Semalaman Ajeng tak bisa tidur selepas ucapan terakhir suaminya yang mengatakan jika mama dan Aca akan tinggal di rumahnya. Dia jelas tak bisa membantah karna jika dia membantah pasti suaminya itu akan berfikiran jika dia tak mengijinkan mama dan adiknya itu tinggal disini. Dan nantinya akan berbuntut panjang, dia akan bertengkar dengan suaminya itu.
Alhasil, sampai pagi tiba Ajeng langsung berlalu ke dapur untuk masak, dia sendiri bingung ke depannya bagaimana.
Jatah bulanan cuma satu juta, tapi orang rumah malah bertambah dua. Kemaren mamanya saja sudah membuatnya pusing, ini lagi di tambah iparnya yang gengsinya luar biasa tinggi.
Semoga saja, suaminya itu mengerti dan memberikan uang lebih untuk kebutuhan dapur nya, mana skincare nya sudah habis. Tabungannya yang biasa dia gunakan untuk membeli kebutuhan pribadinya juga sudah menepis karna dia ambil untuk keperluan dapur yang tak sedikit karna baru saja dua hari, mama mertuanya itu ingin selalu makan enak dan tentu dengan lauk daging dagingan terus.
"Bukanya langsung masak mah melamun, emang kamu diam semuanya bisa matang semua?"
Ajeng tersentak saat melamun di kulkas malah ditegur seseorang. Dia menoleh dan mendapati mama mertuanya yang menatapnya sinis.
Ajeng segera memasak ikan yang masih ada, namun tinggal 3, karna kemaren dia memang membeli pas untuk mereka bertiga. Dia tak mau terlalu boros, dia tak menyangka juga jika Aca akan ikut tinggal disini.
"Yaudah, kamu aja yang masak. Aku mau bangunin Aca dulu!" Mama Tia yang akan mengambil ikan tak jadi, dan memilih untuk berjalan meninggalkan dapur, meninggalkan Ajeng seorang diri.
Sampai di kamar Aca, mama Tia segera masuk karna untungnya kamar anaknya itu tak di kunci. Alhasil dia langsung menghampiri Aca yang masih membalut tubuhnya dengan selimut itu.
"Nduk, bangun! Ayo, sarapan dulu biar anak kamu sehat!" Mama Tia mencoba menggoyangkan bahu anaknya itu, namun Aca hanya menggeliat dan kembali menarik selimut yang di tarik mama Tia sebelumnya.
"Nduk, ayo bangun dulu. Sarapan, kamu nggak kasian anak kamu kelaperan?"
Aca mendengus mendengar ocehan sang mamanya terus terusan, alhasil dengan malas dia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, dan langsung menatap mamanya dengan raut kesal.
"Buat apa sih kasian, orang bayinya bentar lagi mau aku gugurin!" Balas Aca dengan enteng, membuat mama Tia langsung memelotot terkejut.
"Kamu jangan bercanda Ca," tegur sang mama dengan marah, sembari menangkup kedua bahu sang anak.
"Aku nggak bercanda ma," dengus Aca sembari melepas cengkraman tangan sang mama di bahunya, "lagipula nggak ada gunanya mempertahankan bayi ini tau nggak. Cuma bikin malu dan ganggu aktifitas kerja aku nantinya,"
"Tapi Ca.. "
"Gini deh, kalau mama bantu aku gugurin bayi ini, tiap bulan mama aku kasih uang bulanan deh. Selain dari mas Al, mama nanti juga dapat dari aku. Tapi bantu aku gugurin bayi ini, dan jangan sampai mas Al tau,"
Mendengar itu, mama Tia langsung terdiam. Penawaran Aca cukup menggiurkan baginya. Jika dia dapat uang bulanan dari Alfa dan dari Aca otomatis dia akan mendapat uang dua kali lipat, lagipula benar yang di katakan anaknya itu. Tak ada gunanya mempertahankan bayi itu, sudah tidak di Terima oleh ayahnya, nanti malah tambah beban, dan anaknya itu tidak akan bisa bekerja lagi. Bukannya untung, dia malah buntung karna nanti uang Alfa juga akan terbagi untuk Aca jika Aca hanya berdiam diri di rumah.
"Gimana ma?" Tanya Aca ulang, dia tersenyum miring melihat wajah mamanya yang sepertinya sesuai dengan yang dia inginkan. Dia sangat tau jika mamanya itu mata duitan, dan penawaranya jelas saja sangat menguntungkan nya.
"Baiklah, kapan mau gugurin bayi itu?"
Aca tersenyum puas, "nanti, setelah mas Al berangkat kerja, kita pergi ke klinik aborsi yang udah di rekomendasiin temen aku, mama tinggal temenin aku doang!"
"Oke, kita sekarang turun dulu, nanti kakak kamu nyariin. Pasti Ajeng juga udah selesai bikin sarapan!"
"Iya, aku ke kamar mandi dulu!"
Aca pun turun dari ranjang, sedangkan mama Tia menunggu di atas ranjang. Dia memikirkan penawaran anaknya itu, tak sabar setiap bulan akan mendapatkan banyak uang dari kedua anaknya, karna memang selama ini, hanya Alfa yang memberikan dia uang, dia memang tak masalah. Karna Aca pun pernah di mintai uang tapi tak sekalipun di kasih, sekarang mendapatkan penawaran itu jelas saja dia langsung mau.
Tak lama kemudian, Aca keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar.
Merekapun turun, dilihat nya dari kejauhan, Ajeng sedang mempersiapkan hidangan yang telah jadi, mama Tia dan Aca segera duduk untuk melihat lauk apa yang Ajeng hidangkan.
Disana aja sayur bening, ikan goreng, tempe goreng, dan sambal.
"Kenapa ikan nya cuma ada tiga? Kamu sengaja nggak kasih Aca makan ikan juga?" Mama Tia mendelik marah pada Ajeng yang tengah menata piring.
"Aku kira Aca nggak disini ma, jadi kemaren aku belinya pas!"
"Pelit banget," dengus Aca dengan wajah kesalnya.
"Nanti biar Aca aja yang makan nggak papa kok, lagipula masih ada tempe buat lauknya," Ajeng mencoba menjelaskan, dan menenangkan mama mertuanya agar lega.
"Bagus deh kalau gitu, itu artinya kamu tau diri!"
Tak lama setelahnya, Alfa keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Lalu duduk disamping aca.
Ajeng langsung menyiapkan sarapan untuk suaminya itu. Baru setelahnya dia sendiri yang makan.
"Loh kamu cuma beli ikan 3 aja?" Tanya Alfa begitu melihat ikannya sudah habis di ambil oleh adik dan mamanya. Dan Ajeng hanya mengambil tempe saja.
"Iya mas, kemaren aku belinya pas, nggak tau kalau Aca bakal disini juga,"
"Besok besok kamu lebihin biar kebagian semuanya ya,"
Ajeng mengangguk, dalam hati memggerutu jika belanjaannya ditambah, harusnya uang belanjanya juga harus bertambah. Jika besok uangnya habis, dan suaminya tidak memberi, dia akan masak sambel setiap hari, biar mencret seisi rumah.
Setelah selesai, Alfa pun ijin untuk pergi ke kantor.
"Kamu belum masuk Ca?"
"Belum mas, masih agak lemas. Nanti kalau udah enakan aku masuk kok!"
"Kalau tubuh kami emang nggak kuat buat kerja nggak usah di paksain, nanti buat jajan mas kasih!"
Ajeng menghela nafas mendengar ucapan sang suami, empat orang yang mencari nafkah cuma satu, dia yang awalnya sudah irit harus gimana lagi? Awalnya dia bekerja untuk dia tabung kedepannya, mungkin saja tidak sampai ke sana, malah untuk ikut menutupi semua kebutuhan yang masih kurang.
"Iya mas, tapi kayaknya masih bisa kok. Lagipula aku udah ngajuin surat ijin sakit dan aku titipin ke temen aku!"
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengemis nafkah suamiku.
General FictionAjeng Rahayu, wanita yang bak mengemis nafkah suaminya sendiri, karna, Alfandra, sang suami lebih mengutamakan memberi uang pada mantan istrinya dengan alasan memberi nafkah pada sang anak. di satu sisi saat dia akan bekerja sendiri, suaminya melar...