Tetaplah menjadi pelangi yang indah walau banyak di luar sana yang buta warna.
-Albian Razaq.
.
.
.
Happy Reading...
.
.
.Cemas, takut dan benci seakan menyelimuti tubuhku hingga rasanya mampu mematahkan tulang belulangku. Kaki yang rasanya seperti jely terus melangkah berlari menyusuri lorong rumah sakit mencari keredaan ruang Bian.
Mataku memanas saat bertepatan dengan Tante Adiba dan suaminya duduk bersandar seperti saling menguatkan satu sama lain. Takut mendominan diriku saat melihat mereka. Takut jika mereka kecewa karena aku penyebab anak mereka celaka. Aku yang minta dijemput antar oleh anaknya telah menciptakan malapetaka bagi mereka.
Badanku luruh ke lantai saat tidak mampu lagi berdiri karena semua perasaan negatif itu terus merasuki hati dan urat nadi. Kecelakaan, taburan bunga dan kuburan. Aku telah mendapatkan itu semua di masa lalu. Aku... Takut jika lagi mendapatkannya.
Tangisku pun pecah, membuat semua atensi menatapku penuh tanda tanya termasuk Tante Adiba dan suaminya. Aku mengedarkan penglihatanku pada wanita muda yang telah melahirkan dan membesarkan orang yang paling kucinta. Dia mengejarku dengan tatapan menyedihkan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Detik itu juga dia langsung memelukku layaknya Ibu menguatkan anaknya. Aku tambah tergugu kala perlakuan itu diberikannya dengan baik.
"Tante, marahi aku! Tampar aku! Aku yang menyebabkan semua ini terjadi, Tan." dengan tangis yang lebih pecah aku berucap dalam pelukan wanita itu.
Tante Adiba melepas pelukannya, menatap wajahku sembari menggelengkan kepalanya kuat. "Ini musibah, Reya, kamu bukan motif dari semua ini." tangan nan lembut itu mengusap air mataku yang terus mengalir. "Berdoa, ya, Nak, Bian pasti bakal sembuh."
Aku mengangguk lalu berdiri dengan ditolong oleh Tante Adiba. Langkahku mulai melangkah mendekati ruangan Bian. Kaca yang transparan telah mencetak seorang pria dengan wajah pucat di dalam sana. Pria yang kucintai.
"Bangun, Bi, kamu bilang nggak mau lihat aku nangis, tapi sekarang aku nangis karena kamu," bisikku terus menatap wajah pucat yang tenang di dalam sana. Berharap jika dia mendengarnya lalu mengabulkan permintaanku. "Bi, dada aku sesak lihat kamu gini."
Belayan di kepalaku sontak membuatku mendongak pada si pelaku. Lagi-lagi Tante Adiba menatapku dengan sarat untuk kuat. Namun bagaimanapun semua orang menguatkanku, jika Bian tidak membuaka matanya saat ini, aku tidak akan pernah kuat dan akan terus lemah selamanya. Karena di dilam sana telah terbujur sumber kekuatanku yang paling kuat.
"Bi, bangun!" bisikku lagi tapi kali ini tanpa suara karena tenggorokanku yang serak sebab menangis terlalu banyak.
Bunyi adzan berkumandang saat tangisku masih bercucuran bahkan telah menimpa lantai rumah sakit. Waktu Magrib telah datang, aku mencoba berdiri lebih tegak dan menghapus air mataku. Aku akan salat terlebih dahulu. Mencoba berdoa kepada tuhan agar semua baik-baik saja.
"Bi, aku salat dulu, ya, kamu yang kuat dulu."
Langkahku mulai menjauh meninggalkan Tante Adiba yang bimbang dengan dirinya sendiri. Sepertinya ia ingin salat, tapi takut jika terjadi sesuatu pada putranya.
Selesai dengan tiga rakaatku, aku mulai menampungkan tangan berdoa dengan segala permintaan yang masih tentang keselamatan Bian. Bermohon sebesar-besarnya agar dia diberi umur lebih lama lagi. Bukan aku saja yang menginginkannya, tapi Tante Adiba juga. Hanya Bian yang dia miliki, tidak ada lagi selain pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oktober ✔
General FictionSilakan Folow Dulu Sebelum membaca!! Sesuatu telah terjadi hingga merenggut kebahagiaan lima tahun yang telah Reya rajut bersama sang kekasih. bermimpi akan hidup bahagia dengan keluarga kecil bersama pria pilihannya ternyata tidak terwujud. Membua...