Happy Reading...
Aku menjatuhkan badan di atas kasurku setelah memasuki kamar. Rasanya sangat melelahkan, untuk pertama kali semenjak aku berpacaran dengan Erick, baru kali ini kami bertengkar yang membuat aku merasa kewalahan. Pengalamanku yang berhubungan pacaran baru kali ini. Sebelumnya bagaimana? Tidak ada. Aku yang dulunya sangat tidak percaya diri dan jarang untuk bermain dengan dunia luar. Di umur lima tahun, aku sudah diajarkan tertib terhadap apapun, termasuk berdiam diri di rumah.
Aku yang tidak memiliki keluarga yang lengkap, merasa minder dan sedih jika berhadapan pada mereka yang keluarganya harmonis, jauh dari kata kehilangan dan sebagainya. Sedangkan aku? Entahlah, aku hanya bisa menerima bahwa ini adalah takdir, walaupun ketidakadilan yang kudapatakan.
Setidaknya aku punya Nenek dan Erick yang masih membuatku yakin, bahwa cinta itu ada. Sedikit tapi pasti, aku telah merasakannya. Bersama nenek empat belas tahun dan bersama Erick satu tahun ini.
Jika mengingat Erick, aku kembali teringat kejadian beberapa jam lalu di sekolah. Menghembuskan nafas kasar, aku menoleh ke arah meja belajar yang tidak jauh dariku. Di sana ada sebuah bingkai foto dengan aku dan Erick di dalamnya. Setiap aku bertengkar, aku selalu melihat bingkai itu. Gaya kami berselfi yang seperti anak kecil. Dengan bando di kepalaku dan topi koboy di kepala Erick, sangat lucu. Aku rindu saat-saat itu lagi. Kalau tidak salah ini malam minggu pertama kami. Ah aku sangat malu bila bercerita di saat itu dulu. Aku yang malu-malu kucing dan... Ah lupakan.
Bunyi ponsel mengalihkan atensiku yang sedari tadi berpusat pada bingkai foto. Mengambil benda pipih itu, aku menerima sebuah pesan dari teman Erick yang bernama Jejen. Pria dengan kebobrokan tingkat dewa.
Jejen: Erick sama lo, Re? Kita mau latihan, tapi dia belum datang.
Aku mengerutkan kening heran. Bukankah Erick mengatakan bahwa ia akan telat pulang karena latihan futsal? Lalu kenapa Jejen bertanya keberadaan Erick padaku?
Perasaanku mulai tidak enak, seperti ada sesuatu yang terjadi. Aku yakin ada yang tidak beres, ke mana Erick kalau bukan di sekolah saat ini? Dia adalah anak yang malas pulang terlalu cepat ke rumah, kadang kami akan bermain terlebih dahulu setelah pulang sekolah. Jika sudah bosan barulah pulang ke rumah masing-masing.
Apakah ini ada hubungannya dengan Vita?
000
Rumah nenek terlihat ramai malam ini, dikarenakan anak bungsu nenek yang tinggal di Jakarta barat bertamu ke rumah.
Tante Vera, wanita yang berumur empat puluhan itu membawa suami dan dua anaknya bermalam di rumah nenek malam ini. Mereka akan pergi berlibur satu kali seminggu dengan hari yang tidak bisa dipatokkan dan tempat yang berbeda setiap minggunya. Sultan mah bebas.
Malam ini, tante Vera dan aku akan memasak kue cemilan untuk isi rumah. Tidak ada kerjaan, jadi ia membawaku untuk berperang dengan alat masak di dapur. Aku yang tidak bisa memasak menu kali ini hanya bisa menyiapkan bahan yang dibutuhkan, Selebihnya akan dihadapi tante Vera sendiri.
Kue yang akan kami buat adalah kue bola kering. Kue yang terbuat dari beberapa jenis tepung dan pengolahan yang dilakukan dengan digoreng.
Di tengah kegiatan kami yang bekerja, sesekali juga bercerita dan bercanda, seseorang memasuki dapur lalu duduk di kursi meja makan yang ada di belakang kami.
Dia kak Anas, anak laki-laki pertama tante Vera dan suaminya yang bernama om Zaro. Pria dua tahun lebih tua dariku itu kini tengah berkuliah disalah satu universitas Negri Jakarta.
Perawakannya yang bersih dengan kulit yang putih membuat ia terlihat tampan. Badan yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, menjadi pelengkap postur tubuhnya. Rambut ikal berwarna hitam pekat menghiasi kepala setengah lonjongnya.
"Viola udah tidur, kak?" tanyaku pada kak Anas. Menanyakan anak bungsu tante Vera yang berumur enam tahun.
"Belum, lagi main sama ayah," jawabnya kemudian.
Kak Anas itu adalah orang yang seru diajak berbicara. Dia sangat lembut dalam bertutur kata dan menjadi pendengar yang baik saat dijadikan teman curhat. Kadang saat aku bertengkar dengan Erick ia kan memberikan pengarahan dan sedikit pelajaran padaku tentang hubungan. Pokoknya kak Anas the best.
"kalau kamu kenapa belum tidur?" itu tante Vera yang bertanya pada kak Anas.
"Belum ngantuk," Balas kak Anas yang berjalan ke arah kami. Mengambil cemilan yang telah jadi, lalu memakannya.
Tante Vera memasukan cemilan tersebut kedalam sebuah botol snak lalu memberikan pada Anas. "Tarok diluar! Biar ayahmu makan." kak Anas menerimanya lalu meninggakkan kami berdua di dapur.
"Aku akan membersihkannya dulu, Tan. Tante bisa keluar terlebih dahulu, biar Reya yang bersihin dapurnya." aku mengambil semua bekas alat masak yang kami gunakan untuk dicuci.
"Yaudah tante keluar, ya." Aku mengangguk. Tapi sebelum tante Vera pergi, kak Anas kembali lagi ke dapur.
"Reya, Erick di luar."
000
Rasa bersalah menghinggapiku malam ini, aku yang mengajukan diri untuk membersihkan dapur setelah memasak, harus digantikan oleh tante Vera. Salahkan Erick, dia yang datang di waktu yang tidak tepat lalu memintaku untuk keluar bersama.
Di sinilah kami sekarang, sebuah Taman Kota yang ramai setiap malamnya. Tidak biasanya begini, jika ingin jalan-jalan malam biasanya Erick akan menanyakan pendapatku yang ingin ikut atau tidak. Sekarang, dia langsung datang ke rumah dan meminta langsung tanpa bertanya.
Untung orang di rumah bukanlah orang yang suka mengekang. Semua anggota keluargaku tahu bagaimana Erick, mereka tidak pernah melarangku bermain bersamanya. Karena mereka tau Erick adalah anak yang baik-baik. Setelah setahun berbacaran denganku, mereka seakan membebaskan kami.
Jika mereka tahu aku sedang bertengkar, nenek dan tante Vera lebih membela Erick dari pada diriku. Seistimewa itu kah dia? Sehingga aku yang sebenarnya anggota keluarga sering disalahkan dalam hubungan ini. Erick berhasil mengambil hati keluargaku, dia mampu membuat orang lain segan pada dirinya.
Aku sudah lima menit duduk sendiri di sebuah kursi taman. Erick yang membeli makanan pada penjual di sekitar taman memintaku untuk menunggu. Ada banyak pedagang di sini dan tentunya dengan beragam dagangan. Biasanya aku akan membeli telur gulung saus tiram. Rasanya sangat enak. Erick sudah tahu apa yang aku suka, so, dia tidak akan bertanya apa yang aku mau.
Oh ya, aku kembali teringat pada pesan Jejen. Aku harus bertanya pada Erick. Kemana ia tadi sore? Kenapa dia tidak latihan dan malah membuat temannya menunggu?
Ini sungguh membuatku penasaran. Aku sebenarnya orang yang tidak terlalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Tapi beberapa hari ini rasa penasaranku seakan setiap waktu meliputi.
Erick telah kembali dengan telur gulung, martabak dan dua es di tangannya. "Lama, ya?" tanyanya sambil menyodorkan telur gulung milikku.
Aku menggeleng, lalu menyambut telur gulung yang disodorkan Erick dengan semringah. Bentuknya yang menggoda membuat aku ingin memakannya dengan cepat.
Memakannya dengan lahap, aku teringat kembali dengan pesan Jejen. Menatap Erick yang sibuk dengan ponsel dan es kopi di tangannya, aku bertanya, "Kamu ke mana tadi sore? Jejen nanya kamu sama aku buat latihan. Padahal kamu bilang bakal telat pulang karena latihan, tapi kamu tidak ikut," ucapku mengajukan pertanyaan.
Kulihat Erick menatap lama ke arahku tanpa menjawab. Lalu ia menoleh pada para pedagang yang ada di seberang seperti mengakhiri kontak matanya denganku. Aku tidak menyangka dengan reaksinya yang seperti enggan menjawab pertanyaanku.
"Pergi menenangkan pikiran." Erick menjeda ucapannya lalu kembali berujar, "Selama bertengkar, baru kali ini kamu yang menolak untuk diajak pulang bersama. Aku merasa takut, jadi aku menenangkan diri di suatu tempat."
Aku terenyuh, rasa bersalah kembali mendatangiku, tapi kali ini untuk Erick. Aku tidak tahu, semua yang aku lakukan ternyata berdampak padanya.
"Aku mintak maaf, karena aku kamu jadi gini," ucapku menatap iba padanya.
"it's ok." kulihat senyuman di bibir Erick mengembang.
'Aku harap ini adalah pertengkaran terakhir kita,' batinku. Lalu ikut tersenyum padanya.
000
KAMU SEDANG MEMBACA
Oktober ✔
Fiksi UmumSilakan Folow Dulu Sebelum membaca!! Sesuatu telah terjadi hingga merenggut kebahagiaan lima tahun yang telah Reya rajut bersama sang kekasih. bermimpi akan hidup bahagia dengan keluarga kecil bersama pria pilihannya ternyata tidak terwujud. Membua...