Kekurangan di Balik Kelebihan

36 9 2
                                    

Happy Reading...
.
.

Di balik sempurnanya seseorang pasti ada kekurangannya walau hanya sedikit. Seperti sekarang, aku yang sangat bad mood dengan tingkah Erick yang baru saja aku dapatkan. Tanpa permisi atau mengatakan apa pun ia meninggalkanku di kantin sendirian lalu pergi bersama Jery—salah satu sahabatnya—entah ke mana.

Aku sangat malu. Kenapa begitu? Baru saja aku bercerita bahwa Erick adalah pria dengan seribu kesempurnaan. Ah rasanya sangat memalukan, pasti banyak yang akan menghujat. Oh ayolah ini baru satu tahun, jadi aku belum terlalu mendalami sifat Erick yang tidak kuketahui.

Dengan hati yang porak-peranda, aku menuju kelas lima belas menit yang lalu. Merebahkan kepalaku di meja, sekali-kali menyumpah serapah Erick. Aku merasa tidak dihargai olehnya. dan perkataan Jery yang mengatakan bahwa seseorang itu sudah datang membuatku penasaran sampai ingin melompat. Siapa dia? Apakah seorang wanita? Tidak, tidak mungkin. Erick itu pria baik, menurutku.

Untunglah kelas terlihat sunyi. Hanya ada aku di sini, tidak ada Septiya ataupun Nea—yang juga sahabatku—yang biasanya akan selalu mengikutiku kemanapun. Karena tadi aku bersama Erick jadi mereka membiarkan kami mengambil waktu berdua. Memang sahabat yang pengertian, tapi ending dari semua itu sangat membuatku kesal.

"Kapan lo masuk kelas, Re? Perasaan tadi masih di kantin."

Panjang umur, baru saja dibahas sudah nongol. Aku hanya diam, tidak bersuara bahkan mengangkat wajah yang sedari tadi kurebahkan.

Mereka berdua mendekat, duduk di depanku dengan mengambil kursi murid lain.

"Iya. Padahal tadi masih ngobrol sama Erick." Nea bersuara dengan nada yang lamban. Bagitulah Nea, terlalu gemulai.

Aku menghembuskan nafas, mengangkat kepala lalu merapikan rambut yang sedikit berantakan. "Gue berantam sama Erick."

"Loh kok bisa? Tadi lo masih bucin sama dia." Septiya meninggikan suaranya, kaget. Sedangkan Nea hanya mengangguk seperti membenarkan pertanyaan yang diberikan Septiya.

"Itu kan tadi, sekarang beda lagi," ucapku kesal.

"Emang apa masalahnya." Septiya kembali bertanya, begitu juga dengan Nea yang kembali menganghuk.

"Dia ninggalin gue."

"Apa? Kalian putus?" aku menutup telinga mendengar teriakan dari Septiya yang tepat di depanku.

"Apaan sih? mana ada putus. Dia ninggalin gue tanpa pamit tadi di kantin, kan jadi males." aku kembali bersuara menjelaskan pada dua sahabatku yang random ini.

Septiya dan Nea ber oh ria. "Mungkin ada urusan mendadak jadi lupa kalau ada kamu di depan dia." Nea bersuara memberikan pendapat yang bagiku terdengar tidak mungkin.

"Masa sih, gue udah nanya mau kemana tapi dia cuma natap doang trus pergi. Ah males banget, kan jadi keingat lagi." aku menjambak lembut rambutku, frustasi.

"Yaudah maafin aja biar tidak ingat lagi."

"Nea, kalau nggak bisa kasih saran mending diam deh." Aku berseru marah, bisa bisanya gadis di depanku ini menjadi penambah naiknya darahku.

"Yaudah kalau gitu. Aku mau kekamar mandi aja deh," ucapnya lalu berdiri dari kursi yang ia duduki. "Aku bisa sendiri kok, tidak perlu temani."

"Yang mau temenin lo juga siapa?" itu Septiya dengan mata memutar dan mulut juteknya, ia mampu membuat Nea memajukan bibir, Kesal.

"Nanti kalau ketemu Erick, trus nanya gue bilang kalau lo nggak liat gue, ya!" Aku memberi intruksi pada Nea yang akan melangkah pergi. Yang langsung dibalas gadis itu dengan simbol 'ok'.

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang