Ruangan yang terbiasa gelap kini terlihat memiliki sinar dari lampu di balkon. Pun, jendela dengan tralis besi dibuka lebar oleh sang pemilik kamar, membiarkan udara malam masuk memenuhi ruangan.
Di bangku depan jendela, wanita itu terduduk diam, pandangan matanya jauh menatap kosong pada area terbuka di balik jendela. Piyama tipis membungkus tubuh ramping wanita itu, tak terusik sedikitpun oleh hawa dingin dari angin malam ataupun pendingin ruangan yang diatur dengan temperatur rendah.
Wajah cantik itu tak berekspresi, sedang di pangkuannya terdapat buku merah maroon.
Terlalu asik dengan dunianya, kehadiran seseorang di ruangan ini tak juga mengusik ketenangan sang puan.
Langkah kaki menggema dengan iringan cepat, seolah tak sabar untuk mendekap erat tubuh rapuh wanita di bangku. Senyum lebar terukir indah di wajah tampan nan menawan miliknya.
Segera, tubuh besar itu membungkus tubuh mungil wanita itu. Tangannya merayap sekitar pinggang, memeluknya dari belakang. Sedangkan kepala pria itu melesak masuk di celah leher si wanita, menelusup guna menghirup lebih dalam aroma pekat yang dihasilkan kulitnya.
“I always miss you, Honey” bisik rendah pria itu tepat ditelinga, menghadirkan gelenyar aneh bagi pemilik tubuh.
“How do you drive me crazy, hm?”
Tak menyahut, wanita itu masih betah berada di putaran dunianya. Tenggelam dalam pikiran-pikiran rumit di otaknya, mengabaikan kehadiran si pria.
“Apa kau marah padaku, Sylvia? ” Max berujar lemah, menatap sayu wajah cantik Sylvia.
Sylvia enggan menoleh, terlalu marah atas apa yang didengarnya beberapa saat lalu. Kebenaran yang sekiranya mampu mengguncang mental wanita itu.
“Sayang, katakan padaku. Apa aku memiliki hal yang salah di matamu? ”
Bahkan saat Max menampilkan mata anjingnya pada Sylvia, berharap penuh wanita itu akan memaafkan dirinya, Sylvia masih tak acuh. Bibirnya terkunci rapat seiring dengan Max mulai kehilangan kesabaran.
Tangan kekar di pinggang Sylvia mengerat, mencengkram dengan penuh perasaan terpendam. Matanya menyorot tajam wanita itu, tak lagi menampilkan tatapan menjijikan yang ia keluarkan tadi.
“Shhh... ”
Max menyeringai saat bibir bungkam Sylvia terbuka, menyerukan desis akibat cengkeraman tangannya di pinggang ramping perempuan itu. Max semakin gencar membuat wanita itu membuka mulutnya.
“Katakan Sylvia, aku akan mendengarkan, ” bujuk Max memberi perhatian.
Mata Sylvia berkaca-kaca, tak mampu menahan sakit di pinggangnya. Sedangkan Max semakin bahagia. Sylvia tak pernah menampilkan raut memohon padanya, lantaran wanita itu memiliki ego tinggi untuk di jaga. Dan Max tidak suka dengan bagaimana Sylvia memandangnya.
Melihat Sylvia menangis bukan hal baru untuk Max, namun melihat Sylvia tunduk adalah hal yang sama sekali tidak pernah Max lihat. Sylvia tak memiliki hak menolak, namun dari ekspresi yang ditampilkan wanita itu Max paham betul jika Sylvia sama sekali tidak menyukai kehadirannya.
Egonya terluka oleh pengabaian berulang yang dilakukan Sylvia, hingga Max ingin melihat bagaimana Sylvia memohon dengan begitu putus asa dibawah kakinya. Mungkin, Max akan segera mendapatkan apa yang diinginkannya.
Jemari panjang Max meraih wajah Sylvia, menariknya untuk melihat kearah belakang, dimana Max tengah menanti bagaimana raut wanita itu sekarang.
Lelehan air mata belum mengisi pipi tirus wanita itu, namun dari binar redup mata dengan air menggenang sudah mampu mengungkapkan bagaimana pedih hati wanita itu sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Be A Maid
General FictionR-19+ Terbangun tanpa ingatan bukanlah apa yang diinginkan oleh Aphrodite. Namun, itulah yang ia alami kala terbangun di usia menginjak 9 tahun dalam rumah sederhana dengan keadaan tubuh remuk redam. Tumbuh besar di panti asuhan bersama anak-anak s...