Secangkir Rasa

48 21 20
                                    

     Aku menatap kosong layar monitor. Sudah ku usahakan fokus, akan tetapi sangat sulit. Tadi malam bunda menelepon. Dan ternyata ayah tengah sakit. Aku bisa tau hal itu dari suara sengau ayah meskipun keduanya menyembunyikanya. Hal itu membuatku kurang fokus.

"Oke kita cukupkan dulu pertemuan hari ini, salam jihad, selamat siang dan..Wassalamu'alaikum!" Ucap Ust. Dim mengakhiri sesi mengajar beliau.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah.." Jawab kami serempak.

Aku menoleh pada Rania.

"Kamu mau langsung pulang Ran?"

"Memangnya kenapa?" Jawabnya sembari memasukan laptop ke dalam tasnya.

"Ke gedung kesenian yuk"

"Ngapain?"

"Ngademin mata ajah. Pengen lihat lukisan disana"

"Oke aku temenin"

Aku mengembangkan senyum. Segera kukirimkan pesan pada Disya untuk tidak menungguku. Sedang Arwa, anak itu ada tugas tambahan sore ini.

Aku dan Rania berjalan beriringan menuju ruang penuh peralatan seni. Masih ada beberapa orang disana. Tampak sekelompok mahasiswa tengah tengah memainkan canting yang digoreskan pada kain polos. Coach Hamid berdiri memantau disamping mereka.

Langkahku tertuju pada sederet kanvas yang sudah tak putih lagi. Telah berubah menjadi karya seni yang siap diapresiasi. Aku mendekat pada lukisan paling kanan. Ada selipan Al-Manani disudut kanan bawah. Aku tau ini milik siapa.

Nizar bilang ia terpilih untuk mewakili kampus ini dalam ajang kompetisi seni islami se-Jawa Tengah seminggu yang akan datang. Tentu, aku tak meragukan bakatnya.

Tiba-tiba aku teringat bang Qaisar. Ia juga sering mengikuti kompetisi seni dan selalu pulang dengan prestasi.

"Ran, pulang yuk"

"Udah?"

Aku mengangguk. Di persimpangan jalan, kami berpisah karena ia anak kos, bukan asrama. Aku memilih mampir ke sebuah kedai kopi cukup terkenal di sekitar sini.

Aku memesan espresso latte classic dan satu sun moody cake. Rasa yang belum pernah ku coba. Aku mulai membuka laptopku sembari menunggu.

Suasana disini hening meski pengunjung ramai. Alunan lagu harmoni klasik mengalun santai. Jujur aku baru pertama masuk kedai ini. Biasanya hanya mampir ke resto dan makan sebentar.

Aku penasaran dengan  ucapan orang bahwa kopi bisa mendatangkan inspirasi dan menenangkan pikiran. Pantas saja dulu bang Qaisar selalu ditemani kopi ketika melukis.

Pesananku datang. Mencium aromanya saja sudah membuatku tersenyum. Namun aku masih fokus mengetik.

Aku merasakan seseorang datang dan duduk didepanku.

"Permisi, boleh saya dud... Qairina?"
Pemuda itu tercekat. Sedetik kemudian kami tertawa.

"Kamu disini juga?" Tanyanya.

"Iya baru pertama ke sini. Kamu sendiri?"

"Aku sudah sering. Bahkan rutin hhh"

Aku tak menyangka akan bertemu nizar disini. Kebanyakan meja sudah penuh hingga membuatnya memilih bangku dihadapanku ini.

 Kebanyakan meja sudah penuh hingga membuatnya memilih bangku dihadapanku ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ENDLESS LOVE  [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang