Cerita di Taman Kota

38 16 8
                                    

     Malam penuh gemintang. Dewi malam tersenyum benderang. Rasa damai menelusup dalam kalbu kala sunyi dan kebeningan hati beradu. Dimana dibawah restu alam, ayat-ayat agung Tuhan bersemayam dengan sukarela dalam dada.

Sesekali aku merenung. Sesekali air mata mengubang. Dan sesekali tersenyum. Al-qur'an penuh dengan bahasa hati yang menghidupkan nurani. Kisah-kisah disana murni dan abadi.

Dulu, aku dan bang Qaisar sering menatap bulan bersama. Lalu bercerita tentang mimpi masing-masing. Kata-kata darinya selalu mampu membuat ambisi baiku kembali tumbuh. Dan sekarang, aku yang harus menjaganya sendiri agar tetap kokoh.

'Ayah dan bunda sedang apa?
Abang sedang apa?
Gus Ghazi sedang apa?'

Aku menutup mushafku. Memilih untuk mendekapnya didada. Ah.. mengapa aku teringat pria itu..

Perbincangan di bandara kemarin tidak lucu gus. Kamu hanya mengatakannya di depanku. Menolak untuk dihadapan orang tuamu dan pakdheku. Apa kamu harus tetap bercanda seperti ini dan membuatku bertanya-tanya selama empat tahun? Keterlaluan.

Lagi pula gus, kamu memutuskan begitu saja tanpa bertanya apakah hatiku berpenghuni atau tidak. Kamu tak pernah tau, ada nama laki-laki lain yang  telah lama kuberikan tempat khusus disini.

Al-Manani.

°•🖤•°

"Qai ada titipan nih"

"Dari siapa?"

"Biasa lah"

"Hhh makasih ya wa"

Arwa tersenyum menepuk bahuku. Lalu kembali menghampiri lemarinya.

"Aduuuh pantesan moodnya bagus terus. Orang tiap hari dikirim memo dari si penyemangat ya wa" Celetuk Disya menyindir.

Aku hanya terkekeh. Kubuka kertas kecil ditanganku.

Assalamu'alaiki,
Malam Alzena Qairina,
Besok pagi sudah tiba kompetisi nasionalku. Saat kamu baca ini, berarti aku sudah turun dari kereta. Do'a kan aku ya, tunggu aku pulang. Kita bercerita di kedai kopi.

Aku tersenyum. Do'a? Kenapa dia harus memintanya? Sayang sekali zar, kamu meminta sesuatu yang sudah lama kuberi diam-diam. Aku selalu mendukung bakat dan karirmu, sebagaimana aku melakukanya pada bang Qaisar dulu.

Aku bahkan tak bisa menamai kedekatan kita dengan apa selama ini. Yang jelas kehadiran kita satu sama lain membawa hal positif bagi keseharianku. Ingin selalu berbenah untuk menjadi lebih baik dan memantaskan diri.

Meski dikampus sangat jarang berpapasan, namun surat kecil selalu datang setiap hari. Kita malah jarang berbalas pesan. Sejak kejadian hoax kita setahun lalu, kita tak pernah lagi duduk berdua di kedai kopi. Selalu dengan kawan-kawan. Zar, kamu menciptakan kesanmu sendiri.

°•🖤•°

     Siang ini sangat terik. Aku berjalan sedikit berlari agar cepat sampai pesantren. Lalu lalang kendaraan yang saling klakson tentunya sudah menjadi musik penyulut emosi paling utama setiap aku pulang kuliah.

Aku memutuskan untuk mampir supermarket membeli sebotol minuman dingin. Hawa panas menempa wajah ketika aku baru saja keluar dari gedung ber-AC itu. Aku mencari bangku panjang di pinggiran taman kota. Tak jauh dari sini.

ENDLESS LOVE  [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang