"Loh mbak Karin kesini," Aca yang baru saja keluar dari kamarnya langsung menghampiri Karin yang tengah berbincang dengan mama dan dan juga kakak, beserta iparnya.
"Iya Ca, kamu kata tante Tia sakit, udah sembuh?" Karin memberi spice kosong pada Aca dengan sedikit menggeser tubuhnya. Akhirnya Aca pun duduk di samping Karin.
"Iyah, udah enakan kok. Mungkin besok juga udah bisa masuk kerja!"
Mereka berbincang dengan menyenangkan, namun Ajeng tak ikut andil di dalamnya, selain tidak mengerti maksud dari pembicaraan mereka, dia pun tidak di ajak untuk masuk ke dalam obrolan itu. Membuatnya merasa tak nyaman.
"Oh, aku ke belakang dulu yah, ada yang perlu aku bersiin deh tadi!" Ajeng mencoba mencari alasan.
"Yaudah, kamu juga nggak di butuhin di sini," tanpa aling aling, mama Tia berkata dengan pedas, membuat diam diam Karin mengulum senyum geli dan prihatin dengan Ajeng yang sama sekali tak di anggap.
Mendengar ucapan itu Ajeng melirik Alfa yang hanya diam, membuatnya menghela nafas kecewa. Lalu dia pun buru buru ke kamarnya, itu membuatnya lebih tenang daripada harus berkumpul dengan orang orang yang sama sekali tak sejalan dengannya. Termasuk suaminya sendiri.
Baru saja menutup pintu, suara notif ponselnya membuatnya segera melihat, siapa yang mengiriminya pesan. Yang setelah di lihat, ternyata itu dari Diro.
Ajeng pun segera membukanya.
Diro
Jeng, omset kita semakin melonjak, penjualan masuk dalam 3 peringkat besar, wah jika terus begini bisa bisa perusahaan kaya mendadak. Wkwkw"Alhamdulillah,"Ajeng bergumam penuh syukur melihat pesan itu, dia berharap kedepannya bisa lebih baik lagi, dan semakin banyak yang membeli Dagangannya.
Ajengpun segera membalas pesan Diro.
Saya
Syukur deh Ro, semoga kedepannya, bisa lebih baik lagi. Dan tambah sukses.Setelah membalas pesan itu, tak lama suara pintu kamar terbuka, buru buru Ajeng menghapus semua chat dari Diro. Memang, dia bukan orang yang selingkuh karna chatingan dengan Diro pun membahas tentang pekerjaan, namun entah mengapa dia merasa tak enak jika nanti Alfa melihat nya, dia pun tak ingin terjadi pertengkaran dengan suaminya itu.
Ajeng menoleh dan mendapati wajah kusut suaminya itu.
"Mbak Karin udah pulang mas?" tanya Ajeng begitu Alfa duduk di sampingnya sembari merebahkan diri, padahal sepatunya saja belum di lepas.
"Belum," Alfa menjawab dengan singkat.
Karna merasa suaminya itu begitu kelelahan Ajeng pun berinisiatif untuk melepaskan sepatu dan kaus kaki suaminya itu.
"Kalau belum pulang kenapa mas tinggal? Nggak enak kalau tamu mas nggak di layanin dengan baik,"
"Udah ada mama sama Aca, aku capek!"
Ajeng tak membalas, dan berjalan menuju rak sepatu untuk meletakkan sepatu suaminya itu disana.
"Mas mandi dulu gih, biar lebih enakan. Biar seger!" Ajeng kembali duduk di samping Alfa sembari memijat kaki suaminya itu dengan penuh kelembutan. Diam diam Alfa menikmati pijatan Ajeng dan malah tertidur.
"Al, Alfa.. "
Suara mamanya dari arah depan kamar membuatnya menoleh, karna memang Alfa tak mengutup pintu dengan rapat, dia bisa melihat mamanya itu berjalan ke arahnya dan membuka pintu.
"Mas Alfa lagi tidur ma, mungkin kecapean. Emang kenapa?" Ajeng menjawab mama mertuanya itu dengan sopan dan lembut. Namun tetap saja di balas raut ketus dan kusam mama Tia.
"Bangunin, suruh anterin Karin,"
Ajeng melirik suaminya yang tertidur pulas, dilihat dari wajahnya sepertinya suaminya itu benar benar kelelahan, membuatnya tak tega jika harus membangunkan suaminya itu.
"Tapi ma,.. "
"Udah ma, mas Alfa biar istirahat aja. Biar Aca aja yang anter Karin!" tiba tiba saja Aca datang dari belakang mama Tia. Membuat mama Tia menoleh dengan wajah tak sukanya.
"Kamu kan belum enakan, biar Alfa aja yang amterin," kekeh mama Tia dengan wajah kesalnya.
"Udahlah ma, kasian kak Alfa. Jangan egois!" dengus Aca lalu pergi meninggalkan mama Tia yang memasang wajah bete.
"Ish, gara gara kamu ini!" sebelum pergi mama Tia malah berujar seolah menyalahkan nya. Membuat Ajeng yang tak mengerti hanya mengernyit sembari mengindikan bahunya heran.
Malam harinya Alfa terbangun, dia melihat sekeliling yang ternyata hari sudah petang, ketika melihat jam, angka menunjukan angka 8 malam. Dia yang sadar jika belum mengantarkan Karin segera kaluar kamar dengan terburu buru namun baru saja membuka pintu, dia bertemu dengan mama Tia yang entah darimana.
"Loh, Karin dimana ma?"
"Udah di anterin Aca, kamu ketiduran sih!" mama Tia menjawab dengan raut kesal.
"Oh, yaudah kalau udah di anterin Aca. Terus kenapa wajah mama kayak kesal gitu?" Alfa bertanya dengan heran, pasalnya wajah mamanya terlihat begitu tidak mengenakkan.
"Kamu sih, mama kan pengennya kamu yang anter. Biar kalian makin deket."
Alfa sontak saja memasang wajah bingung, "biar makin dekat? Dekat gimana sih ma? Kita kan cuma temen. Lagipula aku udah ada Ajeng, mama jangan aneh aneh deh!" tegur Alfa karna merasakan mamanya itu seolah sedang mendekatkan dirinya dengan Karin.
"Kenapa emang? Kalian cocok. Kamu tampan, Karin cantik, Sexy, fashionable, kaya juga. Nggak cuma beban kayak istri kamu itu," secara terang terangan mama Tia mengutarakan ketidaksukaannya pada Ajeng, membuat Alfa memijat kepalanya pusing.
"Udah deh ma, Ajeng itu udah jadi istri aku. Lagipula dulu mama juga yang ngijinin kan? Kalau sejak awal mama nggak suka. Akun juga nggak akan nikahin Ajeng meskipun aku sayang banget sama dia. Tapi mama dulu suka kan sama Ajeng,"
"Iya, itu dulu sebelum mama tau kalau dia di buang keluarganya,"
"Magsud mama?"
"Iya, keluarganya kan kaya, apalagi dia anak satu satunya. Tapi malah dia di usir dari rumah setelah nikah sama kamu. Kalau tau bakal begini mama juga ogah punya menantu lulusan SMA doang,"
"Mama mikirin kekayaan doang? Jadi selama ini mama nggak tulus sayang sama Ajeng, ma?" Alfa cukup terluka mengetahui fakta itu, hanya saja dia tak bisa berbuat banyak, bagaimanapun mama Tia adalah mamanya, yang harus dia hormati sepenuh hati.
"Realistis aja sih Al, kalau nggak minimal kalau nggak setara ya lebih kaya dari kita lah,"
"Tapi Alfa tulus sayang sama Ajeng ma,"
Mama Tia berdecih mendengar ucapan Alfa barusan, "modal sayang doang bisa apa? Bisa beli perhiasan? Minimal dia bisa menghidupi dirinya sendiri, nggak harus bergantung sama suami. Apalagi kamu masih ada tanggungan adik sama mama, di tambah anak kamu, Runa, akan lebih berat lagi kan,"
Bodohnya, Alfa malah terdiam, dan dalam hati membenarkan ucapan sang makan yang mengatakan jika selama ini Ajeng hanya beban semata, harusnya dia ikut kerja. Tapi mengingat masa dulu, dia memang yang melarang Ajeng bekerja, pikirnya akan lebih baik jika istrinya itu menunggunya di rumah dan melayaninya dengan baik.
Karna pengalaman teman teman nya setelah istrinya mempunyai penghasilan sendiri, dia akan meremehkan suaminya dan cenderung memiliki sifat yang bodo amat, karna merasa mempunyai penghasilan sendiri, jika dia tak di kasih nafkah pun masih bisa makan.
Memikirkan itu membuatnya pusing, namun dia tetap akan melarang Ajeng bekerja, dia tak ingin apa yang terjadi dengan temannya juga terjadi dengan dirinya.
Persetan dengan jatah bulanannya yang diberikan pada Ajeng begitu kecil, yang penting dia sudah memenuhi kewajibannya untuk memberi nafkah. Setelahnya, pintar pintar Ajeng aja yang mengelola keuangan.
----
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengemis nafkah suamiku.
General FictionAjeng Rahayu, wanita yang bak mengemis nafkah suaminya sendiri, karna, Alfandra, sang suami lebih mengutamakan memberi uang pada mantan istrinya dengan alasan memberi nafkah pada sang anak. di satu sisi saat dia akan bekerja sendiri, suaminya melar...