bab 16.

342 9 0
                                    

"Darah?"

Buru buru Ajeng mematikan kran airnya dan segera menyusul mama dan iparnya itu, untung saja mereka belum masuk kamar, Ajeng langsung menahannya.

"Ma, Aca kenapa? Dan itu kenapa ada bercak darah di kakinya?"

Sontak saja mama Tia dan Aca langsung menunduk, dan melihat memang ada bercak darah yang masih ada. Mungkin orang yang menggugurkan nya tadi tidak terlalu bersih membersihkannya atau memang kelewatan.

"Bukan urusan loe, minggir!" Usir Aca dengan ketus, namun Ajeng masih bersikukuh di depan pintu iparnya itu.

"Nggak, sebenarnya apa yang kamu sembunyiin Ca, jangan bilang kalau.. "

"Iya, gue udah gugurin bayi sialan ini. Puas? Jadi pergi. Sebelum kesabaran gue habis,"

Ajeng masih melongo tak habis fikir, dia yang begitu mendambakan bayi kadang sampai menangis menuntut keadilan kepada sang pencipta, namun Aca dengan mudahnya malah menghilangkan titipan Tuhan yang begitu indah itu.

Karna Ajeng malah melamun dan tak meninggalkan tempatnya, membuat Aca dengan kesal mendorong Ajeng ke samping, membuat wanita itu tersadar dan memberi Aca jalan. Sedangkan mama Tia sejak tadi hanya diam, memikirkan kondisi Aca yang begitu menghawatirkan.

Sampai di ranjang, Aca segera berbaring.

"Ada yang sakit ndok? Perlu mama panggilkan dokter? Atau kamu perlu apa? Biar mama beliin."

"Shhh, mama pergi aja deh. Adanya mama malah membuat aku pusing tau nggak. Jadi mama pergi aja, aku juga mau istirahat!" dengus Aca dengan raut kesal dan sesekali meringis kecil karna kepalanya begitu berdenyut nyeri.

"Oke oke, mama pergi. Kamu kalau ada apa apa panggil mama aja yah!"

"Hm,"

Dengan berat hati mama Tia meninggalkan Aca dengan raut khuatir. Tapi dia juga tak ingin membuat anaknya itu semakin marah karna keinginannya tak terpenuhi.

Sedangkan Ajeng merenung di kamarnya, memikirkan Aca yang begitu tega melenyapkan bayi dalam kandungan nya, jika andaikan Aca tidak mau merawatnya dia pun dengan senang hati akan merawat bayi itu dengan penuh kasih sayang. Namun bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur, bayi itupun sudah lenyap di tangan mamanya sendiri.

Sore menjelang, Alfa sudah pulang dari kantornya. Baru sampai di depan pintu, terdengar teriakan memanggil sang mama.

"Maa, mama.. Aku udah sewain mobil pick up buat angkatan semua barang barang mama yang ada di rumah, ayo kita ambil baju mama sama Aca!"

Mama Tia yang ada di kamarnya tergolong gopoh menghampiri Alfa yang kini telah berjalan ke arahnya.

"Kamu udah kirim orang buat kesana?"

"Iya, sekarang ayo beresin barang barang mama sama Aca, baju atau barang pribadi kalian yang masih berharga. Kalau bisa, besok harus segera kosong, karna sorenya bakal ada orang yang lihat lihat,"

"Oh, yaudah kalau gitu. Ayo kita kesana," ajak mama Tia setelah mendengar penjelasan sang anak, namun Alfa malah terlihat melirik kamar sang adik.

"Aca mana ma? Dia nggak ambil barang barangnya juga?" heran Alfa karna tak melihat barang hidung adiknya itu.

"Ehh adiknya sedang istirahat, badannya nggak enak katanya. Mungkin efek ngidam! Biar mama yang ambilin baju bajunya sekalian,mama udah tau kok" balas mama Tia berbohong.

Alfa hanya mengangguk saja, dia langsung percaya, karna memang mengingat adiknya itu tengah hamil. Mungkin mood ibu hamil begitu, sering sakit mual atau nggak enak badan. Karna dia pernah mengurus orang hamil dulu, saat Diana mengandung Runa. Bahkan sampai sampai Diana dulu sulit meninggalkan kasurnya karna begitu lemas nya tubuh nya itu.

