“Aphrodite! ”
Sontak gadis yang tengah membereskan beberapa pakaian kedalam tas besar menoleh ke arah pintu kamar. Seorang anak laki-laki 9 tahun menatap dengan wajah memerah, matanya menampilkan kumpulan air terbendung.
Senyum gadis itu melebar, menciptakan ilusi cantik dari sosoknya yang hangat. Ia membalik tubuh, merentangkan tangan lebar menyambut kedatangan anak laki-laki itu.
“Kemarilah, Son. ”
Sontak, anak itu berlari kencang setelah berusaha untuk menahan luapan emosi dalam dirinya. Ia memeluk penuh sendu gadis itu. Menumpahkan gundah gulana dalam hatinya dengan sebuah peluk hangat dari sang pengirim rasa.
“Jangan pergi. ” Anak itu berujar lirih, suara teredam pelukan erat, namun tak membuat sang gadis mendadak tuli untuk mendengar bagaimana sedihnya perasaan anak lelaki itu.
Mengusap penuh sayang pada anak dalam pelukannya, gadis itu tetap diam. Ia hanya akan memberikan sedikit ruang untuk anak itu menumpahkan apa yang tengah ia rasakan, tak berniat menenangkan dengan satu dua janji yang ia sendiri tak yakin dapat menepatinya.
“Tolong jangan pergi... ”
Aphrodite tersenyum tipis mendengar bagaimana putus asanya lelaki ini. Namun, bagaimanapun putus asanya lelaki kecil ini, keputusannya tak dapat tergoyahkan. Ia telah memikirkan matang-matang semua ini. Bahkan sejak ia membuka matanya ditempat ini dan mendapat kehangatan didalam ruang terbatas miliknya.
Aphrodite tidak bisa menundanya, ia tak ingin lebih lama memupuk perasaan yang membuatnya susah untuk terlelap. Perasaan bergantung yang terus menggerayangi benaknya membuat gadis itu sadar, jika ia harus bergegas atau ia sama sekali tak memiliki kesempatan.
“Hei, Sony. ” Aphrodite memanggil ringan anak dipelukannya. Anak itu tak bergeming, masih asik tenggelam dalam pelukan hangatnya.
Terhitung sudah 10 anak yang mengunjunginya seperti ini sejak matahari belum terbit dini hari tadi. Kini, Matahari telah beranjak naik.
“Kakak harus pergi. Sony tak perlu bersedih, masih banyak anak lain yang mau bermain dengan Sony. Kamu tidak perlu bersedih seperti itu. ”
Sony mengencangkan pelukannya, hingga Aphrodite tersentak terkejut akibat tekanan di tubuhnya. Ia terkekeh kecil saat tahu anak itu tengah kesal dengan jawabannya.
“Sony ingin memiliki banyak mainan, kan? Kakak akan mengumpulkan banyak mainan untuk Sony. Jika Sony tidak mau melepaskan kakak, bagaimana kakak bisa membelikan mainan itu? ”
Tanpa menunggu hening menyapa mereka, Sony bergumam dalam pelukan Aphrodite, “Aku tidak butuh mainan lagi. Aku hanya ingin kakak! ”
Terkekeh, tangan Aphrodite mengelus surai pirang lelaki ini. “Sony, hal-hal akan berlalu. Jika ada yang datang, maka harus ada yang pergi. Itu sudah menjadi keharusan. Saat kamu melihat kakak untuk pertama kalinya, kamu juga harus tahu jika kakak akan pergi entah kapan. Kamu tidak boleh memaksakan kehendak mu, Sony. Segala hal tak bisa selalu berjalan sesuai keinginanmu, begitupun dengan kakak. ”
“Mengapa tidak? Cukup buat kakak tidak jadi pergi, maka keinginanku akan terwujud. ”
Menerawang jauh ke depan, banyak hal yang juga Aphrodite harap sesuai dengan apa yang ia inginkan. Namun, sudah menjadi hukum alam jika segala hal tidak dapat semudah itu. Bahkan kepergiannya juga merupakan hal terberat dalam hidup Aphrodite.
“Tetapi, ini keinginan kakak. Apa kamu ingin hal yang kakak harapkan tidak berjalan sesuai yang kakak mau? ”
Anak lelaki itu terdiam dalam beberapa saat, meresapi setiap kata yang terlontar dari kakak kesayangannya. Tak lama, anak itu melepas pelukan eratnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Be A Maid
General FictionR-19+ Terbangun tanpa ingatan bukanlah apa yang diinginkan oleh Aphrodite. Namun, itulah yang ia alami kala terbangun di usia menginjak 9 tahun dalam rumah sederhana dengan keadaan tubuh remuk redam. Tumbuh besar di panti asuhan bersama anak-anak s...