Srakk...
Bunyi suara gorden terbuka perlahan tak kunjung membuat wanita di atas ranjang terusik. Perlahan, sinar mentari masuk begitu perempuan di depan jendela memberi ruang bagi mereka untuk menyerbu masuk kedalam ruangan tanpa setitik pencahayaan. Ruangan gelap gulita berubah bermandikan cahaya mentari berkat perempuan itu.
"Nona, saatnya anda bangun. "
Selesai dengan gorden, gadis dengan seragam pelayan berjalan mendekat, menggoyangkan perlahan tubuh wanita yang masih asik bergelung di dalam selimut.
Merenggangkan diri, wanita itu membuka perlahan kelopak matanya. Iris cokelat madu itu menangkap bayangan samar perempuan didepannya. Tersenyum lembut menyambut paginya, sejenak menghilangkan gundah gelisah dalam hati wanita itu.
"Lucy, pagi! " Senyum terbit hingga mata perempuan itu menyipit. Aphrodite ikut membalas senyum lebar.
Melihat Sylvia perlahan beranjak bangun dari posisi malasnya menjadi duduk, ia membantu membawa sebaskom air hangat untuk wanita itu mencuci muka.
"Cuci muka dulu, Nona. "
Sylvia menerima dengan baik saat dengan penuh hati-hati Aphrodite membasuh wajahnya dengan handuk kecil.
Senyum kecil lagi-lagi tersinggung di bibir merah Aphrodite. Sylvia, tak lagi murung seperti hari kemarin. Saat dimana Khairos harus menanggung luka akibat pukulan Max.
Pertama kali Aphrodite melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Sylvia menangis lirih dengan punggung bergetar diatas ranjang. Menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal, mencengkram erat selimut hingga buku-buku jarinya memutih.
Saat Aphrodite berusaha menyadarkan wanita itu atas keberadaannya, yang terlihat dalam mata Aphrodite hanya tatapan hampa, dengan penyesalan mendalam terlukis erat di netra coklat madu miliknya.
Hati Aphrodite serasa di remas kuat melihat bagaimana penampilan paling lemah Sylvia. Sebelumnya, meski terlihat murung, Sylvia tak pernah menampilkan keadaan terburuknya pada Aphrodite. Hanya hari itu, dimana Aphrodite mengerti mengapa Khairos mengatakan jika Sylvia telah banyak mendera luka.
Kini, Aphrodite hanya menginginkan Sylvia tetap berada dalam lingkungan ceria dengannya. Tak lagi dirundung perasaan bersalah atas apa yang tidak diperbuatnya.
Maka, memperlakukan Sylvia lebih istimewa lagi adalah hal yang harus di lakukan Aphrodite sebagai pelayan pribadinya.
Menuntun wanita itu turun dari ranjang, mengenakan selendang biru untuk menutupi garis tubuhnya yang terbayang dari piyama tidur miliknya.
Membimbing wanita itu untuk bergegas ke kamar mandi. Jemari tangannya dengan lembut mulai melepas satu persatu helai pakaian yang dikenakan Sylvia.
Kulit tubuh putih perempuan itu terlihat. Tatapan Aphrodite kembali terpaku saat matanya menemukan memar merah keunguan di beberapa titik tubuh Sylvia.
Dibanding satu atau dua, yang masih bisa diterima oleh matanya, puluhan bekas kissmark yang tersebar di tubuh Sylvia membuat Aphrodite melemas.
Tak terbayang semenyakitkan apa Sylvia saat Max menaruh tandanya. Aphrodite hanya dapat mendesah lirih, ikut berbelasungkawa atas kejadian yang menimpa Sylvia.
"Ada apa, Lucy? "
Memgerjap pelan, Aphrodite kembali tersadar dari lamunan singkatnya. Ia melihat kearah Sylvia yang menoleh kebelakang hanya untuk berbicara dengannya. Ia keluarkan senyum manis untuk menyambut kerutan di tengah alis Sylvia.
"Tidak ada. Oh iya, apa yang ingin anda lakukan hari ini, Nona? "
Setelah hari itu, Aphrodite menguatkan tekad untuk lebih aktif berbincang dengan Sylvia. Memberikan sedikit ruang untuk Sylvia bernapas di rumah ini. Memberikan dunia baru di dalam dunia ciptaan Max.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Be A Maid
General FictionR-19+ Terbangun tanpa ingatan bukanlah apa yang diinginkan oleh Aphrodite. Namun, itulah yang ia alami kala terbangun di usia menginjak 9 tahun dalam rumah sederhana dengan keadaan tubuh remuk redam. Tumbuh besar di panti asuhan bersama anak-anak s...