

"Baik, silakan."

Semua terasa begitu lambat saat Adnan berjalan masuk ke dalam ruangan Qila. Adnan dapat melihat sang istri yang sudah siap untuk melahirkan dengan para suster dan seorang dokter yang menemaninya.

Dengan pakaian yang sudah tertutupi dan steril, Adnan mendekati Qila yang terlihat mulai tenang. "Mas," panggil Qila dengan lemah.

Adnan mendekatkan wajahnya ke arah Qila dan melabuhkan kecupan ringan di dahi istrinya. "Semangat ya, sayang."

Qila mengangguk pelan dengan senyum tipis di wajahnya. "Temenin aku ya, Mas."

"Iya, Mas temenin sampai selesai."

Dengan prosedur yang sesuai, Qila mengikuti apa yang diperintahkan dan Adnan menemaninya. "Tarik nafas Bu ... Dorong!" pinta Dokter dan Qila melakukannya walau dengan sisa tenaganya yang kurang dari 20%

"Ayo sayang, sedikit lagi," ucap Adnan memberi semangat.

Teriakan kencang Qila keluarkan diakhir tenaganya dan saat itu terdengar suara tangis bayi yang membuat semua orang di ruangan merasa haru.

Mata Adnan terpaku melihat sosok kecil yang dia dan Qila tunggu selama ini. Anak laki-laki mereka telah lahir dengan tubuh yang sehat dan juga tampan.

Setelah dibersihkan, anak Adnan dan Qila yang mereka panggil dengan sebutan Abang langsung dibawa ke hadapan kedua orang tuanya. "Ini anaknya, Pak, Bu," ucap dokter yang menangani Qila.

Saat itu, Qila ikut terharu melihat anaknya yang begitu dia tunggu kehadirannya. Perlahan bayi kecil itu ditidurkan di atas tubuh polos Qila.

Adnan yang tidak mau kehilangan momen langsung mengambil gambar dirinya bersama istri dan anaknya.

Setelah cukup lama bersama sang anak, mereka harus berpisah untuk berpindah tempat. Qila masuk ke ruang rawat, sementara sang anak masuk ke ruang bayi.

Ruangan rawat yang luas itu langsung dipenuhi dengan para pekerja Adnan yang datang untuk menjenguk. Mereka membawa berbagai hadiah dan makanan untuk menyambut kelahiran anggota baru di rumah mereka.

"Selamat ya ibu!" ucap mereka serempak yang hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Qila. Rasanya dia ingin tidur. Namun, mendapat larangan dari dokter yang menanganinya.

"Terima kasih semuanya karena sudah datang."

"Iya, Pak. Sama-sama. Tapi ... Anaknya bapak mana ya?"

Tatapan mereka melirik ke sana kemari, mencari keberadaan bayi kecil yang ingin mereka lihat. "Iya, kok nggak kelihatan?"

Adnan tersenyum kecil saat mendengar ucapan para pekerjanya. "Dia lagi di ruangan lain. Ruangan khusus bayi."

"Boleh nggak kita lihat?"

"Silakan. Nanti Bi Ira yang akan mengantar."

Bagai anak bebek yang mengikuti ibunya, semua pekerja keluar bersama dengan Bibi Ira yang memimpin jalan. "Kalian jangan berisik ya. Kasihan, nanti mereka terganggu."

"Baik, Bi."

Sesampai di depan dinding kaca ruang bayi. Mereka serempak mencari keberadaan anak Adnan dan Qila. "Yang mana, Bi. Anaknya Pak Adnan?"

"Tuh, yang ujung. Yang pakai selimut biru muda."

Tatapan mereka langsung tertuju pada anak Adnan dan Qila. Bayi tampan itu langsung menjadi pusat perhatian mereka.

"Ganteng banget!"

"Iya, kaya Pak Adnan!"

Bisik-bisik yang terdengar hanyalah pujian terhadap bayi yang bahkan belum ada namanya itu.

Cukup lama mereka memandangi wajah tampan bayi kecil itu, beberapa juga mengambil gambar untuk kenang-kenangan.

Di sisi lain, Adnan dan Qila asyik berbincang ringan sebelum Qila akhirnya boleh beristirahat. "Selamat tidur sayang, terima kasih untuk hari ini."

Adnan membiarkan istrinya beristirahat dan keluar dari ruang rawat Qila. Mencari udara segar karena sebelumnya begitu tegang saat menemani istrinya.

"Eh, bapak. Kok di luar?"

Adnan bertemu dengan para pekerjanya yang sudah selesai menemui anaknya. "Iya, saya lagi cari udara segar."

Para pekerja Adnan mengangguk pelan menanggapi ucapan atasannya.

"Kalian sendiri? Mau kemana?"

"Rencananya tadi kami mau masuk ke ruangan ibu Qila lagi. Tapi kayanya nggak jadi deh. Kita pamit di sini aja ya, Pak."

"Ya sudah kalau gitu. Hati-hati di jalan ya."

"Iya, Pak."

Pekerja yang hampir 20 orang itu langsung meninggalkan Adnan bersama dengan Bibi Ira yang memang bertugas menemani Qila selama di rumah sakit. Walau begitu, Qila tetap di jaga oleh Rina dan Sela.

Bibi Ira yang umurnya jauh lebih tua, sudah dianggap oleh Qila sebagai Nenek atau bahkan Ibunya. "Saya ke ruang ibu dulu ya, Pak."

"Iya, silakan. Kalau Qila cari saya. Bilang saja, saya lagi cari makan."

"Baik, Pak."

Adnan berjalan pelan menuju depan rumah sakit, setelah duduk di sebuah kursi panjang. Pria itu meregangkan tubuhnya yang terasa penat.

Hari ini harusnya dia berkutat dengan pekerjaannya. Tetapi, semua hancur. Kesal? Tentu tidak, karena hanya ada kebahagiaan di benaknya saat ini. Jujur, Adnan tidak menyangka bahwa saat ini dirinya sudah berstatus sebagai seorang ayah.

"Nan."

Terdengar suara panggilan yang membuat Adnan menoleh. Matanya terpaku saat melihat sosok orang yang berdiri tak jauh darinya.

Sosok yang selama ini pergi dan tak peduli padanya. Sosok itu kembali datang dan membuat dunia Adnan seakan berhenti sementara.

"Apa kabar, Nak?"

"Ayah?"

Suara Adnan begitu cekat, melihat sosok ayahnya yang berdiri dengan gagahnya dan dia masih terduduk lemah tanpa berniat untuk berdiri.

"Buat apa anda menemui saya?" tanya Adnan dengan sedikit kasar.

"Saya mau ketemu dengan cucu saya," ucapnya santai padahal amarah Adnan sudah mendidih.

"Tidak, saya tidak akan mengizinkan anda untuk menemui anak saya."

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 23, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Diuji Sikap Si Istri KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang