Maaf Dari Bian

7 2 0
                                    

Happy Reading...
.
.

Kekecewaan selalu datang dan membekas untuk waktu yang lama. Merenggut satu-satu kepercayaan seseorang. Menghempaskan dalam lautan kesakitan. Cinta tak lagi ada, sayangpun sama. Satu kekecewaan mampu menghapus segudang cinta pada seseorang, menimbulkan sifat benci dan amarah.

Segala hal tetap kuyakinkan dalam diriku. Bahwa Erick, pasti akan kembali dan menepati janjinya. Untuk apa aku selalu berfikir negatif akan janjinya, hanya karena ia tak menghubungiku.

Aku mengangkat kepalaku tinggi-tinggi. Merentangkan tangan dan menghirup oksigen dengan rakus. Pagiku berantakan karena dua nama. Erick, dan Bian.

Berdiriku di sebuah taman membuat aku seperti penjaga. Taman yang memiliki banyak kenangan ini seakan menjadi tempat yang takut untukku kunjungi. Pagi yang belum menampakkan matahari, dan kesunyiannya tidak membuatku merasa takut.

Peristiwa malam minggu kemarin seakan menjadi topik hangat di pikiranku. Teringat dan berputar seperti video rusak. Menyebalkan.

Aku kembali melangkahkan kakiku. Meninggalkan tengah-tengah taman menuju gerbang taman-pergi.

Sangat bodoh. Demi pergi ke tempat ini, aku rela bangun pagi agar tidak terlambat ke sekolah. Padahal arah taman kota dengan sekolahku berlawanan, tapi aku sangatlah ingin melihatnya pagi ini. Mungkin orang yang ditinggal untuk selamanya tidaklah terlalu berlebihan sepertiku.

Aku berjalan dengan tenang, tidak terlalu gelap karena langit sudah menampakkan cahayanya perlahan saat aku di perjalanan. Ini baru pukul setengah enam, jadi wajar masih terlihat berkabut dan berhawa dingin.

Aku tersenyum masam. Jika saja kedua orang tua Erick dan Vita melihatku begini, pasti mereka akan menertawakanku dengan berkata, "Bagaimana? Apakah melelahkan tidak pergi ke sekolah dengan Erick, lagi?" dan aku dapat membayangkan bagaimana tawa mereka setelah mengucapkan hal itu.

Jika hal itu terjadi, aku ingin adanya pembelaan dari seseorang nantinya. Tapi siapa? Apakah nenek? Atau kedua sahabatku? Ataukah Bian?

Entahlah.

000

"Lo masih diteror sama yang ngirim pesan nggak, Re?" aku yang tengah membuka loker menatap ke arah Septiya.

Aku memang tidak mendapat pesan beberapa hari ini, bahkan sudah hampir satu bulan.

Semenjak ucapan Nea beberapa hari lalu, aku menyimpan perasaan curiga padanya. Tapi jika memang dia, kenapa tidak jujur saja. Ingin rasanya mengatakan lebih jelas saat itu, tapi Septiya datang dan membuat Nea tampak takut.

Aku menggeleng kaku. Sepertinya topik ini tidak bisa kuceritakan dengan Septiya, melainkan dengan Nea. Oh, sejak kapan aku menaruh kepercayaan kepada Nea bercerita. Cewek 'Lola' itu sangat sulit bercerita dengannya.

Loker yang tadi kubuku telah kututup kembali. Menyimpan beberpa buku milikku dan kembali melangkah dari area itu.

"Masa' sih? Apa orangnya udah jadian ya, sama pacarnya?" terus mengomel-Septiya berjalan di belakangku-membahas topik yang sama, yang tidak kuhiraukan.

"Reya, gimana kalau lo telfon tuh si pengirim? Mana tahu lo dapat pengganti Erick."

"Lo bilang apa sih, Sep? Nggak jelas amat," gerutuku yang masih tetap melangkah di depannya.

"Gue kan ngasih solusi. Biar lo nggak galau lagi."

Aku berhenti, begitu juga dengan Septiya. Memutar hadap ke arahnya, aku memasang wajah datar. "Yang galau siapa, sih?"

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang