Nasehat Nenek

18 2 0
                                    

Happy Reading..
.
.

Sore yang sudah menampakkan diri menjadi kesukaanku saat ini. Terpaan anginya yang membuat aku merasa tenang dari beberapa masalah yang telah menyelimuti. Aku yang di atas motor Erick menghirup udara sore dalam-dalam, seakan tidak ingin berpisah dan digantikan dengan dinginnya malam di malam minggu ini.

Seharusnya aku pulang jam tiga, tapi Erick meminta pulang bersama sedangkan dirinya harus melaksanakan latihan futsal satu jam lamanya. Jadilah aku yang harus pulang jam empat sore.

Karena ini sudah sore, jadilah kami langsung pulang tanpa bermain ke suatu tempat seperti biasanya. Aku menghela nafas lemah, bagaimana cara bertanya pada Erick tentang hal yang baru tadi malam terjadi? Hal yang dikatakan Septiya, bertanya dengan jelas sangat sulit untuk kujadikan kalimat yang baik.

Bagaimana jika pertanyaanku menjadi akhir dari kisah kami?

Motor besar Erick berhenti tepat di depan halaman rumah nenek. Aku turun lalu memberikan helm milik Erick yang tidak kugunakan, hanya kupegang saja tanpa berniat mengenakannya.

"Aku akan menjemputmu nanti." Erick menyambut helmnya lalu memegang di tangan sebelah kirinya.

"Tidak usah menjemputku, aku tidak ingin keluar malam ini," kataku merespon ucapan Erick yang mengajak untuk malam minggu.

Lengkungan tipis tergambar di bibir merah milik Erick, seakan tidak menyadari apa yang aku ucapkan. Tidak biasanya aku menolak ke manapun ajakan Erick untuk menjelajahi tempat bagus bermalam minggu, tapi sekarang aku menolak. Apakah ia tidak merasa ada kejanggalan padaku?

"Aku akan menjemput sekitar jam delapan malam nanti," ucapnya tanpa ingin dibantah.

Aku menghela nafas kasar. "Erick, kita tidak pernah melewatkan malam minggu. Apa salahnya sekarang kita tidak keluar dulu? Aku sangat lelah."

"Ini malam minggu terakhir sebelum bulan yang kamu benci datang. Mungkin malam minggu selanjutnya bisa tidak terlaksana karena hujan di bulan oktober," ucapnya kembali. Keras kepala, itulah sifat Erick yang kadang tidak bisa kuterima di waktu tertentu.

Dan pada akhirnya, Erick tetap pada pendiriannya tanpa mengalah dan memikirkan bagaimana diriku. Sedangkan aku, selalu saja mengalah.

Setia dan bodoh itu beda tipis.

000

Erick menepati janjinya yang menjemputku jam delapan. Aku yang memang sudah mempersiapkan diri, langsung saja berangkat tanpa membuat Erick menunggu. Aku tidak tahu ke mana kami akan pergi kali ini, Erick hanya mengatakan 'Lihat saja nanti' tanpa mengatakan ke mana tujuan kami kali ini. 

Motor sport Erick langsung saja beranjak pergi meninggalkan halaman rumah nenek, membelah jalannan Jakarta yang tampak ramai oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson kendaraan bersahutan, ada yang menegur pengandara dan meminta kendaraan lain untuk memberi jalan. Erick tidak pernah menurunkan atau meninggikan kecepatan motornya, ia telah terbiasa hingga tidak takut untuk memotong jalan kendaraan lain.

Entah perasaanku atau bagaimana, kali ini tujuan kami terasa agak lama. Perjalanan yang tidak biasanya aku rasakan, biasanya Erick akan pergi ke cafe, restoran ataupun taman kota yang biasa aku dan ia kunjungi.

Setengah jam waktu yang kami habiskan, akhirnya Erick menghentikan motornya di sebuah parkiran umum. Tidak ada bangunan seperti cafe dan restoran, tidak ada taman seperti taman kota. Kami datang di tempat yang berbeda kali ini, Erick membawaku di sebuat bangunan tinggi sebagai tugu penanda sebuah wilayah ibu kota. Yaitu monas, tempat terbuka kedua setelah Taman Kota yang kali ini kami kunjungi.

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang