Bab Sepuluh

1.3K 203 38
                                    

Danu terkejut ketika melihat ternyata sudah ada sebuah ambulans yang terparkir rapi di lapangan depan kelas nya Havis. Perasaan panik seketika bertambah besar saat banyaknya kerumunan terlihat panik. Teman Havis yang baru saja memanggil Danu memecah kerumunan agar Danu bisa lewat.

Saat berhasil melewati kerumunan orang yang penasaran, Danu langsung berhadapan dengan kepala sekolah mereka yang juga nampak panik.

"Kamu yang namanya Danu?" Tanya pak kepala sekolah itu. Wajahnya menyeramkan, Danu takut kalau ternyata ada mobil polisi yang siap membawanya karena membuat tuan muda Havis sekarat.

"I-iya pak." Jawab Danu takut.

Tapi justru diluar dugaan, bapak kepala sekolah itu langsung mengarahkan Danu untuk masuk ke dalam ambulans.

"Bapak minta tolong kamu temenin Havis ya nak, soal izin kamu gampang. Havis nggak mau pergi kalau nggak sama kamu, nyawa nya dalam bahaya." Titan bapak kepala sekolah ketika mereka telah sampai di dekat ambulans.

Tanpa pikir panjang, Danu langsung mengangguk. Biarlah untuk kali ini ia berdekatan dengan Havis. Ini juga secara tidak langsung merupakan salahnya.

Danu dibantu untuk naik ke belakang mobil ambulans. Disana sudah terbaring Havis yang sedang memekik kesakitan sembari memegang perutnya.

"Havis!" Panggil Danu sebelum mendekat. Ia dapat melihat wajah Havis seperti orang ingin melahirkan. Pucat dan nampak kesakitan.

"Kak Danu, sakit..." Havis memekik, walaupun terdengar manja, Danu tak mempermasalahkannya. Ia semakin panik melihat Havis ternyata benar-benar sekarat. Danu merasa iba ketika melihat Havis dalam keadaan yang tidak baik-baik saja begini.

"Iya Havis, sebentar lagi nyampe rumah sakit kok." Danu mencoba menenangkan. Tapi Havis tidak bisa tenang. Dia bahkan menangis saking sakitnya.

"Havis Gue harus gimana?" Danu serba salah, sedangkan Havis terus mengeluh sakit sembari memegangi perutnya. Sepertinya anak itu sedang tidak becanda.

"Kak kayaknya umur Gue nggak lama lagi——AKHHH."

"JANGAN NGOMONG GITU, JANGAN NAKUTIN GUE!" Danu yang memang kepalang panik ikut menangis. Ia takut kalau ucapan Havis benar adanya.

"Havis jangan mati, Gue harus apa biar Lo nggak mati?" Danu terus menggoyang-goyangkan lengan Havis berharap Havis bisa bertahan hidup.

Havis melirik Danu yang wajahnya telah memerah. Jujur, rasa sakitnya benar-benar sakit. Havis tidak bohong. Seperti sambal yang Havis makan tengah berperang dengan asam lambungnya.

"Jadi pacar Gue kak."

"IYA!"

"HAH?"

Havis menatap Danu tidak percaya, tapi sesaat kemudian ia ingat bahwasannya ia sedang sakit. Ia memekik kesakitan lagi.

"Apa tadi kak?"

"Iya, Gue jadi pacar Lo, tapi jangan mati." Ucap Danu.

Namun beberapa saat kemudian, Danu malah menangis semakin keras saat Havis tiba-tiba menutup mata.

"HAVIS, GUE BILANG JANGAN MATI!"

Danu, Havis cuma pingsan.

***

Setelah dipikir-pikir, kenapa Danu akhirnya kembali lagi di petang hari, dimana seharunya dia sudah duduk di depan televisi menunggu makan malam. Danu tadinya bahkan pulang hanya untuk mengganti pakaiannya dan kembali lagi kesini. Mungkin ini hanya karena Danu merasa bersalah setelah melihat Havis kesakitan setelah makan pedas, padahal Havis bukan orang yang bisa menahan pedas tingkat tinggi.

Cklek.

Setelah membuka pintu, Danu termenung di ambang pintu ketika tak menemukan Havis di dalam ruangan, Danu justru mendapati presensi seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana namun terkesan mahal. Khas ibu-ibu sosialita yang masih muda meskipun anaknya sudah dua. Tidak butuh banyak berfikir untuk tau bahwa wanita ini pasti Mama nya Havis.

