Part 14 | For Sylvia

1.5K 127 14
                                    

Tamara menatap halaman belakang dari jendela dapur dengan kening mengerut dalam. Jingga menyapa beberapa saat lalu, menghadirkan rembulan muncul untuk menggantikan matahari. Namun, Aphrodite tak kunjung terlihat atensinya seharian ini.

Hati kecil Tamara tak bisa untuk tenang. Kegelisahan telah ia rasakan sejak gadis 18 tahun itu bercerita mengenai kegiatannya kemarin dengan sang Nona.

Melirik kearah samping, perempuan dengan rambut digulung rendah tengah sibuk mencuci piring, tak terusik oleh kegelisahan Tamara.

Mengambil napas dalam, Tamara memilih bertanya, barangkali perempuan itu tahu.

"Miryam, apa kau melihat Lucy? " tanya Tamara berusaha tenang.

Miryam berhenti sejenak dari kegiatannya, tak menyangka jika Tamara akan bertanya perihal si bungsu padanya.

Aphrodite, telah menjadi bungsu bagi pelayan kediaman. Selain karena usianya yang jauh dari mereka, pun kedatangannya paling belakang diantara mereka.

Tak heran banyak pelayan kadang memanggil Aphrodite sebagai si bungsu alih-alih nama panggilan gadis itu.

"Aku belum melihatnya. Bukankah kau yang biasanya paling update mengenai keberadaan si bungsu? " Miryam kembali melanjutkan kegiatannya begitu selesai menyelesaikan kata.

Sedangkan Tamara mendesah lesu mendengarnya. Entah pada siapa ia akan bertanya mengenai keberadaan Aphrodite yang sampai kini tak terdengar. Bahkan Miryam, yang bertugas mengantar camilan keruangan Max tak mengetahui keberadaan Aphrodite.

"Memang ada apa? Mungkin ia berada di ruangan Nona. Bukankah biasanya begitu? " Miryam menatap Tamara, wajahnya menunjukkan keanehan atas pertanyaan dan sikap Tamara.

Menggeleng pelan, Tamara tak lantas menjawab. Mengeringkan tangan menggunakan lap, ia membalik diri sebelum menyandar di dekat wastafel.

"Sejak pagi, aku tak melihatnya. Saat aku mengetuk pintu kamarnya pun tak ada suara terdengar. Padahal biasanya ia langsung keluar begitu aku mengetuk pintu. Pun dengan keberadaannya dikamar Nona, " menjeda kalimatnya, Tamara menatap lesu sepatu pantofel hitam miliknya.

"...Lucy tak ada dikamar Nona. Aku yang menggantikannya mengantar sarapan juga membangunkan Nona, pagi tadi. "

Miryam tak mampu berkata apapun. Keberadaan Lucy persis sama dengan pelayan Sylvia sebelumnya. Menepis pemikiran buruk yang kini bersemayam di pikirannya, Miryam menepuk pelan pundak Tamara.

"Jangan khawatir, Lucy baik-baik saja. Mungkin Tuan Muda memiliki tugas terpisah untuknya hingga kau diharuskan mengisi posisinya sementara waktu. "

Sedikit banyak ucapan Miryam mampu mengobati kegelisahan Tamara. Kini, senyum tipis tersungging di bibir perempuan itu. Mencoba kembali berpikir positif meski hatinya tak kunjung reda dari kekhawatiran.

"Aku berharap begitu. Hah~ aku tak bisa membayangkan jika ia akan bernasib sama dengan yang lain. "

Miryam menatap lamat wajah frustasi Tamara. Ia tahu, perempuan itu sudah jatuh dalam pesona indah milik si gadis mata biru. Ia pun tak menampik jika ia menyayangi perempuan itu. Apalagi pembawaan sikapnya pada seseorang.

Tidak seperti anak perempuan seusianya, Aphrodite telah membuat karakternya kuat hingga mampu membuat orang betah berada di dekatnya tanpa ia melakukan apapun.

Ia seperti sebuah berkah. Keberadaannya menjadi sangat menonjol diantara yang lain. Sejak awal, Miryam sudah yakin jika Aphrodite berbeda dengan mereka. Meskipun kini perempuan itu memakai seragam sama dengan mereka, Miryam meyakini jika ia berbeda.

Dan untuk menjadi berbeda, ada harga yang harus dibayar atasnya. Entah apa yang akan menimpa Aphrodite nantinya, Miryam hanya berharap jika gadis itu mampu menghadapi, atau ia akan hancur tanpa sisa.

How To Be A MaidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang