Bab Tujuh belas

918 138 11
                                    

"Butuh berapa sebutin, tapi jadiin Gue ketua OSIS sekarang juga——"

Plak

"Aduh!"

Suasana istirahat seperti biasa, ramai dan berisik. Namun suara pukulan Ares kepada Havis tak kalah keras setelah mengetahui tindakan bodoh laki-laki itu.

"Pantesan diusir." Balas Ares, dirinya tak lagi segan memukul Havis yang merupakan aset paling berharga keluarga Wiyasa.

Keduanya tengah duduk di kantin sebagai sesama laki-laki. Mendiskusikan mengapa Havis sampai diusir oleh pembina OSIS karena setahu Ares lelaki itu katanya bertekad ingin menjadi ketua OSIS. Sebagai teman yang baik, Ares tentu menemani Havis untuk mendaftar sebagai kandidat ketua OSIS.

Tadinya ia sangat bersemangat, namun ia bingung ketika menunggu di luar ruangan, Havis mendadak diusir dan dimaki-maki. Ternyata ia tau sekarang alasannya.

"Kan semua orang butuh uang, Res. Gue uang nya banyak, jadi mau berbagi niatnya." Kata Havis tidak terima. Kalimatnya tidak salah kok. Biasanya juga begitu. Apa susahnya menjadikan Havis ketua OSIS menggantikan Jalu?

"Itu bukan berbagi kampret. Itu namanya Lo nyogok. Udahlah songong banget ngomongnya. Masih mending diusir belum disuruh hormat depan tiang bendera." Ucap Ares. Walaupun terkadang memberikan ide yang diluar nalar, Ares tetap memiliki sopan santun terhadap guru. Kecuali guru matematika sih.

"Ya Gue males basa-basi. Gue pengen langsung dilantik jadi ketua OSIS sekarang juga kalau bisa." Ucapan Havis seperti anaknya yang punya bumi saja.

"Ya Kata Gue, Lo udah enak sekolah di sekolah orang tua Lo malah milih sekolah negeri. Ya beda lah Vis. Mana bisa kayak Gitu, sekolah juga punya prosedur." Ucap Ares. Ia mengernyitkan dahi karena tak mengerti lagi kiblat mana yang dianut Havis.

Padahal Havis kebanyakan meniru perbuatan Ares.

"Lo kenapa tiba-tiba ngebet banget pengen jadi ketua OSIS deh?" Tanya Ares. Walaupun ia sudah menebak jawaban Havis, tapi tetap saja bertanya.

"Ya buat kak Danu lah. Yakali untuk mengabdi ke sekolah."

Alasan seperti apa itu? Ares sudah pusing dengan nilai nya yang tak naik-naik, sekarang dibuat pusing dengan pemikiran Havis yang ini.

"Tipe nya kak Danu itu yang ketua OSIS, pantesan kepincut sama Jalu. Jadi, Gue harus jadi ketua OSIS juga biar nggak kalah saing."

Danu lagi Danu lagi. Kalau tidak memikirkan usaha peternakan bebek yang akan ia rintis, ia pasti sudah berteriak setiap Havis membahas Danu. Karena hampir setiap detik rasanya Havis selalu menyebut nama Danu dalam setiap obrolan.

Harus bagaimana menyadarkan Havis kalau Danu itu susah digapai?

"Tapi dia beneran nerima Lo seandainya Lo jadi ketua OSIS?" Tanya Ares.

Havis nampak terdiam sebentar, lalu ia seperti berfikir tentang bagaimana jika dirinya benar-benar menjadi ketua OSIS? Apakah Danu akan langsung mencintainya dan menerima dirinya?

Lalu beberapa saat kemudian Havis tersenyum lebar, ia menatap Ares dengan yakin lalu berkata.

"Nggak tau, coba nanti Gue tanyain kak Danu dulu."

Gobloknya!

***

"Pulang bareng Gue kan?"

Sepasang kaki itu berhenti melangkah. Wajahnya memberikan kesan jengah dengan dengusan napas yang terdengar begitu keras. Danu meniup poni nya yang menambah kadar emosi di tengah cuaca yang terik.

