"Masuk ajah Qai, ditunggu Umma di dalam" Dzah Rima mempersilahkanku.
"Baik dzah"
Aku melangkah pelan sedikit berjingkat. Samar-samar terdengar suara Umma dan seorang wanita di ruang tengah.
Aku mendaratkan kedua lututku begitu sampai pintu ruang tengah. Berjalan setengah badan dengan wajah menunduk tadzim.
"Sendiko dawuh Umma" Ucapku.
"Oo jadi ini Qairina. Ini lho lihat siapa yang datang nduk"
Aku terkejut mendengar penuturan umma. Aku memang tak memperhatikan siapa yang ada disamping umma. Begitu wajah ini sedikit mendongak..
"Budhe!" Girangku namun lirih.
Aku lantas mencium dan merangkul beliau penuh rindu. Budhe Hafsah. Beliau adalah kakak kandung bunda yang pertama. Selama aku di Jawa, beliaulah yang selalu mengurus keperluanku.
"Pakdhe didepan?" Tanyaku pada budhe.
"Iya nduk, didepan sama Yai Hamza"
Inilah salah satu alasan mengapa aku memilih pesantren ini dari sekian banyaknya pondok tahfidz di Jawa. Karena pakdheku berteman dekat dengan romo Hamza. Keduanya adalah sohib sejak nyantri dulu. Hingga sekarang, dimana keduanya telah memiliki ribuan santri.
Jika aku mondok ditempat pakdhe, aku tidak yakin akan seratus persen mandiri. Maka dari itu pakdhe mengirimku kesini.
Layaknya santri lain, aku hanya perantau jauh yang membawa kebodohan untuk dibersihkan. Tadzimku pada romo dan umma tetap nomor satu.
Waktu menunjukan pukul 22.05. Pakdhe dan budhe pamit diri, aku sempat menitikan air mata diam-diam. Bagaimana tidak, wajah bude sangat mirip dengan bunda. Juga kehangatan yang beliau berikan padaku.
Sejak saat itu, umma menjadi lebih memperhatikan ngajiku. Bahkan beberapa kali menitipkan makanan dari ndalem lewat dzah Rima untuku.
Hingga saat usia belajarku mencapai satu tahun, aku memutuskan untuk turut berkhidmah di ndalem.
Pagi ini, seperti biasa aku tengah menyiram tanaman hias di pelataran ndalem. Umma Hanah tampak keluar mengenakan setelan serba putih. Sepertinya beliau akan mengimami acara rutin jama'ahnya.
Aku menyongsong beliau dan mencium punggung tanganya penuh ta'dzim.
"Qai tidak kuliah?"
"Kuliah umma, sebentar lagi" Jawabku tersenyum.
Umma lantas masuk kedalam Civic putih yang sudah dipanaskan sejak tadi. Mas Gun, supir ndalem sudah menunggu beliau.
Tak lama setelah umma tindak, putra bungsunya juga menampakan diri. Ia duduk di bangku teras ndalem membawa laptopnya dan secangkir kopi.
'Aduh kok malah disitu sih gus, grogi nanti saya'
Aku pura-pura saja tak melihatnya.
"Qai"
"Inggih gus? "
"Yang ini belum basah nih"
"Oo nggih gus"
Aku bergerak maju guna menyiram tanaman yang persis hanya berjarak satu meter dari gus Ghazi. Padahal tadi sudah ku siram."Yang ini juga Qai nih"
Ia menunjuk yang satunya. Akupun bergeser. Kami tepat berhadapan."Nah kalo yang ini? Ini pasti belum"
Kini ia malah menunjuku. Sontak mataku membulat geram."Saya? Saya sudah mandi dari subuh gussss!"
Gus Ghazi terkekeh puas. Ya, seperti itulah dia. Selama setahun ini, bisa dibilang kami semakin dekat karena setiap hari selalu berinteraksi. Baik di ndalem juga di kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENDLESS LOVE [Terbit]
عاطفية"Yang penting Qairina sekarang fokus ngaji, kuliah dan tingkatkan value diri" "InsyaAllah Gus, biar solikhah ya" "Biar jadi istri saya" Qai terbelalak. Keningnya mengerut. "Tapikan..niat saya belajar bukan untuk itu Gus" protesnya. "Tapi saya su...