Tenggelam Dalam Andala

8 1 0
                                    

Sakit, rasanya sangat sakit, tapi apalah daya, Aku harus menelan pahitnya kenyataan yang ada.

-Reya Prianca Mehra.

000

Happy Reading...
.
.

Mataku mulai terbuka serta kesadaran yang mulai datang. Aku menatap ruangan luas dengan bau obat-obatan yang menyengat. Ternyata ini ruang UKS, baru kali ini aku memasukinya selama hampir tiga tahun bersekolah di sini.

"Kamu sudah bangun?" sebuah suara mengagetkanku. Terlihat Nea yang duduk di kursi meja tempat obat-obatan disediakan.

Selain pintar, Nea juga ikut sebagai anggota UKS yang bertugas memberi obat kepada pasiennya. Gadis itu juga pernah mengatakan bahwa ia ingin menjadi seorang dokter di masa depan.

"Septiya di mana?" setelah membalas dengan anggukan, aku bertanya keberadaan Septiya yang tidak kulihat di sini.

"Dia beli nasi goreng buat kamu. Tadi kamu nggak sarapan?"

Aku menggeleng. "Tadi nggak sempat karena telat datang. Tadi bangun tidur gue ngerasa nggak enak badan, jadi tadi mikir dulu buat sekolah atau nggak, tapi karena ada ulangan hari ini gue milih sekolah aja." sebelum pergi aku memang sempat berfikir, di tambah pesan tidak jelas itu membuat aku tambah berfikir.

"Kamu buat kami cemas lo, Re." aku menghela nafas, ternyata aku telah merepotkan banyak orang. Tapi Erick, ke mana dia?

"Lo dari tadi di sini, Ne?" tanyaku pada Nea yang memilih-milih obat, mungkin obat untukku.

"Iya," sahutnya.

"Apa tadi Erick ke sini?" tanyaku kembali. Aku merasa sikap Erick sekarang sangat berbeda padaku, bahkan ia sering menolak ajakanku dan tidak ingin mengalah dariku.

"Nggak ada. Mungkin nanti, soalnya upacara baru aja kelar." aku mengangguk, mungkin saja begitu. Tapi apakah dia ikut upacara? Tadi saat bel berbunyi ia belum kembali setelah alasannya untuk menjemput Bian, padahal Bian sudah datang.

"Gue ke kelas aja deh, Ne," ucapku menyingkap selimut yang sebelunya ada di atasku.

"Kamu kan masih sakit, nanti kalau pingsan lagi gimana?" balasnya memasang muka tidak suka.

Aku terkekeh, walaupun seperti marah, wajah Nea sangatlah imut saat ini, tidaklah seperti orang yang sedang marah.

"Lo udah bangun, Re." suara seseorang terdengar beriringan dengan terbukanya pintu. Memperlihatkan sosok Septiya dengan kotak stayrofam di tangannya. Lalu menyodorkan dan duduk di kursi samping brankarku.

Aku hanya berdeham, mengambil kotak stayrofoam yang ia sodorkan padaku. Membukanya, terlihat nasi goreng yang sangat menggiurkan terletak indah di dalamnya. Mereka memang sahabat terbaik yang pernah aku temui.

"Makasih, ya," ujarku pada Septiya, lalu menoleh pada Nea yang masih duduk di kursi tempatnya semula.

Menyantapnya, aku merasa nasi gerong itu tiada rasa. Lidahku terasa tebal dan tenggorokanku yang menolak untuk menelan sesuatu. Hah, aku sangat tidak tenang dengan kondisi tubuhku saat ini. Pada akhirnya, aku hanya memakan dua sendok saja.

"Kenapa?" tanya Nea mendekat, membawa obat yang tadi ia pilih lalu menyerahkannya padaku.

"nggak nafsu," jawabku. Mulai aku meminum obat di bantu oleh segelas air yang juga di sodorkan Nea.

"Oh iya, tadi gue dapat pesan nggak jelas dari nomor nggak dikenal," ungkapku pada Septiya dan Nea, membahas pesan yang sudah membuat aku kepikiran dengan isi pesan yang tidak kutahu membahas apa.

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang