Epilog

5 0 0
                                    

Duka paling lara adalah, perginya seseorang tanpa kembali.

-Reya Prianca Mehra.
.
.
.
Happy Reading...
.
.
.

Langkah kakiku menyusuri jalan yang penuh dengan gundukan kecil yang terdapat banyak kesedihan di sana. Kesedihan yang ditinggalkan untuk orang yang masih ada di dunia. Kakiku terus terseret hingga sampai pada pusara yang masih baru. Bahkan bunga yang ditaburkan masih terlihat basah sebab aku setiap hari mengunjunginya.

Aku mengusap mataku yang mulai berkaca karena menatap papan nama yang bertengger di atas puncak pusara. Kududukkan badanku tepat di sampingnya untuk ditaburi bunga kembali.

Satu minggu sudah berlalu aku jalani hidu tanpa ada sosok Bian dalam hidupku. Setiap malam menangis hanya karena rindu yang sangat mendalam tapi tidak dapat bertemu kerena kami yang sudah tidak lagi satu alam.

Bahagialah manusia baik. Orang yang menyayangimu sangat banyak. Kemarin anak-anak yang sering diberi Bian makanan dan uang datang untuk berziarah dan membaca yasin di pusara Bian.

"Udah satu minggu ya, Bi?" gumamku menaburi bunga yang kubawa menggunakan keranjang kecil. "Kamu apa kabar? Kamu nggak pernah temui aku lagi. Aku pengen kamu datang sekali aja dalam mimpi aku. Aku pengen lihat kamu lagi, Bi, aku rindu." dengan susah payah kutahan isak tangis yang seakan mendorong untuk keluar.

Tiba-tiba gemuruh menggelegar dari langit. Awan yang semula memang berkuasa di atas sana mulai menghitam dan menjatuhkan rintik air yang lumayan besar hingga mampu membuatku basah.

Aku masih duduk di sana, masih diam dan menatap pusara Bian penuh dengan hati yang tercabik-cabik. Hujan turun mulai lebat, menyamarkan air mata yang terpaksa keluar karena tidak tahan akan kesedihan yang melanda.

Aku menunduk dengan bahu bergetar. Kuangkat lututku untuk kujadikan tumpuan kepalaku yang akan tenggelam. Sambil berpagut lutut tangisku lebih keras dan deras di balik hujan. Terus berbicara dalam hati agar dunia memberi kesempatan bagiku untuk lebih lama dengan pria yang kini telah berpagut dengan tanah menuju keabadian.

Tiba-tiba badanku tidak lagi dijatuhi oleh hujan. Aku merasa seakan tidak ada lagi hujan yang turun di badanku namun hujan belum reda. Aku hanya diberikan sesuatu untuk berteduh. Payung?

Kutatap ke atas. Di sana terlihat payung hitam besar yang melindungiku dari lebatnya hujan yang datang. Aku berdiri menatap seseorang yang kini memberikan semua payungnya untukku dan membiarkan dirinya basah tertimpa hujan yang turun saat ini.

Wajah datarnya seketika bertemu dengan mataku yang membengkak. Wajah yang sudah lama tidak kulihat tapi tidak lagi kurindukan. Wajahnya yang dulu menjadi candu namun perlahan telah dimakan oleh waktu.

"Erick?"

000

"Semua akan pulih, Reya, jangan terlalu menyiksa diri. Aku tidak ingin kamu seperti ini." sisa-sisa hujan masih ada saat aku memandangnya dari pohon besar yang melindungi sejak hujan menghajar dari tadi.

Aku diam, masih sedikit terisak sebab sangat banyak saat ini yang menghajarku. Kepergian Bian untuk selamanya, kedatangan Erick yang tanpa kuketahui.

"Cobalah yakin, bahwa ini takdir Tuhan. Kamu memang mencintainya, tapi kamu harus tahu, Tuhan lebih mencintainya besar dari dirimu."

Tangisku bertambah kala ucapan Erick menyerang telingaku. Ini kesalahanku, karmaku. Selama itu ia mencintaiku, tak cukup satu tahun aku membuka hati untuknya. Walaupun selalu kucoba, orang di sampingku saat ini tetap menjadi pemenangnya.

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang