Ctass!!
Ctass!!
"Eugh.... " erangan tertahan lolos dari bibir merah yang kini terluka. Kain menutup mulut, mencegah suara keras keluar kala benda bersulur panjang mengenai punggung tubuhnya yang terbuka.
Kedua tangannya terikat di masing-masing tiang sisi tubuhnya. Memaksa sang korban memejamkan erat kedua mata, menahan air merembes keluar dari dua sisi matanya. Sedang dua telapak tangan mencengkeram erat tali, mengabaikan goresan yang terjadi akibat tindakannya.
Pria di belakang tubuh gadis itu menatap nyalang, senyum miring tersungging di bibirnya. Ada rasa membuncah puas melihat bagaimana punggung mulus itu berubah menjadi sebuah mahakarya akibat tindakannya.
Bercak merah meradang terlihat dari kulit punggung putih mulus itu, dengan cepat memerah. Terhitung telah lima belas kali ia melayangkan benda di tangannya kearah punggung kecil nan rapuh milik perempuan itu.
Satu cambuk terlepas, tanpa sadar ada rasa candu yang mendera dirinya. Merangsang jantung untuk berdetak penuh semangat. Panas membakar hati siang tadi sirna begitu saja. Apalagi jika ia bisa melakukan hal ini tiap hari.
Menjilat bibir sensual, ia menginginkannya lagi.
"Ini peringatan kecil dariku, Lucy. "
Ia telah mengingat nama perempuan itu. Pemilik punggung penuh luka di depannya. Dengan baju yang telah ia rancang khusus untuk melakukan hal ini. Pemikiran tiba-tiba sebelum ia memilih hukuman apa untuk pelayan lancang sepertinya.
Berkedip pelan, Aphrodite menemukan pandangannya memburam. Dua kedipan mata ia lakukan perlahan, sebelum pandangan matanya kembali jernih meski terhalang air menggenang di pelupuk mata.
Tatapan mata masih seteguh awal. Tak gentar sedikitpun oleh perkataan Max, seseorang yang telah membuatnya menanggung rasa sakit ini.
Bukankah ia telah berjanji akan menjaga senyum indah Sylvia? Lalu, jika ia menyerah sampai di titik ini, apa bedanya ia dengan pelayan pribadi Sylvia sebelumnya?
Membangun kepercayaan untuk kembali menghempas harapan Sylvia? Aphrodite tidak sejahat itu. Perempuan itu merasa bertanggung jawab atas tiap rasa yang dimiliki Sylvia. Meski sejujurnya, ia tak mengerti mengapa harus melakukannya.
Bukankah sebelumnya ia begitu abai pada setiap aktivitas manusia disekitarnya? Bukankah sebelumnya ia hanya fokus pada pendidikan, uang, dan anak-anak panti? Sejak kapan Sylvia berada diantara daftar orang-orang yang ia pedulikan hatinya? Sejak kapan?
Lamunannya terhenti saat tangan besar Max mengelus garis lurus lukanya. Menahan dengan jari besar itu sebelum menekan penuh perhatian pada luka di punggung Aphrodite.
Ringisan sakit terdengar samar saat Aphrodite merasakan perih pada punggungnya, bersentuhan dengan sarung tangan lateks yang Max gunakan.
Mengalir, menelusuri tiap garis melintang di punggung perempuan itu beberapa saat dengan bersenandung ringan, Max akhirnya berhenti.
Ia menyudahi acara mengagumi karya indahnya di punggung Aphrodite. Pria itu kemudian membuka secara kasar ikatan kain yang menyumpal mulut Aphrodite, membuangnya secara asal.
"Pikirkan kembali. Kemarin akan menjadi hari terakhirmu bertemu Sylvia. "
Bola mata Aphrodite membulat sempurna. Dibalik bingkai kacamata, mata itu memandang penuh belas kasih pada Max.
"Tuan! Saya mohon, tolong biarkan saya melayani Nona! "
Max terdiam di tempat, menatap angkuh wajah memelas Aphrodite. Mata itu bersinar penuh ketakutan, lebih takut dari saat ia melepaskan pecut ke belakang tubuhnya. Dan Max merasa tergelitik oleh perasaan asing yang menelusup pelan hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Be A Maid
General FictionR-19+ Terbangun tanpa ingatan bukanlah apa yang diinginkan oleh Aphrodite. Namun, itulah yang ia alami kala terbangun di usia menginjak 9 tahun dalam rumah sederhana dengan keadaan tubuh remuk redam. Tumbuh besar di panti asuhan bersama anak-anak s...