"Ketika orang yang kita sayangi telah pergi, mereka bukan menjauh, tapi mereka sangat dekat, sedekat nadimu. Mencintai kamu sepanjang detakan jangtungmu."
.Albian Razaq.
.
.
.
Happy Reading...
.
.
.'Bahagia itu sederhana', ternyata hal itu benar adanya. Lihatlah saat ini, aku yang berdiri di bawah kembang api yang diluncurkan oleh orang-orang yang merayakan tahun baru.
Ternyata sudah sangat jauh Bian membawaku dari waktu pertama kami bertemu. Begitu juga dengan Erick yang sudah lama pula meninggalkanku. Lagi-lagi dia. Entah sampai kapan bayang-bayangnya hilang.
Kata-kata tentang bahagia yang sederhana itu juga aku dengar dari Ibunya Bian. Yang kutahu namanya Tante Adiba. Pikiranku tentang dirinya yang sama seperti orang tua Erick ternyata salah. Ayah dan Ibu Bian adalah orang tua yang hangat dan penuh dengan kasih sayang.
Bersama mereka, aku merasa kekosongan yang pernah kurasakan kembali terisi. Tante Adiba sudah sangat menyayangiku melebihi anaknya. Dia, juga wanita yang bisa membuat aku sadar, kesedihan tidak boleh selamanya dipendam.
Kembang api di malam tahun baru kali ini seperti memberi senyuman padaku yang tengah berdiri di samping seorang pria berbahu kokoh. Percakapan tidak ada di antara kami sedari tadi, yang ada hanyalah keterdiaman yang sesekali memuja sebuah kebahagian yang hari ini datang menjadi bagian dalam kehidupan.
Melupakan memang tidak semudah mengenal seseorang, akan tetapi dipikir kembali sampai kapan terus mengapung dalam ingatan yang hanya membawa diri ke jalan kebencian. Jalanku saat ini sudah bersimpang, antara menuju kebahagian bersama Erick entah bersama Bian. Tapi aku sangat tidak menyangka jika jalan yang sekarang kucoba tempuh tidaklah terlalu buruk seperti jalan pertama. Dalam diri Bian, tidak ada sedikitpun sifat Erick yang tidak kusuka.
Tapi kembali aku sadar, sehebat apapun aku memuja seorang Bian, dia tetaplah orang yang masih kuragukan cintanya.
Tante Adiba pernah mengatakan padaku, "Mungkin itu karena masih baru. Kamu belum terlalu mengenal dirinya, Reya, apalagi perasaanya," ucapnya padaku. Kala itu, Tente Adiba sudah seperti teman curhat bagiku.
Mungkin saja, tapi untuk sekarang hatiku mengatakan bahwa orang lama masih menjadi yang pertama. Orang lama yang pernah mengisi hatiku secara penuh. Mengajariku cara untuk menerima rasa cinta untuk pertama kalinya. Walaupun dia—Erick Autervan—memberikan luka tanpa namanya, tanpa tangannya dan tanpa sepengetahuan dirinya. Hidupnya yang selalu dalam kendali orang tuanya, membuat luka di hatiku, sedikit demi sedikit bertambah dan menciptakan bekas yang kapan saja bisa kembali meradang.
Air mataku jatuh, membasahi pipi yang masih mengembangkan senyuman ke atas langit yang tinggi. Sedih melandaku. Sekarang aku sudah mampu menangis dalam sedih, tidak seperti dahulu yang hanya berlandaskan kemarahan. Tante Adiba, kembali ia menjadi seorang pendengar curhat berbicara setelah kukemukakan perasaanku.
"Menangislah jika kamu merasakan kesedihan. Tidak perlu menahan sebuah tangis, Reya, itu adalah penyakit. Dengan menangis penyakit itu akan meninggalkanmu dan memberikan ketenangan."
Aku tahu hal itu, tapi pura-pura tegar dalam diriku sudah mendarah daging. Hingga ketika sedih menangis adalah sebuah pelanggaran dalam hidupku. Tapi untuk saat ini, mungkin aku akan merubahnya.
000
"Malam tahun baru tidak ada pacar baru, akhirnya kuputuskan cari yang baru." dengan bunyi gitar yang merdu, Jejen dan Juanda bernyanyi di atas karpet di halaman rumah Bian yang luas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oktober ✔
Fiksi UmumSilakan Folow Dulu Sebelum membaca!! Sesuatu telah terjadi hingga merenggut kebahagiaan lima tahun yang telah Reya rajut bersama sang kekasih. bermimpi akan hidup bahagia dengan keluarga kecil bersama pria pilihannya ternyata tidak terwujud. Membua...