Serasa menjadi petugas kebun binatang dadakan. Havis tak berhenti mengabsen nama binatang untuk menunjukkan betapa ia kesal dengan Ares.
Typo dikit nggak ngaruh.
"Nggak ngaruh palakau!" Havis berkata lirih karena tak mungkin juga ia mengumpat keras, sedangkan di depannya ada sosok besar tinggi tengah bersidekap dada. Manik tajam nya menatap Havis penuh selidik.
"Lo kemarin juga pingsan, padahal tadi Lo berdiri di bawah pohon. Ini Lo nggak bohong kan?" Mata tajam itu mengintimidasi. Padahal mereka sudah ada di UKS. Tapi kenapa si Jalu-Jalu ini malah mengikut. Sudah begitu lagak nya membuat Havis ingin mengajaknya duel by one.
"Lo ngapain masih disini, panggilin Danu, suruh bikin teh manis buat Gue."
Tidak sopan sekali anak ini, belum pernah diajari sopan santun ala militer ya? Jalu semakin intens menatap Havis. Dari seragam nya, ia pun tahu Havis ini mungkin berasal dari keluarga berkecukupan. Tapi Jalu tak menaruh takut sama sekali.
Ia justru semakin ingin memberi pelajaran kepada anak sok ini.
"Danu bukan babu Lo!" Sergah Jalu. Tatapan tajam itu tak lepas dari sang empu. Menegaskan kepada Havis bahwa dia tidak ada apa-apanya disini.
"Kembali ke lapangan. Lemah banget Lo jadi cowok." Ucap Jalu lagi sebelum Havis sempat melawan.
"Nggak mau sebelum Gue dapet teh manis dari gebetan Gue." Havis seolah mengejek. Senyuman menantang ia berikan kepada Jalu tanpa rasa takut sama sekali.
Jalu menaikkan sebelah alisnya, ia menatap Havis dengan tatapan cukup mengerikan.
"Gebetan Lo?" Ulang Jalu.
Havis mengangguk dengan semangat. Ia teringat wajah manis Danu dalam balutan pakaian palang merah remaja.
"Kak Danu. Dia gebetan Gue sejak kemarin."
BUGHHH.
Tanpa aba-aba Jalu tiba-tiba melayangkan sebuah pukulan keras hingga berbunyi nyaring. Mengerikan, Havis sempat terperosok ke samping namun untungnya Havis bisa menjaga dirinya agar tidak jatuh dari ranjang. Pukulan itu sampai membuat seseorang yang menjadi topik utama mematung di ambang gorden yang tersingkap.
"Jaga omongan Lo bangsat. Danu cowok Gue!"
Jedarrrr
Hati mungil Havis patah everybody.
***
Belum juga mendapatkan nomornya, Havis sudah kebanjiran fakta kalau ternyata Danu itu merupakan pacar dari sang ketua OSIS galak nan jelek bernama Jalu. Nama yang tidak boleh disebut ketika di depan Havis.
"Sorry Vis, ini semua gara-gara Kak Jalu berdiri di depan. Lagian nama mereka mirip banget kayak kembar deh."
Bukan salah Ares, salahkan Danu dan Jalu yang memiliki nama hampir sama. Seperti kembar saja. Bedanya, yang satu tinggi besar, yang satu lagi imut lucu kemasan sashet.
Havis tak kunjung membalas percakapan Ares tentang kesalahannya tadi. Mereka berdua kini tengah duduk di kantin, menikmati makanan yang sebenarnya hanya Ares yang menikmati. Havis tak sekalipun menyentuh makanan yang mulai mendingin.
Ujung bibir yang sedikit mengeluarkan darah itu mulai mengering. Rasa perih nya diabaikan oleh Havis sebab ada yang lebih perih ketimbang pukulan Jalu tadi.
Havis terus-menerus menghela napas. Apa rasanya sama seperti ini? Rasa yang dirasakan oleh gadis-gadis yang Havis tolak mentah-mentah bahkan terkesan sadis.
Apa seperti ini rasanya patah hati? Mengapa tidak enak sekali. Rasanya lebih tidak enak daripada rasa sayuran yang Havis benci. Havis untuk pertama kali nya dibuat patah hati setelah berkali-kali membuat orang patah hati.
Inikah karma?
"Lo kenapa deh?"
Havis hanya menoleh sebentar pada Ares. Entah kenapa semangat yang kemarin meluap-luap justru menguap ditelan angin ketika Jalu mendeklarasikan dirinya sebagai kekasih dari Danu alias gebetan Havis.
"Lo pikir aja ternyata Kak Danu itu pacarnya si Jalu. Sakit hati Gue."
Ares berdecih lirih.
"Baru pacar, yang nikah aja bisa cerai apalagi cuma pacaran."
Havis masih merasakan sakit hati terutama ketika ia tertolak tanpa sengaja. Ini baru hari MOS yang kedua, ia tidak tahan jika nantinya akan melihat Danu dan Jalu berduaan.
"Kayaknya mau pindah sekolah aja deh Gue."
Ares membulatkan mata. Belum juga pembagian kelas, tapi Havis sudah berniat pindah sekolah hanya karena patah hati.
"Bro, Lo tinggi, Lo punya uang, Lo punya kuasa, banyak yang mau sama Lo. Kalo kata eyang Gue, mati satu tumbuh seribu. Biarlah si Danu buat si Jalu, Lo sama yang lain aja. Banyak yang cakep. Lagian mau pindah kemana orang pendaftaran sekolah udah di tutup." Kata Ares panjang lebar.
Tapi ibarat kata, hati Havis ini seperti tempat ekslusif yang tidak bisa sembarang dimasuki orang.
Havis masih tidak rela kalau Danu nya dimiliki orang lain, terutama Jalu yang mulai hari ini ia jadikan rival.
"Mau pindah ke Wiyasa aja."
"Apalagi itu!"
Ares tau untuk masuk kesana susah. Tapi melihat bagaimana Havis membawa seragam SMP dari Wiyasa rasanya Havis pasti bukan orang sembarang. Tapi tetap saja masuknya susah.
"Susah masuknya bro, walaupun Lo alumni sana, Wiyasa bukan punya nenek Lo, bisa Lo masukin sesuka hati." Ares mencoba menyadarkan Havis tentang kenyataan. Tapi mungkin disini yang butuh disadarkan tentang kenyataan adalah Ares.
"Emang bukan punya nenek Gue soalnya udah diwariskan ke Mama."
Byurrr.
Es jeruk yang hampir masuk tenggorokan, Ares keluarkan lagi karena terkejut. Untung saja Ares tadi menoleh dengan cepat hingga air minumnya tak sampai mengotori wajah Havis.
"Wiyasa punya Mama Lo?" Tanya Ares dengan mata melebar.
Havis berkedip beberapa kali. Ia sepenuhnya sadar bahwa dirinya tak boleh terlihat terlalu kaya dan menonjol disini. Meskipun begitu, sepertinya sudah terlambat.
Yasudah.
"Ya gitu."
Ares ingin kaget part dua sebenarnya, tapi karena seseorang menghampiri meja mereka, Ares tidak jadi kaget. Jadinya jatuh karena yang menghampiri mereka adalah sosok yang hampir membuat Havis pindah sekolah.
"Havis, bisa bicara sebentar?"
"I-iya Kak Danu."
Bagaimana ini? Jantung Havis rasanya ingin melepaskan diri dari tempatnya.
***
Sengaja nggak aku kasih cast biar kalian bisa ngebayangin visual sesuka kalian.
Tapi kalo kalian mau tau versi aku, kapan-kapan aku spill.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEET TEA || HARUBBY [✓]
Teen FictionSemuanya bermula dari Teh manis kala itu. Havis si sulung kaya raya dengan segala sifat bosannya memilih untuk melanjutkan pendidikan pada sekolah negeri alih-alih sekolah elite swasta. Namun, pilihannya tersebut ternyata mengantarkannya kepada pemi...