"Sore Tante." Danu mencoba menyapa karena sejak mata mereka bertemu, mereka hanya saling diam seolah memeta lawan bicara masing-masing.

"Kamu siapa?" Tanya Nyonya Wiyasa.

Sebenarnya wajah Nyonya Wiyasa datar namun dapat menguarkan aura dominasi khas wanita sosialita. Hal itu membuat Danu mengeratkan pegangannya pada rantang berisi Soup ayam buatan bunda nya. Danu juga tidak mengerti mengapa ia sampai menyuruh sang Bunda membuatkan soup ayam hanya untuk diberikan kepada Havis. Hanya karena dirinya selalu cepat sembuh ketika makan soup ayam saat sedang sakit, membuat Danu membungkusnya.

"Saya Danu, temennya Havis, Tante."

Tatapan penuh selidik membuat Danu hanya bisa menunduk.

"Oh, kamu yang namanya Danu."

Danu mendongak, kini ia dapat melihat tatapan itu berubah menjadi tidak bersahabat.

"Kamu yang bikin anak saya masuk rumah sakit kan?" Tanya Nyonya Wiyasa dengan tegas. Tentu saja mampu membuat Danu gelagapan. Ia takut seandainya Nyonya Wiyasa menuntutnya. Orang kaya bisa melakukan apa saja sesukanya.

"Maaf Tante, saya nggak sengaja, saya nggak bermaksud——"

"Saya nggak perlu alesan kamu!"

Danu sekarang benar-benar takut.

"Tante——"

"Saya bukan Tante kamu!"

"Maaf Nyonya, saya——"

Suara Danu tercekat saat ia tak tau harus membela diri seperti apa. Karena memang semua ini secara tidak langsung merupakan salahnya. Helaan napas kasar terdengar dari mulut nyonya Wiyasa.

"Gimana sekarang pertanggungjawaban kamu?"

Danu tersentak, apa yang harus ia lakukan sekarang? Apa ia harus membayar mahal atau masuk penjara? Danu tidak bisa membayangkan.

"Saya bakal tanggungjawab Nyonya, apapun saya lakukan. Tapi kalau uang saya belum punya." Ucap Danu.

Nyonya Wiyasa bersidekap dada.

"Kalau gitu, sebagai pertanggungjawaban kamu, saya mau kamu jadi pacar anak saya."

Hah!

Danu yakin tidak salah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan nyonya Wiyasa. Danu reflek mendongak, melihat Nyonya Wiyasa yang kini justru tersenyum sangat cantik.

"Mama bikin kak Danu takut!" Itu suara Havis, lelaki itu berjalan dari arah kamar mandi sembari mendorong tiang infusnya. Havis mencebik.

"Iya, maafin Mama deh udah bikin Kak Danu mu takut. Sini sayang." Nyonya Wiyasa memberi kode agar Danu mendekat. Tapi sepertinya Danu masih bingung dengan semuanya.

"Mama tenang aja, sekarang Havis sama kak Danu emang udah pacaran kok."

Danu semakin bingung dengan kalimat Havis. Namun sekelebat bayangan tentang mereka waktu di ambulans tadi pagi tiba-tiba terngiang. Danu membulatkan matanya ketika tau bahwasanya ia mengucapkan kalimat yang sangat ia sesali.

"Nyonya——"

"Saya bukan majikan Kamu. Panggil yang bener. Mama."

Danu mengerjapkan mata. Ia perlahan mendekat karena Nyonya Wiyasa terus mengkode nya untuk mendekat.

"Kebetulan kamu kesini, nitip Havis ya. Mama ada urusan." Nyonya Wiyasa mengusap pipi kanan Danu lalu tanpa menunggu jawaban Danu, Nyonya Wiyasa langsung mengambil tas dan pergi.

Namun saat sudah melewati pintu, tiba-tiba Nyonya Wiyasa kembali lagi dengan kepala yang menyembul dari balik pintu yang hampir tertutup.

"Oh iya Manis, pastikan Havis makan ya."

Lalu setelah itu, sosok Mama dari Havis itu benar-benar pergi meninggalkan dua remaja yang sekarang terikat status karena Danu yang tak berfikir sebelum berucap.

"Duduk dulu sayang." Havis menarik kursi dengan tangannya yang tak diinfus.

Danu menoleh pada Havis, tatapan Danu seolah sulit diartikan.

"Havis, omongan ku yang di ambulans tadi boleh dibatalin nggak?"

SWEET TEA || HARUBBY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang