Part 8 | Second Choice

1.8K 129 3
                                    

Mematut wajah di cermin, Aphrodite begitu terpesona dengan kecantikan rambut milik Sylvia. Betapa harum dan halusnya rambut itu digenggaman, menarik jauh kekaguman miliknya.

Saat sisir mengalir melewati tiap helai rambut dari pangkalnya, Aphrodite tak henti berdecak kagum dalam hati. Binar cerah dalam manik biru dibalik kacamata tak dapat tertutupi. Pun dengan jemari yang senantiasa mengelus lembut penuh hati-hati tiap jengkal rambut yang mengalir lembut di tangannya.

Sedang Sylvia menutup mata, menikmati pagi cerah ini. Hari ketiga Aphrodite di rumah ini, melayaninya setulus jiwa. Tak ada bentak, tak ada raut takut, dan tak ada batas berlebih antar mereka. Sylvia selalu mengharapkan hari damai seperti ini, hingga bibirnya tak henti melengkungkan senyum sedari tadi.

Tatapan binar dari manik biru jernih milik Aphrodite membuat Sylvia bangga. Rasa senang membuncah dalam hati, meski tak jarang setitik rasa asing menyelinap masuk tanpa mampu dicegah. Sylvia menahan, mencoba untuk membuka kembali lembaran baru, seperti hari-hari lalu dengan harapan sama.

"Rambut anda sungguh menakjubkan, Nona. " Aphrodite mengungkapkan kekaguman seraya jemarinya mengelus lembut rambut itu. Sylvia tersenyum indah, sebelum merengut kemudian. "Bukankah aku sudah memberitahumu untuk memanggil namaku? " protesnya kesal.

Kemarin, Sylvia dengan tegas meminta Aphrodite agar membuat dirinya nyaman, salah satunya dengan membiarkan Aphrodite memanggilnya dengan nama. Satu yang paling ia harapkan dari Aphrodite. Gadis itu mau memanggilnya dengan nama tengah miliknya. Camellia, ia sangat berharap Aphrodite mau, namun yang didapat malah lain.

"Maaf Nona, saya tidak bisa. " Jawaban yang sudah diterima Sylvia sejak kemarin. Aphrodite enggan. Melewati batas lebih dari ini sama dengan mati. Gadis itu tidak ingin menjerumuskan diri lebih jauh lagi. Meski Sylvia menatap melas dirinya.

Dengan mengurai sedikit tembok penghalang keduanya, Aphrodite kira itu sudah lebih dari cukup. Jika Sylvia masih menginginkan lebih, maafkan Aphrodite jika menolak. Aphrodite tak lagi mampu, terlampau takut akan konsekuensi yang akan diterimanya dari Max.

"Kenapa? Kau takut dengan Max? " sentak Sylvia kesal. Perlahan, senyum konyol disampaikan Aphrodite untuk membalas ucapan Sylvia, berharap kesal itu terurai begitu melihat ekspresinya.

"Tentu saja. Memangnya, anda tidak? " Aphrodite bertanya geli, jawabannya sudah tentu ia tahu. Namun meledeknya akan mampu membuat kekesalan Sylvia mereda, sekiranya itulah yang Aphrodite coba lakukan untuk membuat Sylvia lupa akan keinginannya.

Wajah Sylvia merengut, jelas sekali jika ia tengah mengalami penurunan intensitas kesukaan. Keruh wajah itu menjelaskan secara lengkap jawabannya. "Kau pikir aku berani? " gumamnya lesu.

Aphrodite terkekeh. Perlahan, ia mengelus surai emas milik Sylvia. "Menurutlah, Nona. Tuan Muda begitu menyayangi anda. Saya dapat melihatnya. "

Ya, bagi Aphrodite, tatapan Max sungguh tulus mencintai Sylvia. Tatapan dalam yang mampu menenggelamkan jiwa seseorang. Tatapan yang mampu membuat diri seseorang lupa akan pijakan, hanya mampu mengulur tangan, berupaya memegang tangan sang pengendali keadaan. Itulah gambaran jelas dari tatapan Max pada Sylvia yang mampu ditangkap Aphrodite.

"Dia menyebalkan, Lucy. Mana tahan aku dengan sifat arogannya?! " sentak frustasi Sylvia menatap wajah Aphrodite dari pantulan cermin meja rias. Seulas senyum terbentuk di bibir Aphrodite ditangkap baik oleh mata cokelat Sylvia.

"Mengapa Anda tidak mencoba untuk menerima? " Bukan membenarkan sifat arogan Max, nyatanya Aphrodite tak tahu apa saja yang dialami Sylvia selama wanita itu berada di sini. Namun terus memberontak juga bukan pilihan bagus.

Bahu Sylvia terkulai lemas mendengar ujar pertanyaan Aphrodite. Matanya menatap kosong refleksi dirinya. "Aku sudah pernah mencoba untuk menerima. Namun yang ku dapat malah sebaliknya. Aku sungguh membencinya. "

How To Be A MaidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang