Tumbuh dari Luka

37 18 2
                                    

     Bulan demi bulan berlalu. Puing-puing kenangan di Yogyakarta terlalu membekas dalam. Tanpa sadar hatiku telah menetap di kota gudeg itu. Aku sempat pulang ke Aceh bersama bang Faiz. Namun yang kurasakan disana justru rasa kesepian yang teramat membebaniku.

Aku di Aceh hanya seminggu. Hanya mengurus surah-surah penting rumah, kendaraan, tanah, usaha ayah dan sebagainya. Jika boleh memilih, warisan sebanyak ini ingin ku tukar kembali dengan kehadiran keluargaku. Oh mustahil, itu mimpi buruk yang disengaja. Bangkitlah Qai..

Setelah perdebatan cukup panjang dengan keluarga ayah yang memintaku menetap di Aceh, aku tetap memilih tinggal bersama bukdhe di Jawa saja. Guruku ada disana. Mereka juga orangtuaku. Juga teman-temanku. Ya, mereka semua disana. Hidupku yang sebenarnya.

Aku pernah sangat takut kehilangan orang tuaku saat tsunami besar Aceh 2004 lalu melanda. Aku hampir terpisah dengan mereka di posko ungsi. Semenjak itu, aku berjanji akan menjaga dan membahagiakan mereka semampuku. Mungkin waktu itu aku lupa bahwa siapapun bisa saja kecolongan. Ya, tak ada yang tau pasal maut. Ah sudahlah Qai, ketiga permatamu sudah bahagia disana.

Hingga detik ini aku masih mengabdi di pesantren milik romo Hamza. Aku memutuskan mengambil magister di kampus yang sama. Semenjak aku yatim piatu, romo dan umma memperlakukanku bak putri beliau sendiri. Selain karena aku keponakan rekan dekat beliau.

Nizar, aku dengar ia kini menjadi guru khat cukup terkenal di kota lahirnya, Sleman. Hubunganya dengan keluarga bukdhe juga terus erat. Maklum beliau tidak memiliki putra. Semuanya perempuan. Beruntung bocah yang mereka ayomi dari kecil kini tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan berbakat. Pemuda yang sempat mencuri hatiku. Itu dulu.

Sekarang? Jika ditanya sekarang, entahlah. Aku tak menemukan lagi bekasnya. Aku sembuh dengan waktu. Bukan karena kehadiran orang baru.

Rania telah bertunangan dengan pemuda pilihan orang tuanya, tak lama setelah wisuda. Arwa, dia kembali ke Bandung dan meneruskan usaha perkebunan teh milik orang tuanya sembari mengajar disana. Aku sangat kehilangan temanku yang cerdas nan hangat itu. Beruntung Disya masih disini bersamaku.

Dzah Rima dijodohkan dengan mas Den, sopir pribadi sekaligus santri putra kesayangan romo. Akad nikah juga dilangsungkan di masjid pesantren. Dan tak lama setelah itu mereka boyong ke Jepara. Atas hitungan voting santriwati, kini aku yang dipercaya menggantikan dzah Rima. Sebuah amanah baru yang tak gampang.

Waktu berlalu begitu cepat. Mendewasakanku tanpa tapi. Aku telah meneguhkan hati untuk hidup mandiri diatas kaki sendiri. Selain sibuk mengemban urusan asrama putri, kuliah, dan ndalem, kini aku mulai menekuni dunia tulis menulis.

Kebanyakan karyaku adalah cerita fiksi bergenre islamic. Tokoh, alur serta konflik yang dimunculkan kubuat semenarik mungkin untuk semua kalangan terutama remaja. Terkadang cerita dibungkus dengan bumbu perbucinan, persahabatan, keluarga, cita-cita, nilai moral dan sebagainya, dengan tetap menyelipkan nilai-nilai dakwah yang terkandung didalamnya.

Semakin hari nama penaku semakin dikenal di dunia kepenulisan. Banyak dari pembaca yang tertarik untuk mengetahui skil menulisku lebih dalam. Akhirnya aku membuka kelas menulis online yang tiap harinya makin banyak peminat. Kesempatan itu sekaligus ku gunakan sebagai ajang promosi kampus dan pesantren. Alhasil, cukup banyak yang masuk ke kedua lembaga ini lewat perantaraku. Romo dan umma sangat mengapresiasi hal itu.

Baru-baru ini, akupun bekerja sama dengan kedai kopi milik bang Faiz yang kini sudah membuka banyak cabang, bahkan bukan hanya di Yogyakarta. Kedai kopi memang identik dengan buku bacaan. Dan konsep itu tengah ia terapkan dibisnisnya, dengan salah satunya adalah menyuplai karya-karyaku kedalamnya. Luar biasa sambutan yang konsumen terima.

Next weekend, aku akan kembali menggelar peluncuran buku terbaruku. Lounching novel best seller kali ini mendapat aplouse tinggi dari para sastrawan di Yogyakarta. Bahkan mereka mengajukan sebuah tawaran khusus untuk di filmkan.

Aku begitu santai menikmati hari-hari penuh kelelahan ini, dengan support system sederhana yang bersumber dari Tuhan dan diri sendiri. Kalau backingnya Allah, semua lelah akan jadi lillah. InsyaAllah.

Pasal hati? Hhh. Itu jangan ditanya. Anak gadis tak pernah luput dari setiap mata. Tinggal bagaimana kita memposisikanya. Prinsipku, jika memang belum serius, jangan mendekat. Kalaupun memang serius, aku juga belum ingin terlalu dekat. Aku lebih suka menuai berjarak dalam tahap pementasan diri. Jadilah baik, agar kelak tak dipertemukan dengan orang yang hanya berpura-pura baik.

Satu yang berkesan? Entahlah. Kurasa memang ada. Pria jahil dan menyebalkan namun selalu membuatku rindu. Dia tak pernah berubah sejak pertama bertemu dulu. Dan kami masih rutin berkomunikasi sampai saat ini.

Perbincangan di bandara beberapa tahun lalu tak pernah sekalipun masuk dalam topik pembahasan kami. Itu artinya aku perlu melupakanya. Itu hanya gurauan, aku tak seharusnya terbawa perasaan. Ya, aku selalu mengecamkan itu dalam otaku.

Buku sampul cokelat pemberianya masih setia menjadi lahan penampung keluh kesahku hingga saat ini. Hanya saja yang kutuangkan kedalam lembaran-lembaran itu adalah sebentuk puisi. Bukan curhatan mentah dengan bahasa yang fulgar.

Tasbih kaoka asli mesir yang ia hadiahkan juga masih menjadi benda terdekatku saat bermunajat pada Tuhan. Aku memanfaatkanya sebaik-baiknya. Sesuai janjiku padanya.

Juga jilbab hitam itu, aku seringkali memakainya dalam banyak kegiatan. Entah sejak kapan aku mulai menjauhi warna-warna mencolok untuk outfitku.

Aku mencintai diriku sendiri.
Love my self, love my God.

Dari luka aku tumbuh.
Dari tangis aku kuat.
Dari kegagalan aku belajar.
Dari kesendirian aku mempelajari hukum kehidupan.

Aku akan terus bertumbuh hingga sembuh.

°•🖤•°
_________________________________________

'Love your self'
_Qai

Belum end loh ya:)

#Author
9 Nov 2023
_________________________________________

ENDLESS LOVE  [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang