_
Jujur, sepanjang perjalanan aku terus bertanya-tanya.
Gus Ghazi berjalan menuju arah perpus. Sesekali ia menoleh kebelakang. Mungkin untuk memastikan apakah aku benar-benar masih mengikutinya.
"Sebentar" Ucapnya ketika kami tiba disalah satu meja baca. Ia membuka laptopnya. Sedang aku masih diam tak mengerti.
"Em..Qai, berhubung kamu orang Aceh tulen, bisa tolong bantu saya?"
"InsyaAllah selagi saya bisa gus" Ucapku meski agak ragu.
"Saya ada tugas mengenai budaya Aceh yang sudah mashur dilestarikan di pulau-pulau Indonesia. Namun terlebih dahulu, kita perlu telisik dari sudut pandang yang sempit dulu. Mungkin dari kotamu. Banda Aceh sangat terkenal"
Oh.. Pasal ini. Batinku.
"Benar Gus, Banda Aceh merupakan Ibu Kota provinsi Aceh. Kota ini menjadi pusat kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Banda Aceh juga merupakan kota islam yang paling tua di Asia"
Gus Ghazi tampak antusias memahami penjelasanku. Meski aku mengatakannya dengan pandangan ke meja, namun saat mendongak tetap saja tatapan kami bertemu. Membuatku menjadi sedikit canggung.
"Jadi begitu Gus" Pungkasku setelah hampir sepuluh menit memberi penjabaran panjang.
Tak hanya menjelaskan karakteristik kotaku, aku juga menunjukan beberapa destinasi wisata dan museum di Banda Aceh. Terutama yang masih berhubungan dengan tragedi tsunami 2004 lalu. Kemudian kami menganalisis dampak positif yang dimunculkan objek-objek tersebut dalam upaya pemulihan kembali kehidupan masyarakat.
Gus Ghazi tampak mengetik beberapa point penting. Meski tengah fokus ke layar, aku tetap tak berani menatapnya.
Tak lama kemudian ia menutup laptopnya."Sesuai janji saya, tidak akan lama"
Tuturnya tersenyum. Aku mencoba membalasnya dengan setitik tarikan dikedua sudut bibirku. Rasanya sangat canggung."Apa masih ada yang bisa dibantu Gus?" Pertanyaan ini terlontar begitu saja.
Haiss untung saja aku tak mengatakan 'Apa aku boleh pergi sekarang?'
Rasanya detak jantungku tak akan baik-baik saja jika terus disini. Aku takut berkata atau bersikap yang tak sesuai dihadapan putra kyaiku ini.
"Oh ya, Qai bawa dulu saja laptop saya sampai esok pagi. Saya berharap kamu akan sukarela menambah informasi disini"
Gus Ghazi menyodorkan benda elektronik pipih itu."Em..gus tidak khawatir file-file disini terbuka oleh saya?" Tanyaku ragu.
Pria didepanku ini malah terkekeh."Tak ada yang intens disini. Hampir semuanya murni tentang catatan ilmiah kampus dan pesantren. Lagipula saya percaya padamu" Tuturnya tenang.
Aku manggut-manggut saja. Apa boleh buat. Mungkin saja sampai esok pagi ia tak ada target menggarap tugas apapun. Sedang kajian ini cukup penting. Maka dari itu ia merelakan laptopnya kubawa dengan mudah.
"InsyaAllah saya bubuhkan beberapa poin penting lagi Gus. Kalau begitu bisa saya pamit sekarang?"
"Oh, tentu saja. Silahkan"
Gus Ghazi turut berdiri ketika aku bangkit.Oh, jadi seperti ini akhlak putra-putra Romo Hamza. Meletakan rasa hormat pada siapapun meskipun itu bukan orang yang memiliki ilmu diatasnya.
Aku baru hampir saja mencapai pintu.
"Qairina"
Suara itu kembali terdengar. Membuatku mematung sejenak sebelum membalikan badan."Inggih gus?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ENDLESS LOVE [Terbit]
Romance"Yang penting Qairina sekarang fokus ngaji, kuliah dan tingkatkan value diri" "InsyaAllah Gus, biar solikhah ya" "Biar jadi istri saya" Qai terbelalak. Keningnya mengerut. "Tapikan..niat saya belajar bukan untuk itu Gus" protesnya. "Tapi saya su...