"Harus berapa kali Gue bilang iya, Vis?" Tanya nya sarkas. Memangnya telinga Havis tuli atau bagaimana? Jelas-jelas sedari tadi ia mengiyakan ucapan laki-laki itu untuk pulang bersama.

Lagipula, Jalu sedang sibuk rapat organisasi. Dan ini adalah kesempatan Danu untuk menetapkan hati nya pada satu orang.

"Cuma mastiin aja kak, barangkali Lo tiba-tiba pulang bareng yang lain." Kata Havis. Hal itu mengingatkan Danu pada kejadian saat Havis menunggunya dan Danu malah pulang bersama Jalu.

"Gue harus apa biar Lo diem?" Tanya Danu. Sedikitnya mengurangi rasa bersalah yang tiba-tiba hinggap pada dirinya.

"Gue gandeng ya kak?"

Langkah Danu lagi-lagi terhenti, hal itu diikuti oleh Havis yang juga menghentikan langkahnya. Danu memandangi Havis dengan tatapan tidak percaya, namun laki-laki itu justru tersenyum.

"Iya, iya! Engga jadi." Kata Havis cepat.

Tapi setelah itu, Danu tak juga melangkah meskipun Havis sudah selangkah di depannya.

Havis melirik ke belakang, tepat dimana Danu berdiri sambil terus menatapnya.

"Ayo kak." Kata Havis.

Danu menggerutu, dirinya berdecak pelan namun setelahnya ia mengulurkan tangan kiri nya ke depan.

"Nih."

Havis mengernyit bingung.

"Hm?"

"Katanya mau gandeng."

Hah?

Apa?

Tunggu?

Kepala Havis kosong sekarang.

Seakan seluruh sel di kepala Havis sedang bingung mencari bagaimana respon yang tepat untuk keadaan seperti ini.

"Apa kak?"

Bodoh!

Danu tak jadi tersipu, ia menarik kembali tangannya dengan wajah yang sedikit masam.

"Yaudah kalau nggak mau." Katanya cepat sebelum berjalan dengan cepat. Danu malu, tapi Havis justru masih diam saja karena kepalanya benar-benar kosong sekarang.

Hingga beberapa saat kemudian, Havis seolah kembali mendapatkan isi kepalanya. Berusaha mengejar langkah Danu yang wajahnya telah memerah padam.

Havis menyelipkan jemarinya dengan milik Danu, membuat lelaki manis itu sontak terkejut, ia kembali menghentikan langkahnya dan melihat bagaimana jemari nya telah tertaut dengan milik Havis.

"Lucu nya. Tangan kita bisa pas kayak gini."

"Apaan sih, lepasin." Kata Danu. Walaupun mulutnya menolak, tangannya justru semakin erat menyamankan diri. Seolah gerah yang melingkupi tak ada apa-apanya.

"Nggak mau ah. Enakan kayak gini." Balas Havis. Untung saja isi kepalanya sudah kembali.

"Gerah Vis." Balas Danu yang mulai ikut melangkah bersama Havis.

Havis tak menanggapi, ia meraih sesuatu di dalam tas nya dengan satu tangan. Sebuah kipas portable kini berada di tangan kiri Havis. Ia menyalakannya dan mengarahkannya pada tangan yang tertaut dengan milik Danu.

"Masih gerah nggak?" Tanya Havis.

Sedangkan Danu masih diam, ia diam-diam melirik bagaimana tautan tangannya dengan Havis yang sedang dikipasi oleh lelaki itu.

Mengapa sih tindakan Havis selalu tak dapat diprediksi, namun seakan mampu memberikan dampak yang luar biasa merepotkan. Terutama bagi jantung Danu yang berkerja lebih ekstra dari biasanya.

"Kak?"

Danu membuang wajah, tak ingin ketahuan sedang memandangi tautan tangan mereka.

"Kak di tas Gue ada satu kipas lagi. Ambil aja, kayaknya Lo kepanasan banget." Kata Havis dengan lembut.

Sangat tidak ramah untuk Danu yang baru pertama kali seperti ini.

"Nggak usah, Gue nggak apa-apa."

"Serius? Wajah Lo merah banget soalnya."






SWEET TEA || HARUBBY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang