Berjalan ringan menuju kamar, Aphrodite mempertahankan wajah penuh senyumnya. Menyapa beberapa pekerja--sama dengannya, membalas pertanyaan mereka mengenai ketidak hadirannya selama beberapa waktu ini.
Di luar, mereka melihat Aphrodite sebagai manusia tanpa beban, yang berjalan riang meski tugas dipundaknya cukup berat untuk ditanggung sendirian.
Mendengar jabatan sebagai pelayan pribadi Sylvia saja sudah membuat mereka menahan napas. Tanggung jawab dan risikonya sama besar dengan menjadi pelayan Max secara pribadi.
Tak terhitung berapa banyak pelayan wanita menghilang begitu saja setelah sebulan-dua bulan bekerja di bawah pengawasan langsung Sylvia.
Maka, dalam diam mereka cukup mengacungkan jempol, bentuk apresiasi atas mental Aphrodite yang jauh diatas mereka.
Sedangkan Aphrodite sendiri tengah menahan luka ditubuhnya. Tidak hanya luka fisik akibat hukuman yang diberikan Max padanya, ada sebuah trauma muncul setelahnya. Aphrodite harus menghadapi keduanya dalam diam, tanpa seorang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
Terus menebar senyum menjadi salah satu cara untuk membuat Aphrodite percaya, jika ia bisa. Selain untuk membuat mereka yakin, ini juga mampu membuatnya terus semangat.
Saat sampai di bilik kamarnya, pegangan tangan Aphrodite pada pintu melemah, tubuhnya luruh di atas lantai dengan rintihan keluar dari bibirnya.
Sungguh, luka yang kemarin sudah mulai mengering, kembali terbuka akibat pelukan erat Sylvia, berikut usapan tangan Sylvia di punggungnya.
Tubuh Aphrodite meringkuk dilantai, tak tahan akan rasa sakit berikut nyeri yang datang terus berulang. Rasa sakit akibat luka meradang, tak kunjung dapat sembuh dengan cepat.
Jika saja, Max tak memberikan luka terus menerus di punggungnya, hanya sekali luka cambuk dan membiarkan ia merawat luka di akhir masa pemulihan, maka Aphrodite tidak akan semenderita ini. Namun, Max kembali datang, memberi luka baru diatas luka yang bahkan belum mengering.
"Tenang, kamu bisa, Aphrodite. Papa berkata jika kamu bisa. " Bagai mantra, ucapan yang terus berulang dalam pikirannya membuat Aphrodite mampu berdiri, menahan beban tubuh disaat energinya telah terkuras habis.
Tring.... Tring...
Dering telepon terdengar dari balik laci penyimpanan, tempat Aphrodite menaruh handphonenya selama ia bekerja.
Kembali menguatkan tubuh, ia bergerak perlahan mendekati laci, mendudukkan tubuh di atas kasur sebelum membuka laci dan mengambil ponselnya.
Tertera nama 'Bunda' dilayar ponsel. Senyum mengembang tanpa sadar di bibir pucat gadis itu.
"Halo, Bunda? " suara sejernih air ia keluarkan, tak membiarkan wanita yang merawatnya mengetahui keadaan sebenarnya saat ini.
"Kamu kemana saja, sayang? Bunda khawatir karena kamu tidak kunjung memberi kabar setelah beberapa hari hilang kontak. Bahkan ponselmu tak dapat dihubungi. "
"Aku mendapat tugas terpisah dari bos ku. Tugas ini cukup menguras banyak waktuku, hingga sulit untuk menghubungi Bunda. Maaf sudah membuatmu khawatir, Bunda. "
Terdengar suara hela napas panjang dari balik telepon. "Tak apa. Mendapati kabar kau baik-baik saja sudah cukup untukku. Lain kali, cobalah mencuri waktu sejenak untuk menghubungi ku. Aku merasa akan gila jika kamu tak kunjung memberi kabar. Kau tahu betapa aku menyayangimu, kan? "
Lekuk bibir Aphrodite mengembang sempurna. Ia paling tahu mengenai hal itu. Tak sedikit anak panti cemburu dengan kasih sayang Bunda panti untuknya. Dan ia akan menjadi pemberi pengertian untuk mereka, hingga akhirnya mereka mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Be A Maid
General FictionR-19+ Terbangun tanpa ingatan bukanlah apa yang diinginkan oleh Aphrodite. Namun, itulah yang ia alami kala terbangun di usia menginjak 9 tahun dalam rumah sederhana dengan keadaan tubuh remuk redam. Tumbuh besar di panti asuhan bersama anak-anak s...