Bertunangan

8 1 0
                                    

Untuk apalagi menunggu sebuah figuran yang tidak lagi bisa dilihat?

-Reya Prianca Mehra.

Happy Reading...
.
.
.

Satu minggu menjelang akhir bulan Mei terasa berbunga-bunga. Di samping Bian, di sebuah bangku panjang telah duduk diriku yang tengah menatap langit yang penuh bintang. Dibandingkan siang, rasanya aku lebih menyukai malam. Angin yang dingin, cahaya yang redup dan langit hitam dihiasi bintang sangat cocok untuk diriku. Pecinta malam, mungkin begitulah panggilan yang tepat untukku.

Tidak hentinya Bian mengoceh banyak cerita di sampingku. Aku hanya sesekali menanggapi dan kembali diam menatap bintang yang jumlahnya sangatlah sulit untuk dihitung.

"Menurutmu bagaimana sebuah hubungan yang serius?" lagi-lagi Bian bertanya di sela ocehannya.

"Pernikahan. Tidak ada yang lebih serius dari itu." dan lagi-lagi aku hanya membalas dengan kalimat pendek tanpa menatap Bian.

Bian merangkul bahuku, membawanya pada dada yang bidang dan lebarnya. Hal ini sering kulakukan. Hanya saja tidak pernah kupamerkan.

"Kamu mau aku seriusin?" kali ini aku menatap wajah Bian, walau harus mendongak karena ia agak tinggi.

Kulihat dia tersenyum penuh arti. Bagiku, senyuman Bian itu seperti membeli jajanan berhadiah random, tapi aku yang membeli selalu mendapat hal yang sama, yaitu senyuman Bian. Dalam satu hari tak henti senyuman itu terbit dan terlukis layaknya gambar abadi. Anehnya, jika yang selalu kudapat dari jajanan berhadiah itu senyuman Bian, aku sama sekali tidak pernah bosan. Di mata dan hatuku tidak ada kata 'aku sudah muak melihat senyuman yang bisa seratus kali muncul di bibirmu'. Tidak ada.

"Maunya kamu aku jawab apa?" kembali ke topik, aku membalas pertanyaan Bian dengan bertanya kembali. Sudah cukup rasanya memuji senyuman yang membuat pria ini terus terlihat mempesona.

"Seharusnya kamu tidak usah bertanya padaku tentang jawabannya." Bian terkekeh dan mencubit kecil hidungku.

"Aku mau saja jika memang kelak hidupku terjamin." aku kembali merebahkan kepala di dada Bian.

"Kalau aku berani membawamu serius berarti aku siap menerima tanggung jawab. Yang namanya tanggung jawab ya harus ditanggung. Kalau memang kamu mau, yang namanya terjamin tidak akan sulit kamu dapatkan."

Aku tersenyum manis, tersenyum tanpa Bian tahu karena aku ada di balik dadanya. "Lalu? Kamu masih bertanya jawabanku."

"Yang aku ragukan hanya satu," katanya dengan nada yang terdengar lebih rendah dari biasanya.

"Apa?" tanyaku kemudian.

"Jika nanti semua aku lakukan, akankah kamu masih menunggu kedatangan sahabatku."

Mendengar ungkapan Bian, seakan ada sebuah sembilu yang menancap hebat di tepi jantungku. Tidak berada di tengah, sebab rasa asing mampu menggesernya untuk menepi. Akan tetapi hanya menepi, bukan menghindari. Seasing apapun saat ini, kenangannya masih tersusun rapi di ingatan. Memang yang nyata telah terbakar, tapi kenangannya di ingatan masih bertahan bahkan masih ingin kembali mekar.

"Aku ingin melupakannya," ucapku yang rasanya ada kalimat yang terjeda. Terjeda sebab terasa ada yang menghentikannya untuk di utarakan. 'karena rasanya tidak berguna untuk diingat lagi' dan akhirnya hanya menjadi bisikan batin yang tidak mampu Bian dengar.

"Kenapa?" tanyanya dengan nada penasaran.

"Karena untuk apalagi menunggu sebuah figuran yang tidak lagi bisa dilihat, Bi. Aku tahu, dia tak akan kembali lagi."

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang