Dia yang Berhati Lapang

6 1 0
                                    

Untukmu, wanita kuat yang pernah aku kenal. Terima kasih telah menjadi manusia yang amat aku cintai setelah ibuku.

-Albian Razaq
.
.
.
Happy Reading...
.
.
.

"Nanti kalau udah nikah nggak usah kerja lagi." di sela-sela makan dengan khidmat, Bian berucap.

Lelah dan lapar menyerang ketika aku pulang bekerja. Saat di perjalanan akan pulang, Bian membawaku makan di warung tepi jalan. Walau hanya warung biasa, makan bersama Bian dapat aku rasakan jika suasananya sangat berbeda.

"Kenapa?" tanyaku setelah agak lama diam.

"Kan udah ada aku yang cari nafkah. Kamu duduk aja di rumah, kalau ada kerjaan rumah kerja, kalau nggak ada duduk."

"Kalau aku malas?" tanyaku mencoba memberi candaan.

"Aku yang bakal kerjain pas pulang kerja," jawabnya menatapku dengan senyuman yang lagi-lagi tidak dapat dinilai pesonanya.

Aku tergelak, emang ada habis kerja capek-capek bukannya di suruh istirahat malah balik kerja bersihin rumah. Tapi rasanya itu berbeda jika dengan Bian. Aku tahu rasa cinta di hati lelaki ini amatlah besar. Dapat aku lihat dari tatapannya setiap menatapku dan menatap ibunya.

"Ok, berarti aku boleh dong malas-malasan tiap hari," ucapku dengan sisa gelak yang mulai samar.

"Boleh," jawabnya lagi yang membuat aku langsung kembali tertawa dengan suara agak keras.

"Ngaur banget kamu, ya?"

"Lho, kenapa? Aku serius kok," ucapnya seperti meyakinkanku.

"Emang ada habis kerja, kerja lagi?" dengan tawa yang sudah berhenti aku bertanya.

"Selagi itu yang buat kamu bahagia aku nggak keberatan sama sekali," tuturnya yang sedang mencuci tangan dalam mangkok kecil berisi air.

Aku tersenyum manis padanya. Aku sudah yakin jika seorang Albian Razaq itu berbeda. Kembali aku fokus pada nasi yang masih tinggal sedikit untuk dimakan. Rasanya hatiku berbunga-bunga. Inikah jatuh cinta? Hal yang baru kali ini terasa setelah empat tahun lebih lamanya.

"Kalau nanti udah nikah, kamu mau rumah tangga yang seperti apa?" nasi di piringku belum habis, tapi berbincang rasanya lebih penting.

"Sederhana aja, kamu sehat aku sehat. Kelak nanti ada anak kita, aku mau dia juga sehat, trus punya tingkah laku yang baik. Aku nggak masalah kalau kita nggak kaya, asal kita bahagia," ucap Bian yang tatapannya tidak berpindah dariku.

"Kamu yakin kita bakal bahagia kalau nggak kaya?" tanyaku tiba-tiba ketika keterdiaman merasuki jiwa kami berdua.

"Tapi di dunia ini nggak semua orang kaya itu bahagia, Reya," ucapnya dengan sorot mata penuh keseriusan. "Seekor burung yang tinggal di rumah orang terkaya bisa iri pada burung yang ada di hutan sana. Setiap hari makan makanan yang mahal, sangkar yang terbuat dari besi yang kokoh dan tempat makan dan minum yang bercampur dengan emas. Kurang apa lagi dari burung itu? Yang kurang hanya kebebasan dia, kebebasan yang dapat diumpamakan sebagai kebahagiaan. Sedangkan burung yang di hutan sana hanya makan ketika melihat ada buah yang matang, hanya minum ketika bertemu dengan sungai, tapi ia bebas dan bahagia bisa terbang dengan sayapnya sendiri," sambung Bian yang tidak mengalihkan sedikitpun tatapannya dariku.

"Kamu yakin sama aku bakal bahagia?" aku bertanya dengan tatapan sarat akan kebimbangan. "Mungkin ini adalah waktu yang telat buat yakini kamu karena kita udah tunangan. Tapi aku penasaran apa yang buat kamu yakin buat bertahan dan perjuangin aku," lanjutku kembali dengan rasa penasaran yang dalam di hati.

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang