Ancaman

14 3 0
                                    

Happy Reading..
.
.
.

Pertengkaran adalah hal yang paling aku benci. Pertengkaran mampu memporak perandakan sesuatu yang telah kita bina dengan baik, seperti sebuah hubungan. Saat hubungan telah porak peranda oleh sebuah pertengkaran, aku lebih memilih mendiami dari pada memperbaiki. Begitulah aku, yang tidak ingin ada problem yang masuk dalam hidupku. Tapi bagaimana lagi, namanya juga hidup, yang namanya masalah pasti selalu ada.

Setelah membaca pesan dari Septiya kemarin, aku menjadi lebih pendiam. Mungkin Erick sudah mulai bosan, aku ingin berbicara padanya tapi aku benci jika bertemu dengannya untuk saat ini.

kenapa banyak sekali masalah menghinggapiku dua hari ini? Baru saja kemarin aku yang tidak bisa berfikir jernih oleh sikap teman baru Eick, pesan tidak masuk akal juga membuat aku jengkel dan sekarang, Erick juga berulah.

Ahh, rasanya aku ingin menghilang saja lalu muncul di dunia baru di mana di sana kita tidak mengenal apa itu masalah dan ujian dunia.

Tapi itu hanyalah sebatas ilusi; yang tidak akan mungkin terjadi.

000

"Ngak gitu juga, Re, lo harus tanya dia baik-baik biar lo tahu juga apa maksud dia antarin si Vita bodoh itu pulang." Septiya mendesah kesal. Setelah mendengar penjelasanku yang lebih memilih mendiami Erick setelah tahu apa yang cowok itu lakukan beberapa hari kemarin, Septiya menjadi emosi sendiri.

Aku hanya mengangkat bahu acuh, tidak peduli apa yang cowok itu lakukan. Bagiku, Erick mungkin sudah bosan dengan hubungan yang seperti tidak akan ada ujung ini. Kenapa begitu? Ya, karena bagaimanapun aku yakin semua juga pasti akan berakhir, orang tua Erick bisa saja mengahiri semuanya. Mengingat fakta itu aku menjadi sedih, kapan aku bisa diterima?

"Malah bengong. Emang lo nggak cemburu dengar itu semua?" Septiya kembali bersuara.

"Ya cemburulah, dia, kan pacarnya," ucap Nea yang sedari tadi hanya mendengar sambil bermain ponselnya.

"Kalau dia emang cemburu kenapa diam? Kalau begini Erick bisa berfikir kalau lo nggak tau apapun, dan gue yakin kalau dia bisa lakuin lebih dari satu kali." Septiya mendadak emosi dengan ucapannya sendiri. Memang benar yang ia katakan, tapi aku tidak bisa, sangat tidak bisa. Apa yang harus aku tanya? Apakah kita putus saja? Tidak mungkin, bukan?

"Gue nggak bisa, Sep. Gue nggak tahu harus bilang apa, harus mengawali dari mana, gue... Nggak bisa. Gue takut karena ini semua hubungan kami berakhir, gue nggak bisa."

"Lebay, lo, sebenarnya kalau lo bisa fikir baik-baik si Vita itu musuh lo dan dia juga suka sama Erick. Sebenarnya Erick harus ngerti apa arti musuh. musuh pacar musuh kita juga, tapi kayaknya dia nggak mikir," ucap Septiya, masih dengan nada sarkas penuh emosi.

Apa aku bodoh dalam menjalin sebuah hubungan? Aku benci ketidak berdayaan ini.

"Pokoknya lo harus temui dia nanti dan tanya penjelasan dia. Kalau lo nggak mau gue yang bakal tanya. Tapi nggak mungkin kan gue yang tanya? Gue bukan siapa-siapa dia, seharusnya lo juga mikir itu," kata Septiya kembali hingga menutup perbincangan kami bertiga.

000

Motor sport berwarna merah putih berpadukan hitam itu berhenti tepat di rumah minimalis berwarna biru muda. Suara klakson motor menggema membuat seorang gadis yang telah siap dengan pakaian pramukanya berlari dari arah dalam rumah.

Erick membuka helmnya lalu merapikan rambut yang sedikit berantakan karena helm yang ia kenakan dilepas. Erick berdecak kala melihat gadis yang akan ia tumpangi ke sekolah itu masih mengenakan sepatu, padahal dua puluh menit lagi akan bel.

Detik kemudian, perempuan itu telah sampai di depan Erick dengan senyuman yang sengaja ia imutkan. Melihat itu Erick berdecak malas. "Jangan sok cantik, lo! lo nggak cantik." sarkas, tapi perempuan yang menerima kata-kata itu hanya diam tanpa mengilangkan senyumannya.

"Gue mau bicara, tapi nggak di sekolah." Erick meletakkan helm yang dari tadi ia pangku di depat perutnya.

"Trus di mana, dong?" merasa suasana menjadi serius, perempun itu mengakhiri senyuman yang beberapa detik lalu masih terpampang di bibir tipisnya.

"Ya di sini, lah, dimana lagi? Gue nggak ada waktu," kembali dengan suara yang kurang bersahabat, Erick kembali berbicara.

"Kamu mau bicara apa?"

"Apa yang lo dapat dari ini semua? Lo nyakitin banyak hati, Vit, bahkan gue ikut sakit sama cara lo yang egoistis. Lo gue jemput, terus antar dengan keterpaksaan, dan lo ngerasa apa sih, dari itu semua?" Erick menjeda ucapannya, menatap kesal ke arah Vita sebelum kembali melanjutkan, "Kalau sampai Reya tahu ini semua, kami bakal berantem dan hasilnya tetap sama, putus! Kalau gue nolak apa yang lo mau, lo bakal aduin sama nyokap gue dan hasilnya juga tetap sama, putus! Itukan yang lo mau sebenarnya?"

Vita menatap datar ke arah Erick, pria yang ia cintai dan ia tunggu tiga tahun lamanya. Segala cara ia lakukan untuk mendapatkan Erick, tapi hasilnya tetap sama, ia ditolak entah berapa kali banyaknya.

"Setidaknya aku merasakan bagaimana rasanya di antar jemput sama kamu, Rick. Walaupun aku tidak kamu bolehkan untuk berpegangan, tapi setidaknya aku merasakan bagaimana rasanya dibonceng oleh orang yang aku cintai," ucap Vita masih dengan wajah datar; tanpa ekspresi.

"Tapi gue nggak pernah iklas buat antar jemput, lo. Itu gue lakuin emang buat nutup mulut lo yang nggak ada adab. Lo boleh suka sama seseorang, tapi biarin dia suka sama pilihannya. Lo perempuan, Vit, coba lo rasain sekarang gimana perasaan Reya saat tahu gue gini sama, lo!" Erick menjambak rambutnya. Setiap malam ia berfikir apa yang akan terjadi jika semua ini memang diketahui oleh Reya. Bahkan matanya tidak bisa tidur karena memikirkan apa yang akan gadis itu lakukan; apa yang akan ia ucapkan saat mengetahui ini semua. Reya tidak tahu apa yang ia lakukan saat ini untuk siapa, Reya tidak tahu ini semua.

Vita lagi-lagi diam, ia tersenyum getir kala mulut Erick kembali mengucapkan nama orang yang pria itu cintai. Kapan ia seperti itu? Kapan Erick mengatakan 'Bagaimana perasaan Vita saat ini?' Kapan?

Erick kembali menjambak rambutnya, orang yang ia tanya seperti bisu, tidak menjawab apa yang ia tanya. Memakai kembali helm miliknya, Erick menghidupkan mesin motornya. Tidak ada gunanya berlama-lama, ia bisa terlambat dan belajar dalam keadaan lapar.

'Aku tahu aku egois, Erick, tapi asal kamu tahu, kamulah orang pertama yang aku perlakukan seperti ini. Seandainya kamu tahu bagaimana perasaanku padamu, mungkin kamu akan tahu jika aku lebih mencintaimu dibandingkan Reya,' batin Vita, ia tidak berani mengatakan secara langsung karena ia tahu, Erick tengah marah padanya.

Setelah naik ke atas motor besar milik Erick, Vita memegangi sudut tempat duduk motor agar ia tetap aman di atasnya. Ia tidak diperbolehkan untuk bergantung di badan Erick, jadi seperti ini lah. Motor pun pergi meninggalkan halaman rumah Vita untuk menuju ke sekolah Generasi Bangsa.

000

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang