bab 22

108 8 0
                                    

Setelah suaminya berangkat bekerja, dan membersihkan seluruh rumah beserta menyiram bunga. Ajeng bersiap untuk membeli kebutuhan dapur, berbekal uang 200 ribu sisa uang yang dia pegang, dengan batin yang lelah Ajeng menuju pasar.

Meskipun jarak lumayan jauh, jika berjalan kaki bisa sampai 30 menit, Ajeng memutuskan untuk berjalan kaki saja, mengingat jika ongkos ke pasar juga 10ribu. Dengan uang segitu bisa untuk membeli sayuran dan bahan lain. Dia harus benar benar berhemat.

Tiba tiba saja di tengah jalannya, dia mendapati mobil yang berhenti di sampingnya dia pun berhenti sejenak mungkin orang dalam mobil itu ingin bertanya atau apa.

Saat orang itu membuka pintu, barulah Ajeng tau jika orang itu adalah Diro.

"Loh jeng, jalan kaki? Mau kemana?"

"Ini, mau ke pasar."

"Ayo, bareng aja. Kan satu arah!"

Ajeng melihat jaraknya memang masih cukup jauh. Jika berjalan masih menempuh jarak sekitar 15 menit, dan teriknya panas hari ini juga membuatnya cukup berkeringat banyak.

"Tapi.. " Ajeng masih agak ragu untuk ikut menumpang dengan Diro.

"Nggak papa, ayo. Apa perlu aku gendong sekalian untuk masuk!" paksa Diro sekalian menggoda gebetannya itu, membuat Ajeng mendengus kesal, lalu ikut naik ke mobil milik bosnya itu.

"Kamu kenapa jam segini baru berangkat?"

"Kamu lupa aku ini siapa?" Diro menjawab dengan tampang yang begitu songong, membuat Ajeng mendengus mendengarnya.

"Iya iya, pengusaha muda."

Keduanya tertawa, lalu tak lama kemudian mereka telah sampai di pasar tempat Ajeng belanja.

"Aku kenapa jadi penasaran, nggak pernah ke pasar. Boleh ikut nggak?" Ujar Diro begitu mereka telah sampai di depan area pasar, Ajeng yang mendengar ucapan Diro langsung menoleh, dia bahkan belum sempat melepas selbetnya karna Diro baru saja menghentikan mobilnya.

"Kamu mau masuk ke dalam pasar? Seorang Diro mau masuk ke dalam pasar?"

"Ck, kamu kenapa jadi suka ngejek gini sih. Ahh jadi nggak suka aku," bibir Diro mencebik, membuat Ajeng tertawa.

"Iya iya, ayo. Tapi ada syaratnya!"

"Apaan tuh?"

"Kamu harus bawain semua barang belanja an aku,"

Ajeng tersenyum iseng, dia memang sengaja mengisengi pria itu, kapan lagi kan? Karna memang jarang sekali dia bisa bersama dengan Diro. Jika tidak hari ini, dan sangat di sayangkan jika membiarkan Diro yang suka usil itu berlalu begitu saja.

"Emm boleh deh,"

"Oke!"

Diro pun memarkirkan mobilnya, dan mereka sama sama masuk ke area pasar. Saat pertama kali masuk, masih di area ruko ruko pakaian namun semakin masuk aroma daging dan bau yang kurang sedap sudah masuk di indra penciuman Diro membuat pria itu mengernyit aneh.

Sedangkan Ajeng yang diam diam melirik Diro terkikik, dia tau jika Diro sudah mulai merasa tak nyaman karna bau ikan dan beberapa air yang tak sedap.

"Jeng, kok semakin masuk baunya nggak begitu enak yah, bau apa sih ini?" Tanya Diro sembari melirik mencari cari sumber bau yang tak dia temukan.

"Sebentar," Ajeng berjalan terus dan diikuti Diro yang masih penasaran, namun tetap mengikuti.

Ajeng membeli beberapa sayuran.

"Bu, bawang merah setengah, bawang puting setengah sama cabai yang juga setengah ya," kata Ajeng pada penjual sayuran itu, lalu dia memilih beberapa sayuran seperti wortel, tauge, kacang, kentang dan lain lain.

"Itu suaminya ya mbak Ajeng? Gantenge to, Tumben sekali ikut mbak Ajeng ke pasar" celetuk ibu ibu penjual yang memang sudah cukup akrab mengenal Ajeng. Karna Ajeng selalu membeli sayuran di tempatnya.

"Doakan saja bu," baru saja Ajeng membuka mulutnya, Diro sudah menjawab.

"Loh kok doakan, bukanya mbak Ajeng udah nikah ya?" Ibu ibu itu menatap keduanya penasaran, sedangkan Diro menyengir saat Ajeng menatapnya tajam.

"Bukan bu, ini temen saya kok, suami saya lagi kerja!"

"Oalah, ibu kira si tampan ini suami mbak Ajeng, soalnya kalian cocok!"

"Kita cocok yah bu," Diro bertanya dengan berbinar, membuat ibu ibu itu tertawa.

"Iya, yang satu cantik yang satunya tampan. Pasti kalau punya anak cewek cowok tampan sama cantik!"

"Semoga aja bu," si ibu hanya tersenyum melihat wajah berharap pria itu. Dia berfikir mungkin pria itu sepertinya menyukai Ajeng. Namun Ajeng telah menikah.

"Ibu do'ain deh, mas nya dapat yang lebih baik dari mbak Ajeng. Kan mbak Ajeng nya udah punya suami,"

"Hehe, saya bercanda kok bu," akhirnya Diro terkekeh melihat wajah prihatin ibu ibu penjual sayuran itu, meskipun dalam hatipun dia benar benar berharap agar Ajeng bisa menjadi miliknya suatu hari nanti.

"Udah udah. Bu ini semuanya berapa ya?" Ajeng mengakhiri sesi perbincangan itu, jika di teruskan entah sampai kapan nantinya.

"70 ribu mbak,"

"Biar aku aja yang bayar," Diro segera memberikan uang seratus ribuan pada penjual itu, saat Ajeng akan mengambil dompet di dalam tasnya.

"Eh, nggak usah. Ngapain Ro? Biar aku aja. Jangan di ambil buk,"

"Udah Jeng, sekali kali. Kan kamu bolehin aku ikut belanja, jadi aku balas beliin kamu belanja an,"

"Tapi.."

"Udah, nggak papa!"

Pada akhirnya, Ajeng pun mengalah. Karna Diro terus saja memaksa.

"Ini kembaliannya Cah ganteng," si ibu ibu penjual memberikan sisa kembalian uang pada Diro.

"Nggak usah bu, sisanya buat ibu aja. Anggep aja itu rejeki ibu hari ini,"tolak Diro, membuat si ibu ibu itu tersenyum Terima kasih.

"Terima kasih ya cah ganteng, ibu doakan rejekinya tambah lancar. dan segera mendapat pasangan yang baik kayak mbak Ajeng nantinya,"

"Amiin,"

Setelahnya, Ajeng menuju ke area ikan ikanan, Diro menatap ngeri ikan ikan yang di gantung, dan semakin merasakan perutnya seperti di aduk saat menghirup udara di sekitar itu, Hingga beberapa detik kemudian Diro langsung mual begitu mencium aroma amis yang bercampur dengan air comberan yang di buang di area selokan namun agak mampet.

"Huek!!!" Diro sedikit menepi dan memuntahkan entah apa, yang pasti tidak keluar apapun hanya cairan air liur, namun matanya memerah seperti menahan sesuatu. Ajeng yang awalnya ingin iseng menjadi kasian.

"Kenapa Ro? Nggak kuat sama baunya ya? Kalau gitu kamu balik aja di mobil, aku yang lanjutin sendirian!"

"Ah, nggak jeng. Nggak papa kok, kamu bawa masker?"

"Ah iya bawa," Ajeng mengambil masker dalam tasnya, memang dia selalu persiapan masker meskipun  tidak pernah dia pakai sama sekali, dan masker yang dia bawa selalu baru. Jadi dia berani memberikannya pada Diro.

Setelah agak tenangan, Ajeng dan Diro kembali melanjutkan acara belanja daging dagingan.

Semuanya, di bayarkan oleh Diro, awalnya Ajeng menolak keras karna merasa tak enak, malah merepotkan pria itu, namun Diro terus memaksa, membuatnya lagi lagi mengalah. Dia pun juga berfikir, sisa uangnya bisa dipakai untuk kebutuhan lain. Bukan memanfaatkan kesempatan, hanya saja dia berfikir Diro memang orang yang Tuhan kirim untuk membantu nya.

"Loh, mbak Ajeng sama mas Diro?"

-----

Mengemis nafkah suamiku. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang