Pagi ini para khadimah ndalem benar-benar sibuk. Sanak saudara dan para tetangga hadir. Mereka turut mendoakan keberangkatan gus Ghazi. Termasuk pakdhe Syakir dan budhe Hafsah. Mereka datang dari Sleman.
"Kamu mandi dulu sana Qai" Bisik dzah Rima saat kami masih sibuk menyiapkan hidangan untuk para tamu.
"Nanti aja dzah. Kuliah kan dua jam lagi. Ini juga masih ribut, tamu makin banyak" Elaku.
"Ini bukan masalah berangkat kuliah. Kamu lho nanti diajak umma ikut ke bandara"
Aku tersentak kaget.
"Ah yang bener dzah?!"
"Iyaa. Memang umma belum ngendika ke kamu?"
"Belum" Aku menggelengkan kepala.
"Yasudah cepat mandi"
Aku malah mematung menatap dzah Rima yang bergerak kilat mengisi kantong plastik dengan berbagai macam snack.
"Sudah sana to. Malah ngelamun kamu ini"
"Eh iya dzah iya"
Aku bergegas ke belakang. Mandi dan bersiap-siap layaknya akan kuliah seperti biasa. Hanya saja kali ini memilih gamis baru yang jarang sekali kupakai.
Aku tak tahu, dzah Rima memang mengatakan yang sebenarnya atau hanya mencari alasan agar aku mau mandi dan berganti tugas dengan khadimah lain. Pasalnya, umma belum mengatakan apapun sampai saat ini.
"Qai, diminta ke ndalem sekarang" Tiba-tiba Arwa menyembul dari balik pintu kamar.
"Disuruh dzah Rima ya?" Jawabku sembari membenarkan tatanan hijabku.
"Bukan, dipanggil umma"
"Oh, iya iya. Langsung kesana"
Begitu sampai ndalem, ternyata koper dan barang-barang gus Ghazi sudah sedang diangkut mas Den ke bagasi. Ada tiga mobil yang akan turut mengantar. Mobil pakdhe Syakir, aktivis dakwah kampus, dan mobil ndalem sendiri.
Budhe menarik lenganku untuk masuk kedalam mobil beliau. Aku manut saja. Kami meninggalkan pelataran ndalem di iringi sholawat yang dilantunkan dengan rebana.
Masih di Yogyakarta, kami turun terlebih dahulu di salah satu pusat oleh-oleh. Sengaja mampir untuk membeli perlengkapan makanan yang akan dibawa gus Ghazi.
Produk yg paling banyak diambil umma adalah abon kemasan, kripik-kripik, sarden dan tentunya mie goreng instan. Jenis makanan tersebut merupakan lauk yang awet juga praktis untuk beberapa pekan pertama disana.
Kami sampai di bandara dua jam sebelum pemberangkatan. Disaat semuanya berbincang, aku meminta izin untuk mencari minuman. Ya.. meskipun jajanan di area bandara mahal-mahal.
Aku memesan sebuah kopi dingin. Tapi bukan kemasan instan. Ini murni racikan. Memakai alat macam barista di kedai pula. Dimanapun tempatnya, jika suasana hatiku kurang bersemangat, aku pasti mencari kopi.
"Qai, menu yang sama satu lagi ya"
Gus Ghazi tiba-tiba berdiri disampingku."Siap gus. Haus juga ternyata ya"
Pria itu mengangguk.Pemilik mini store itu tampaknya sudah mendengar pembicaraan kami, sehingga dengan cekatan ia menyiapkan satu cup lagi.
Aku memandang gus Ghazi dari samping. Ada rasa kehilangan saat ia benar-benar akan pergi. Ya, pastinya aku akan rindu. Siapa yang akan menjahiliku, membuatku tertawa karena malu, dan perlakuan-perlakuan lain yang justru membuatku nyaman saat berada di dekatnya.
Namun disisi lain aku juga bahagia. Ia akan meneruskan kewajibanya menimba ilmu di negara maghribi sana. Dan kelak akan kembali sebagai seorang pemuda berintelektual yang siap bergelut menegakan agama islam di Indonesia.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENDLESS LOVE [Terbit]
Romantizm"Yang penting Qairina sekarang fokus ngaji, kuliah dan tingkatkan value diri" "InsyaAllah Gus, biar solikhah ya" "Biar jadi istri saya" Qai terbelalak. Keningnya mengerut. "Tapikan..niat saya belajar bukan untuk itu Gus" protesnya. "Tapi saya su...