"Yaudah ma, ayo!"

Baru saja akan membalikkan badannya, tiba tiba saja Ajeng datang dari arah dapur.

"Mas, mau aku bantuin nggak? Lagipula masakan semuanya udah beres kok,"

"Nggak usah, kamu jaga Aca aja. Kalau ada apa apa nanti kabarin saya," bukan Alfa yang menjawab malah mama mertuanya itu.

"Iya sayang, kamu di rumah aja. Jagain Aca. Kata mama dia nggak enak badan." Alfa ikut menimpali, lalu kemudian dia memberikan tas kantornya pada Ajeng, yang langsung wanita itu ambil.

"Hati hati di rumah,"

"Iya mas!"

Setelahnya, Alfa dan mama Tia pergi meninggalkan rumah menuju rumah lamanya, sebenarnya dalam benak mama Tia dia tak tega menjual rumah peninggalan suaminya itu, banyak sekali kenangan kenangan di dalamnya, yang membuatnya begitu sedih jika mengingat.

Tanpa di rasa, mereka telah sampai di rumah lama mereka, disana sudah ada beberapa orang suruhan Alfa yang sudah mengangkut beberapa sofa dan barang barang pribadi mereka.

Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi, mama Tia segera masuk kedalam rumah untuk mengambil barang barang pribadinya di kamar, begitu pula dengan barang pribadi milik Aca.

Sedangkan Alfa mengarahkan pada suruhannya untuk mengantarkan dulu barang barang yang di bawanya karna memang sudah penuh, dan nanti kembali lagi untuk mengambil yang lainnya lagi.

Baru saja Alfa akan menyusul mamanya, tiba tiba saja ponselnya berdering, Alfa pun segera merogoh ponsel di sakunya dan melihat siapa yang menelfon nya.

Melihat nama Karin yang terpampang disana, mau tak mau Alfa pun mengangkat nya.

"Iya Rin? Ada apa?"

"Aku kayaknya lihat mobil mas tadi dirumah lama, mas mau pindahan sekarang?"

"Iya Rin, ini baru sampai memang. Lagi beresin barang barang yang perlu di ambil,"

"Oke, aku kesana ya mas. Tungguin,"

Baru saja akan menyaut, tiba tiba saja ponselnya mati. Karin mematikan panggilan itu sepihak.

"Shh dasar, anak ini!"

Alfa pun duduk di ruang tengah, sembari menunggu karin yang katanya akan datang, dan benar saja baru saja beberapa menit, terdengar suara Karin yang memanggilnya.

"Mas Alfa!!"

"Iya, di dalam. Masuk aja!" saut Alfa dari dalam rumahnya. Kemudian, Karin pun masuk, dan menghampiri Alfa yang duduk di dalam.

"Mas beneran jual rumah ini ta? Sayang banget tau, aku denger denger ini rumah udah lama banget, bahkan sejak mas masih kecil mas tinggal disini?"

"Bukan kecil lagi Rin, tapi semenjak mama dan papa menikah, mereka membeli rumah ini penuh perjuangan." Alfa menghela nafas lelah, "tapi bagaimana lagi, memang butuh, andaikan Aca nggak buat kesalahan sefatal itu, mungkin nggak sampai akan begini. Aku juga nggak mungkin jual rumah aku sama Ajeng,"

"Gimana kalau aku beli aja rumah mas ini,"

"Hah?" Alfa langsung menoleh ke arah Karin dengan cepat,"kamu serius?"

Karin mengangguk anggukan kepalanya dengan riang, dan tersenyum "iya, biar Karin beli rumah ini, kalau mas memang nantinya ada yang, mas bisa beli lagi rumah ini."

Alfa semakin menatap Karin dengan serius, bahkan dia mengubah posisi duduknya agar lebih menatap Karin dengan langsung dan sepenuhnya.

"Kamu benaran Rin?"

Karin menggenggam tangan Alfa dengan kedua tangannya, Alfa hanya melirik nya tanpa ada niatan untuk melepaskannya, "iya aku serius mas, aku bahkan bisa kasih rumah ini gratis sama mas nantinya. Kalau mas mau nikahin aku,"

"ALFA!!"

----

Mengemis nafkah suamiku. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang