Good Bye, Erick

8 2 0
                                    

Bahkan aku selalu berharap adanya kebahagian yang abadi, tapi itu semua memang tidak pernah ada di dunia.

-Reya Prianca Mehra.
.
.
.

Happy Reading...

Sadar, aku kembali sadar dari alam bawah sebelumnya. Merasakan sesuatu yang tengah aku tiduri, kasur empuk milikku. Mencoba membuka mata, aku merasa kesusahan. Seakan ada yang menghalanginya untuk terbuka. Sejenis kena lem yang mampu menutupnya rapat.

Dengan pelan dan tenang, akhirnya mataku terbuka dengan penglihatan yang buram. Bengkak, itu yang pertama kali aku rasakan di area mataku.

Seluruh badanku terasa sakit, kepala, tenggorokan dan persendianku. Sepertinya aku demam. Mimpi yang sebelumnya aku nikmati tiba-tiba tidak bisa kuingat lagi. Sedangkan kejadian kemarin, seakan abadi dan seperti kaset yang terus berputar di ingatanku.

Meraih ponsel di samping bantal, aku melihat jam yang tertera di layarnya. 09.25. Selama itukah aku tertidur? Hingga tidak masuk sekolah hari ini.

Kuedarkan pandangan ke arah pintu, ternyata terkunci dari dalam. Pasti nenek sudah membangunkanku, tapi tidak terdengar karena badanku yang kurang sehat. Semua ini pasti disebabkan oleh hujan kemarin.

Turunnya hujan kemarin tidak membuat aku merasa takut dan berlari berteduh. Aku bahkan berdiri di tengah hujan-menangis sejadi-jadinya. Dengan berdiri di tengah hujan, membuat suara dan air mataku tersamarkan. Membiarkan air mataku ikut pergi kemana air hujan mengalir setiba di dasar. Suara raungan dan teriakanku ditelan oleh bunyi hujan yang memekakkan.

Kala itu semua usai, aku merasa ada yang berubah dariku, tidak ada lagi sesak yang kadang bersarang di dada. Seakan semua beban hilang, dan digantikan dengan kelegaan. Tapi semua itu tidak dengan kesedihan ditinggalkan oleh orang yang kucintai.

Aku menghela nafas lemah. Kembali kubuka ponsel. Saat terbuka, aku mendapati banyaknya pesan masuk dari teman-temanku. Septiya dan Nea telah mengirimkan pesan lebih dari belasan, bertanya bagaimana keadaanku. Mereka pasti sudah mendengar semua kabar yang terjadi hari ini.

Terlihat juga pesan dari teman-temannya Erick, mereka juga menanyakan bagaimana keadaanku. Rasanya sangat terharu memiliki teman-teman yang sangat perhatian. Satu pesan yang mencuri pandanganku. Pesan dari Bian, yang masuk jam tujuh tadi.

Kesedihan kembali melandaku ketika berhasil membaca pesannya. Hanya sebuah kabar yang mengatakan bahwa Erick telah berangkat subuh tadi.

Sedih, sangat sedih, tapi air mataku seakan terkuras habis hingga tidak bisa lagi menangis. Mungkin karena aku tidak lagi marah, tapi sama saja, rasanya sangat menyakitkan.

Ternyata di umurku sekarang, aku lebih banyak mendapatkan masalah dalam hidupku. Kadang rasa rindu yang menyiksa akan ingin bertemu dengan kedua orang tuaku, juga masalah ekonomi yang sering membuat aku menyerah untuk bergerak, dan sekarang... aku juga tengah mendapat masalah percintaan yang rumit.

"Bahkan aku selalu berharap adanya kebahagian yang abadi, tapi itu semua memang tidak pernah ada di dunia," gumamku pelan dengan suara yang serak dan sakit di bagian tenggorokan.

Pintu kembali di ketuk dari luar. Aku yakin itu nenek. Ternyata benar, suara nenek berseru memanggilku dari luar.

Untuk masalah ini, apa yang harus aku katakan pada nenek? Saat aku tak lagi bersama Erick, saat nenek tak lagi melihat Erick berangkat pagi dan pulang sore denganku.

Apa yang akan nenek katakan-saat Erick, orang yang juga ia sayangi telah pergi jauh karena diriku?

Panggilan mulai mengeras membuat lamunanku buyar secara cepat. Aku menuruni ranjang kecilku, berjalan menuju pintu untuk membukanya.

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang