KKN kami berjalan penuh suka cita. Masyarakat sekitar pantai terkesan bersahabat. Selama seminggu ini kami masih tahap perkenalan dengan lingkungan setempat. Merangkul dengan perlahan.
Malam ini setelah shalat isya, seorang tokoh agama setempat memberikan jatah ceramah rutin beliau kepada kami. Bertepatan dengan akan datangnya bulan kelahiran nabi, kami berunding dan memutuskan untuk membawakan tema maulid dalam kesempatan ini.
Setelah jama'ah dan dzikir bersama telah selesai, sang imam mempersilahkan waktu dan tempat kepada seorang teman lelakiku, Hisyam. Hatiku sedikit lega karena aku tau dia cukup cakap pasal unjuk diri didepan publik.
Jamaa'ah yang hadir saat itu bisa dihitung dengan jari. Aku mengetahuinya karena salah satu teman lelakiku mengirimkan foto jama'ah lelaki dibalik kain penyekat ruangan ini. Sedang aku sendiri mendokumentasikan jama'ah wanita yang hanya tujuh orang.
Awalnya ceramah Hisyam berjalan baik-baik saja. Sampai tiba-tiba terdengar geberan motor trile berhenti didepan surau kecil ini. Rania mundur mengintip siapa yang datang. Lalu ia kembali padaku dengan wajah ketakutan.
"Siapa?!" Tanyaku.
"Segerombolan orang pakai motor gede. Wajahnya sangar-sangar. Mereka masih diatas motor sambil nunjuk-nunjuk shaf jama'ah laki-laki" Bisik Rania.
"Berapa orang?!"
"Enam kalo gak salah. Mereka bawa celurit"
"Allahu akbar.." Lirihku gemetar.
Aku dan kelima teman wanitaku saling pandang dan berdo'a dalam hati. Sampai terdengar sebuah gebrakan cukup keras di pintu.
"Hai! Pemuda kota! Jangan kalian sebarkan paham yang kalian anut disini! Kami tidak sudi menerimanya! Disini tidak ada perayaan maulid!"
Aku mengintip dibalik kain penyekat. Mereka terlihat bengis. Seorang diantara mereka terus berbicara dengan menodong-nodongkan celurit pada Hisyam dan teman-temanku lainya yang memakai jas. Sementara yang lain berjalan mengitari jama'ah yang kini mulai menggerombol ditengah ruangan.
"Silahkan ceramah tapi jangan bawa-bawa maulid! Atau kalian akan kembali dengan jumlah yang tak lengkap!" Gertakan itu membuat kami terlonjak.
Mereka berenam lalu duduk di shaf paling terakhir. Sungguh, aku melihat wajah Hisyam memerah dengan tangan yang gemetar memegang mic. Kami seakan di intai oleh maut.
Sang imam masjid terlihat tenang namun menunduk pasrah. Sepertinya beliau sudah lebih sering mendapat kecaman seperti ini sebelum kami.
"Ran, pegang ini. Teruslah videokan sampai selesai agar kita punya bukti jika terjadi sesuatu yang tidak di inginkan" Aku memeberikan kameraku pada Rania.
"Terus kamu mau kemana?!" Jawabnya panik menarik lenganku.
"Aku akan menghubungi ustadz Dim"
"Bahaya Qai!" Cegahnya.
"Sssstt.. Bisik-bisik saja"
Aku meyakinkan teman-temanku bahwa semua akan baik-baik saja. Diam-diam aku berjalan keluar dan menuruni surau. Berjongkok disamping kiri bangunan itu sembari menunggu panggilanku diangkat. Sungguh, sinyal disini sangat payah. Aku hanya berharap Allah mempermudah.
Panggilan diterima. Baru saja mengucap salam, suaraku sudah terbata. Aku menceritakan kejadian yang saat ini tengah dihadapi kelompoku.
Meski beberapa kali terputus, panggilan bisa tersambung kembali. Terdengar seruan istighfar beberapa orang dibalik telepon. Ternyata ustadz Dimyathi sedang sowan romo Hamza di ndalem pesantren. Beliau mengatakan sejak tadi maghrib memang merasakan firasat yang kurang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENDLESS LOVE [Terbit]
Romansa"Yang penting Qairina sekarang fokus ngaji, kuliah dan tingkatkan value diri" "InsyaAllah Gus, biar solikhah ya" "Biar jadi istri saya" Qai terbelalak. Keningnya mengerut. "Tapikan..niat saya belajar bukan untuk itu Gus" protesnya. "Tapi saya su...