"Eh mbak Santi, iya nih tadi ketemu di jalan. Malah Diro mau ikut belanja ke pasar. Maklum mbak, orang kaya nggak pernah ke pasar," Ajeng menjelaskan pada Santi yang memergokinya, dia kira tetangga atau siapa yang nantinya akan membuat runyam. Karna jika Santi, dia sangat mengenal Ajeng dengan baik, tau jika Ajeng tak mungkin bermain di belakang Alfa.
"Kenapa muka mas Diro kayak merah gitu? Kayak orang mabuk aja!"
Memang masker yang tadinya di gunakan untuk menutup bau tak sedap sudah dia turunkan Karna sudah akan pulang, dan bau itu sudah tak tercium lagi, jadi Santi bisa melihat wajah Diro yang masih agak memerah efek dari muntah muntahnya tadi.
"Emang mbak, tadi habis mabuk. Cium bau amis sama daging dagingan tadi di sana,"
"Owalah, pantes. Emang ya, orang kaya nggak pernah ke pasar. Sekali nya ke pasar langsung gitu," Santi ikut meledek, membuat Diro yang masih lemas hanya bisa menghela nafas kesal. Memang Santi dan Diro sudah mengenal dan akrab dengan Diro, jadi mereka berani saja bercanda.
Karna kebetulan Santi juga selesai belanja, merekapun keluar dari pasar bersama.
"Oiya mbak denger denger mertua sama ipar mbak sekarang tinggal di rumah mbak ya? Jadi aku nggak berani main ke sana," celoteh Santi di sepanjang berjalan.
"Iya San, sekarang mereka tinggal di rumah kita,"
"Kayaknya mertua mbak judes ya mbak, sekali aku pernah menegurnya tapi kayak responnya nggak terlalu baik, apa cuma perasaanku aja ya,' Santi berusaha mengatur kosa katanya agar tak melukai perasaan sahabatnya itu.
Ajeng yang nanti juga takut salah bicara hanya bisa tersenyum, "mungkin cuma perasaan mu aja San, dia baik kok."
"Owh, syukur deh mbak. Aku juga awalnya tinggal sama mertua mbak, tapi mertua rese, jadi Aku nggak betah dan minta mas Rama buat beli rumah aja meskipun kecil, tapi nyaman. Kalau sampai sekarang aku masih disana mungkin mentalku udah rusak. Untung aja mas Rama ngerti aku mbak,"
Ajeng yang bingung menanggapi apa hanya diam.
"Oiya, mbak Ajeng pulang naik apa? Mau bareng? Aku kesini tadi bawa motor." Tawar Santi kembali saat mereka berada di luar pasar.
"Nanti biar Aku anterin," tiba tiba saja Diro menyaut, membuat kedua wanita itu menoleh bersamaan.
"Nggak usah, kamu langsung ke kantor aja, atau pulang. Soalnya badan kamu kayaknya masih lemas juga!"
"Iya Ro, biar mbak Ajeng bareng aku aja. Lagipula kita kan tetanggaan. Jangan kuatir kalau mbak Ajeng kenapa napa di jalan, biar aku jaga," canda Santi ketika melihat wajah ketidak relaan yang terpancar di mata pria tampan itu.
"Iya Ro, aku bareng Santi aja. Makasih ya untuk semuanya,"
"Yaudah deh, kamu hati hati ya!"
Diro pun akhirnya pamit pergi terlebih dahulu, kemudian baru Santi menghampiri motornya yang memang jaraknya masih cukup jauh dari parkiran mobil.
"Mbak Ajeng kalau mau ke pasar bilang kenapa mbak, nanti bisa bareng. Daripada harus jalan kaki"
"Jalan kaki kan sehat San," canda Ajeng, membuat Santi berdecak kesal.
"Pokoknya mbak Ajeng kalau mau pergi pergi nggak usah sungkan buat minta tolong sama aku,"
"Nggak enak ngrepotin kamu terus San, padahal kan aku nggak pernah bantu apa apa,"
"Ish mbak Ajeng ini, kayak sama siapa aja, biasanya juga mbak Ajeng bantu jaga Arsa,"
"Iya, makasih banyak ya San,"
Meskipun mengendarai sepeda motor mereka masih bisa saling mendengar, karna memang Santi mengendarai motornya dengan pelan.
Beberapa saat kemudian motor Santi telah sampai di depan rumah Ajeng.
"Makasih banyak ya San!" Ajeng turun dari motor, dan menatap Santi yang masih di atas motor.
"Iya mbak sama sama, lain kali kalau senggang main lah ke rumah. Arsa juga udah kangen main sama mbak,"
"Iya San, lain kali main ke rumah."
Setelahnya, Santi pun kembali menyala kan motornya dan masuk ke dalam pagar rumahnya. Dan Ajeng pun berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Saat membuka pintu, dia melihat mertuanya duduk sembari memegang cemilan di depan TV. Entah kapan mertuanya itu memberi jajanan namun didepannya banyak makanan, Ajeng tak perduli dan langsung masuk untuk membereskan semua barang belanjaannya.
Bicara tentang Aca, wanita itu telah kembali aktif bekerja. Jadi dia tak ada di rumah, yang ada hanyalah Ajeng dan juga mama Tia.
"Belanja apa tadi?"
Ajeng yang mencuci ikan dan daging dagingan hampir saja terlonjak kaget karna tiba tiba saja mertuanya itu muncul.
"Wih makanannya enak enak tuh, habis gajian? Ah nggak juga, kerja baru beberapa hari. Dapat uang dari mana kamu? Melacur ya?" Tuding mertuanya ketika melihat bahan makanan yang cukup banyak itu, seingat nya kemaren kemaren Ajeng telah belanja banyak dan juga daging dagingan, uang sejuta sangatlah mepet dan pasti telah habis, tapi kenapa masih bisa membeli banyak bahan makanan sebanyak ini.
"Astagfirullah ma, aku nggak mungkin serendah itu," Ajeng langsung menatap mama mertuanya tak habis fikir.
"La terus dapat uang darimana kamu? Pinjem temen kamu? Kalau pinjem lunasin sendiri, jangan minta sama Alfa lo ya, awas aja!"
"Kalaupun aku minta lagi sama mas Alfa mama tau sendiri kan kalau mas Alfa nggak bakal kasih!" Ajeng senang sedikit berani menskak mertuanya itu, karna dia sudah tau jika mertuanya itu yang sering mencuci otak Alfa agar tak menambahi uang belanja, namun kebutuhan dapur bertambah.
"Itu tau, makanya jangan boros boros jadi istri," tetap saja mama Tia judes dan ketus padahal Ajeng sudah bersikap sebaik mungkin.
"Aku boros?" Ajeng menunjuk dirinya sendiri, lalu terkekeh miris, "Aku boros darimana ma? Aku aja jarang beli skincare, nggak pernah makan enak di luar, selalu ngutamain orang rumah. Namun mama malah fitnah Aku kata mama kasih uang, kalau emang mama kasih uang. Mana ma uangnya, biar buat Aku belanja. Toh bukan cuma Aku kan yang makan, tapi semua orang rumah,"
"Hah? Apaan kamu minta uang sama saya, enak aja. Makanya kalau nggak mau di fitnah ya kerja. Cari uang sendiri, jangan cuma ngandelin suami." Memang orangtua itu selalu merasa benar, dan ingin menang sendiri, Ajeng hanya bisa menghela nafas sabar, menghadapi mama mertuanya itu.
"Yaudah ma, mama lanjut tonton TV aja, Aku mau beresin ini semua,"
"Kenapa jadi kamu ngusir saya, dasar menantu tak punya sopan santun!" Dengus Mama Tia tersinggung, namun tetap berbalik dengan wajah kesal lalu berjalan meninggalkan Ajeng yang menatap punggung mama mertuanya itu dengan tatapan sendu.
"Ma, Ajeng kangen mama!"
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengemis nafkah suamiku.
Ficción GeneralAjeng Rahayu, wanita yang bak mengemis nafkah suaminya sendiri, karna, Alfandra, sang suami lebih mengutamakan memberi uang pada mantan istrinya dengan alasan memberi nafkah pada sang anak. di satu sisi saat dia akan bekerja sendiri, suaminya melar...