Senin Pertama Oktober

10 2 0
                                    

Happy Reading..
.
.
.

"Lo percaya sama orang modelan Vita, Re?" tanya Septiya yang kini tengah mengeringkan rambutnya menggunakan handuk.

Sore hari, aku memutuskan memberi kabar gembira untuk Septiya bahwa Vita tidak diantar oleh Erick beberapa hari ini. Sesuai perkataan Vita tadi pagi denganku, aku telah menceritakannya pada Septiya setelah mengerjakan pekerjaan rumah sebelumnya.

Pagi tadi, aku memutuskan untuk pulang saat jam sudah menunjukan pukul tujuh. Sedangkan Vita ia telah pergi lama sebelumnya setelah menghubungi seseorang di ponselnya. Setelah mendapat jawabannya pagi hari tadi, aku mendadak bahagia akan itu. Ternyata apa yang dipikirkan Septiya tidaklah benar menyangkut Erick.

Setelah aku menceritakan semuanya, Septiya malah tidak percaya dan malah meragukan kepercayaannya terhadap Vita. Memang manusia satu itu sulit untuk dipercaya, tapi jawaban ia pagi tadi seakan memang bukan ia pelaku dari berita yang dibawa Septiya.

"Gue yakin karena jawaban dia kayak gitu, Sep. Seandainya memang dia, pasti dia udah gugup buat jawab, atau langsung mengakuinya," sahutku, setelah mendengar pertanyaannya beberapa detik lalu.

"Reya, bisa aja mereka sekongkol, kan, buat sembunyiin ini dari lo? Biar Erick bisa-"

"Erick nggak seburuk di pikiran lo, Sep," potongku sebelum Septiya menyudahi ucapannya.

"Erick juga nggak sebaik di pikiran lo, Reya." kami sama-sama diam, aku menjadi lelah dengan sifat Septiya yang selalu berburuk sangka pada siapapun itu orangnya.

"Terserah lo aja, gue nggak mau kita sampe bertengkar cuman karena ini." aku berdiri untuk mengambil ponsel yang ada di atas meja. "Gue pulang dulu, udah sore soalnya," pamitku kemudian.

"Reya, maafin gue, lo pasti marah sama gue, kan? Tapi, Re, ini adalah pengalaman pertama lo dalam sebuah hubungan. dan setiap laki-laki itu nggak jauh sifatnya dari manipulatif, gue nggak mau lo kecewa di akhir cerita. Itu aja," paparnya. Aku hanya diam sambil tersenyum padanya, setelahnya akupun pergi meninggalkan rumah Septiya.

Aku mengambil nafas dalam, mencoba membuangnya dengan perlahan serta segala emosi yang ada. Tidak apa-apa, ini hanya kesalahpahaman biasa dan adu argumen yang sudah biasa kami lakukan.

Akupun mulai berjalan, menelusuri jalanan yang sepi. Rumah septiya memang jauh dari jalanan raya, karena letaknya yang mamasuki gang dahulu. Tapi walaupun sepi, masih banyak rumah yang terjejer di sini, jadi aku tidak akan merasa takut ada orang yang akan menculikku.

Langit mendadak berwarna kelabu sore ini. Perjalananku dari rumah Septiya ke rumah nenek lumayan jauh, butuh waktu lima belas menit sampai. Tapi tidak apa-apa, aku jarang olahraga jadi biarkan saja kakiku berjalan jauh kali ini. Di perjalanan ini aku hanya bersenandung dengan suara tidak merduku, toh tidak akan ada yang dengar. Di ujung sana aku melihat seorang pejalan kaki yang belawanan arah denganku. Tidak membawa apapun, ia hanya berjalan dengan tangan yang masuk ke dalam saku hoodienya.

Semakin lama jarak kami semakin dekat, memperlihatkan perawakan yang tadi samar sekarang jelas. Aku, bertemu dengan orang yang juga tengah mengganggu pikiranku. Dia, cowok menyebalkan yang baru dua hari bertemu denganku. Cowok yang menjadi tanda tanya dalam hatiku, kenapa dia memberikan perlakuan yang berbeda padaku?

Detik kemudian jarak kami sudah bisa dibilang sangat dekat, tapi tetap tidak ada sapaan di antara kami. Aku hanya melanjutkan jalanku begitu juga dengannya. Baru tiga langkah jarakku darinya, tiba-tiba hujan lebat tanpa pamit turun mengguyur bumi beserta isinya bahkan denganku. Dengan cepat aku mencari tempat berteduh, berlari pada sebuah pos yang tidak dihuni dan berteduh di sana.

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang