Bab Dua Puluh Satu

1K 133 9
                                    

Hari terasa kelabu sejak pengumuman malam itu. Cukup menjelaskan bagaimana figur Jalu melekat pada orang-orang yang merasa kehilangan. Seolah masih tak percaya, Danu terus berkata bahwa Jalu masih ada. Jalu masih akan tetap disisinya. Ia tak mungkin pergi dengan segudang janji yang telah mereka susun berdua.

Tangan itu benar-benar terasa dingin. Tangan yang selalu mengupayakan apapun yang Danu butuhkan. Dipegangnya erat, seolah tak ingin berpisah.

"Gue sendiri yang bilang nggak mau ketemu Lo lagi. Tapi bukan kayak gini yang Gue maksud." Entah sudah berapa lama Danu menangis. Kepalanya pusing, wajahnya pucat pasi. Hidupnya ke depan seolah sudah terbayang.

Hampa.

Jika saja diberikan satu kesempatan lagi. Lima menit saja untuk sekedar berbicara. Danu mungkin akan mengucapkan ribuan cinta kepada Jalu. Perasaan yang selama ini hanya sebatas bayang-bayang.

Andai satu diantara mereka berani mengucap.

Lalu apa sekarang?

Dua-duanya kehilangan.

Danu bahkan tak yakin dirinya akan baik-baik saja tanpa Jalu. Ini menyesakkan. Melihat satu tiang kehidupannya hancur begitu saja. Dan semua ini karenanya?

Danu kembali tersadar, kenangan manis kemarin tak akan bisa terulang lagi.

"Lo bahkan nggak pamit sama Gue. Lo benci banget kah sama Gue, Jalu?"

"Kenapa pergi sendirian? Gue gimana?"

Danu kembali meraung meskipun tenggorokannya terasa sangat kering. Ia tidak sekuat itu. Melihat tubuh kaku Jalu yang kemudian ditutup peti membuatnya semakin menjadi.

Pada akhirnya Danu tak akan pernah bisa menyingkirkan Jalu dari hati nya.

"Tenang kak. Yang ikhlas ya. Biar Jalu bisa pergi dengan tenang."

Danu menggeleng, ia memeluk erat peti yang membawa sosok yang begitu penting dalam sejarah hidup Danu. Sedangkan sang Mama mencoba menahan putra nya. Jalu memang selalu bersama Danu sejak kecil. Dan kehilangan Jalu bukan hal sepele untuk sang putra.

Ini begitu mendadak.

Sang Mama masih mengingat senyuman Jalu ketika datang ke rumah kemarin untuk menemui Danu. Anak itu sudah dianggap sebagai anak sendiri. Ia juga turut kehilangan.

Namun rasanya, Danu jauh lebih menderita daripada kedua orang tua Jalu.

"Ikhlasin ya kak."

Danu tak menggubris ucapan orang-orang di sekitarnya. Ia tak lagi dapat berfikir tentang bagaimana harus bersikap. Tak pula ingin pura-pura merasa tegar disaat kepingan dirinya terbawa bersama perginya Jalu.

Danu seakan hilang arah.

***


Ribuan ucapan bela sungkawa terus tertuju. Ratusan orang hilir mudik pada kediaman Jalu. Dan dapat dilihat Susana duka yang tak pernah diinginkan oleh orang-orang turut menyelimuti.

Danu duduk sendiri, di sudut ruangan dengan sebuah figura yang ia peluk erat-erat. Tatapannya kosong, energi nya seolah terkuras habis untuk sekedar berterimakasih kepada orang-orang yang datang untuk menyampaikan duka cita atas meninggalnya seseorang yang cukup berpengaruh pada hidup Danu.

"Istirahat dulu ya sayang, di kamar Abang."

Itu Mama dari Jalu. Danu mengangguk. Ia berjalan pelan menuju sebuah ruangan yang sudah ia hapal arah dan isi nya. Bahkan aroma khas masih melekat sesaat setelah Danu membuka pintu. Setelah menutupnya, tubuhnya kembali luruh bersandar pada pintu dengan putus asa.

"Jalu..." Ucapan Danu nyaris tak terdengar, terkesan pilu dan begitu menyesakkan bagi yang mendengarkan.

Kilas balik tentang bagaimana kebersamaan Jalu dan Danu seolah terputar pada ruangan yang sering Danu kunjungi ini.

Ruangan dengan nuansa yang khas seperti remaja laki-laki. Piala-piala dipajang dalam etalase yang menjadi tanda pencapaian dari Jalu selama ini. Meja belajar yang rapi, Jalu memang tak suka barang-barang nya berserakan. Terkadang Jalu lah yang menata buku-buku Danu di rumah.

Sudah berapa lama?

Danu tak ingat sejak pertama kali bertemu Jalu. Rasanya baru kemarin.

"Belum satu hari. Tapi Gue kangen banget sama Lo." Danu berjalan gontai menyusuri kamar yang kini tak bertuan. Mengambil sebuah jaket yang tergantung di sudut ruangan. Bau nya seperti biasa ketika dirinya berdekatan dengan Jalu.

Kenapa semua ini terlihat menyakitkan?

Lalu pandangannya tertuju pada meja dengan banyak potret mereka berdua. Disusun oleh lelaki itu sedemikian rupa. Dulu Danu suka sekali memindahkan foto-foto itu ke sembarang tempat, lalu besoknya pasti sudah kembali. Foto-foto yang berisi tentang banyak tempat yang mereka kunjungi, atau setiap momen yang terjadi dalam hidup mereka. Ditata sedemikian cantiknya,tapi untuk hari ini, rasanya tak sanggup menatap potret bahagia dari kenangan-kenangan yang mereka kumpulkan.

"Gue harus apa sekarang tanpa Lo, Jalu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Gue harus apa sekarang tanpa Lo, Jalu?"

***

"Udah berjam-jam Vis. Kita pulang aja."

Dari jarak entah berapa meter ini, di dalam mobil, Havis menatap kosong kepada sebuah rumah yang masih ramai dengan orang-orang.

"Ini bukan salah Lo." Ares berulangkali menyakinkan Havis bahwa kecelakaan Jalu bukan karena ulah Havis. Ia tahu temannya tak mungkin mencelakai orang seperti ini.

"Gue juga tau ini bukan salah Gue. Tapi ngeliat Kak Danu sesakit itu bikin Gue ngerasa bersalah. Coba aja Gue nolak tantangan Jalu. Semuanya nggak bakal kayak gini kan Res?"

Ares terdiam. Ia tak tahu harus merespon bagaimana. Sejak tadi mereka terus disini. Di dalam mobil tanpa berniat untuk turun dan ikut mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya Jalu.

"Kak Danu kecewa sama Gue. " Ucap Havis dengan nada yang begitu putus asa. Sedangkan Ares menepuk punggung temannya itu dengan lembut.

"Gue ngerti Vis." Katanya dengan perihatin.

"Gue nggak tau habis ini Kak Danu masih mau ketemu Gue apa engga." Ares tertegun melihat Havis yang selalu ceria mendadak menangis. "Tapi Gue nggak bisa bayangin hidup Gue tanpa Kak Danu Res."

"Bisa jadi Gue masih bisa ketawa kayak bisa. Tapi apa bisa selepas kayak dulu?"

Bukan keputusan yang bijak untuk memberikan nasehat kepada Havis saat ini. Ia jelas melihat betapa hancurnya Danu saat mengantarkan Jalu kepada peristirahatan terakhirnya. Havis butuh dukungan.

"Kak Danu pasti masih mau ketemu sama Lo. Lo nggak salah, dia nggak mungkin benci sama Lo tanpa alasan." Kata Ares mencoba menenangkan Havis.

"Tapi Lo liat sendiri tatapan benci Kak Danu waktu di rumah sakit kemarin kan Res? Kak Danu benci sama Gue." Kata Havis.

"Lo cuma perlu berjuang lebih keras Vis. Mungkin Lo nggak bisa gantiin sosok Kak Jalu di hidup Kak Danu. Tapi setidaknya Lo bisa jadi orang baru yang jadi alasan Kak Danu buat tetap kuat."

"Dan Lo nggak perlu jadi ketua OSIS, jadi kesayangan Guru, jadi apapun itu. Lo itu ya Havis. Lo nggak perlu jadi Kak Jalu buat bisa bersama Kak Danu."

Kali ini Ares tersenyum.

"Gue percaya dan akan selalu dukung Lo."






SWEET TEA || HARUBBY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang