"Sayang, itu uang gajian buat kamu, aku taruh di meja ya!"
Suara Alfandra, terdengar di telinga Ajeng yang sedang memasak.
"Iya mas!"
Setelah tak lagi terdengar suara langkah kaki, Ajeng bangkit setelah mematikan kompornya. Memang masakannya pun sudah jadi, tinggal menatanya di meja makan.
Dia menoleh ke depan, suaminya itu telah diluar dan berbincang bincang dengan tetangga komplek perumahan, hari ini hari minggu, setiap weekend suaminya memang sering menyempatkan waktu untuk olahraga pagi dengan teman temannya satu komplek.
Dia masuk kemar dan melihat amplop berwarna putih yang di ada diatas nakas. Ajengpun lantas menghampirinya, untuk melihat.
Setelah dibuka, dia mendapati 10 lembar uang bermata seratus ribuan.
Lagi lagi Ajeng menghela nafas, satu juga untuk sebulan baginya sangatlah mepet, namun bagaimana lagi. Setiap bulan suaminya itu hanya memberikannya uang segitu. Untuk make up saja kadang dia sudah ngirit. Bahkan kadang dia pun harus menahan keinginan makan di luar untuk menuruti keinginannya.
Terlebih kadang listriknya melonjak, bahkan pernah sehari hampir 200 ribu.
Tak lama kemudian dia mendengar suara notif ponsel, saat dia menoleh dia mendapati ponsel sang suami berkedip bertanda pesan masuk. Ajengpun meletakkan kembali uang itu, dan berjalan menghampiri ponsel itu.
Setelah di lihat ternyata nama Runa, bertera disana.
'Runa' adalah anak dari Alfandra dari istri pertama. Memang, sebelum menikah dengan Ajeng, Alfandra duda anak satu, namun anak itu ikut dengan sang mama. Dan mantan istri Alfandra pun telah menikah.
"Makasih ya mas transferannya, uang dua jutanya berarti buat Runa, karna bisa beli mainan yang dia pengenin kemaren, makasih banyak mas!"
Itu pesan yang Diana, mantan istri Alfandra kirimkan.
Ajeng menghela nafas, memang setiap bulan Alfandra juga menjatah uang bulanan pada Runa, dan jumlahnya jauh lebih besar daripada dirinya.
Ajeng menghela nafas, padahal kebutuhan dia sendiri juga kurang, kadang tabungannya sendiri dulu sampai dia ambil untuk menutupi semua kekurangan untuk kebutuhan dapur.
Tak lama kemudian, suara dering dari ponsel yang dia pegang berdering, dan dia langsung bisa melihat nama mama Tia yang tertera disana.
Memang, meskipun mama Alfandra tidak satu rumah dengannya, Ajeng tak terlalu menyukainya karna.
"Al, kok kamu cuma transfer mama satu juta sih, kan mama udah bilang kalau mama pengen beli perhiasan yang mama bilang kemaren. Tambahin satu juta lagi ya!"
Ajeng terdiam di tempat, tak tau harus berbuat apa, dia bukan typikal orang yang suka berdebat, apalagi masalah uang. Hanya saja semakin kesini dia semakin muak dengan tingkah keluarga suaminya itu.
"Ma, Aca kan udah kerja, dan posisinya juga sama sama suami aku. Gajinya juga lumayan, kenapa mama nggak minta tambahan dari Aca juga ma!" Ajeng memberanikan diri untuk memberitahu mertuanya dengan cara yang dia kira sudah sangat halus.
"Oh kamu Jeng, pantes. Kamu yang ngelarang suami kamu buat transfer mama lebih ya? Kamu itu, udah nggak kerja tinggal minta uang sama suami kamu aja kok ngatur. Lagian Aca belum nikah, dia masih butuh uang buat perawatan dia sendiri. Dan juga hangout sama temen temannya." Terdengar dari nada suaranya, mama mertuanya itu tengah marah.
"Tapi ma, asal mama tau. Aku perbulan juga cuma di jatah mas Al cuma sejuta ma! Dan mama bilang apa tadi? Aku nggak kerja juga mas Al yang ngelarang!"
"Ah udah lah, kasih ponsel ini ke suami kamu. Mau mama bilangin biar bisa didik istrinya biar nggak suka ngebantah orang tua!"
"Mas Al lagi joging!"
Setelah mengatakan itu, Ajeng langsung mematikan ponselnya. Dia sungguh kesal. Kenapa. Mertuanya itu tak mau mengerti. Jika memang mau memahami Aca yang bisa hidup hedon. Kenapa nggak bisa memahami dirinya yang hidup pas pasan.
Ajeng menghela nafas, lalu berjalan keluar untuk membersihkan rumah. Memang mereka membeli rumah di area perumahan yang cukup mewah, cukup luas juga. Mereka membeli rumah itu saat masih kuliah dulu.
Mengingat kuliah, Ajeng tak sampai menyelesaikan kuliahnya. Karna keburu menikah dengan Al, bukan karna insiden hamil duluan atau apa, namun mama mertuanya itu yang menyuruhnya untuk menikah dulu nanti bisa meneruskan kuliah. Itu awalnya, namun pada akhirnya, Ajeng di suruh dirumah saja, karna berfikir jika kodrat seorang istri adalah menjaga rumah dan suaminya saja. Meskipun Ajeng tau jika mama mertuanya itu takut jika menghabiskan uang Al jika memutuskan untuk kembali melanjutkan kuliah.
Nasi sudah menjadi bubur, karna rasa cintanya dulu pada Al membuatnya buta hingga dia mau mau saja nikah di usia yang terbilang muda, yaitu 20 tahun.
Terlebih, yang membuatnya lebih menyesakkan adalah dia harus kehilangan keluarganya karna memaksa untuk menikah dengan suaminya ini.
Memang, keluarganya tidak setuju. Terutama sang papa, sangat menentang hubungannya dulu dengN Al karna Al yang duda, terlebih saat dia mengatakan akan berhenti kuliah untuk menikah. Dengan terang terangan papanya mengusirnya dan tak menganggapnya anak lagi.
Menyesal pun kini tak ada gunanya, jika pun dia memaksa kerja, dia hanya bisa kerja di toko. Mentok juga cafe yang kerja 24 jam. Kerjanya melelahkan, dan gajinya tak sebanding.
Selesai menyapu dan mengepel seluruh ruangan, Ajeng memutuskan keluar untuk menyiram bunga di pekarangan kecil yang dia buat sendiri untuk mengisi kejenuhan yang dia rasakan.
"Pagi mbak Ajeng," sapa Santi, tetangga samping rumahnya yang memang cukup akrab dengannya.
Ajeng membelas senyum Santi, "pagi juga san, habis darimana?" Tanya Ajeng begitu melihat sekantung plastik belanjaan yang di tenteng wanita satu anak itu.
"Ini tadi beli bubur ayam didepan, mas Rama lagi nggak enak badan. Jadi aku beliin bubur deh!"
"Oh, sakit apa mas Rama? Emang sih tumben banget nggak ikut joging sama mas Al dan yang lainnya,"
"Iya, kepalanya pusing katanya, sejak kemaren pulang kerja udah ngeluh sakit mulu. Eh malamnya malah badannya panas banget!"
"Oh, yaudah deh San semoga mas Rama cepet sembuh ya!"
"Iya makasih ya mbak. Duluan!"
Setelah Santi pergi, Ajeng kembali berkutat dengan bunga bunganya.
"Sayang, ayok masuk. Kita sarapan dulu!"
Rupanya Alfandra sudah selesai joging, Ajeng mendongak untuk melihat suaminya itu, wajah nya masih di penuhi keringat sehabis membakar kalori di pagi itu.
Memang, wajah tampan Alfa tak pernah berubah, rasa cintanya pun tetap saja besar, namun ketidak tegasannya itu terkadang membuat Ajeng muak.
"Mas mandi aja dulu, nanti aku nyusul dan siapin makanan,"
"Oke, aku masuk dulu!"
"Hm!"
Setelah Alfa masuk, Ajeng segera menyelesaikan pekerjaannya dan segera menyusul masuk untuk mempersiapkan sarapan suaminya.
"Pagi Jeng!"
Ajeng menoleh, dan mendapati pemuda yang 2 tahun lebih muda darinya.
Dialah Diro, orang yang menyukai Ajeng sejak Ajeng ada di kompleks ini!
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengemis nafkah suamiku.
General FictionAjeng Rahayu, wanita yang bak mengemis nafkah suaminya sendiri, karna, Alfandra, sang suami lebih mengutamakan memberi uang pada mantan istrinya dengan alasan memberi nafkah pada sang anak. di satu sisi saat dia akan bekerja sendiri, suaminya melar...